AGAMA “KATANYA”

Agama “Katanya”
Oleh Said Muniruddin | Rector | The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Agama sudah tereduksi; dari seharusnya sebagai sebuah pengalaman (empiris), ke kutipan-kutipan (ayat dan hadis). Kalau para nabi benar-benar mengalami sensasi perjumpaan dengan entitas-entitas suci yang menjadi pokok-pokok keimanan dan kegaiban (Tuhan, malaikat, akhirat, dsb); kita bagaimana?

Kita sepertinya hanya bisa ‘mendongeng’ kembali cerita-cerita itu, tanpa mengalaminya. Kita sudah menjadi penceramah-penceramah hebat di mimbar-mibar kultum, di podium-podium khutbah. Seolah-olah kita paling ahli. Paling tau. Paling merasakannya. Padahal, cuma hasil bacaan. Hafalan murni.

Agama, yang sejatinya adalah “perjumpaan” otentik (musyahadah), sudah tereduksi menjadi cerita. Menjadi teori. Menjadi “katanya”. Kata Quran. Kata kitab. Kata nabi. Kata ulama. Kata ustadz. Lalu kita takut-takuti orang dengan kata Alquran begini, kata hadis begitu. Padahal itu kata kita. Tafsir kita. Persepsi kita. Orang lain punya hadis sendiri. Punya pikiran sendiri.

Itulah Islam kita hari ini. Sudah berubah jadi teori. Menjadi pemikiran. Menjadi mazhab. Mengurung diri dalam kerangka teori dan riwayat tertentu.

Sementara, untuk masuk kepada pembuktian akan esensi-esensi gaib, kepada pengalaman-pengalaman empirik ketuhanan, harus ada jalan yang ditempuh. Harus ada metodologi. Harus ada cara-cara, harus ada penguasaan teknik-teknik pengolahan diri; sehingga menyaksikan sendiri apa-apa yang disaksikan para nabi dan orang-orang shaleh terdahulu.

Kalau pengalaman empiris ketuhanan hanya berlaku untuk para nabi dan orang-orang terdahulu, tidak lagi untuk kita di akhir zaman, maka Islam bukanlah agama yang relevan untuk setiap waktu dan zaman. Atau mungkin begitu, kita hanya dikasih Quran untuk dibaca-baca, sementara isinya sudah out of date. Tidak bisa diulangi.

Hei dungu! (Yang dungu itu saya). Apa yang dialami Nabi Adam beribu-ribu tahun sebelum Muhammad; juga dialami oleh Muhammad beribu-ribu tahun kemudian. Pun, apa yang dialami secara ruhaniah oleh Baginda SAW ribuan tahun silam, juga masih bisa kita alami oleh umat yang hidup ribuan tahun kemudian. Dengan syarat, metodologi beragama yang kita miliki masih sama dengan yang dimiliki para nabi.

Agama bukan hanya tentang beriman kepada kitab-kitab teori (informasi). Ini lebih kepada metodologi (amalan pembuktian). Kalau tidak ada metodologi (langkah-langkah praktis pembuktian sebuah fenomena), agama ini tidak akan membuktikan apapun. Akhirnya, asik berteori. Asik baca-baca. Kitab itu teori. Buktikan kebenaran isinya. Kalau nabi diceritakan mengalami ini dan itu, anda dalam skala tertentu juga harus bisa membuktikan (mengalaminya secara personal).

Itulah yang dimaksud “kembali kepada Quran dan hadis” dalam makna hakiki. Kita mesti kembali merasakan dan mengulangi pengalaman-pengalaman spiritual, lahiriah batiniah, para nabi. Bukan sekedar menghafal-hafal apa kata nabi.

Bosan sekali kita, misalnya, kalau membaca buku-buku yang isinya penuh kutipan ayat dan hadis yang dicampur tafsiran. Akan berbeda, jika ada ayat satu dua, selebihnya berisi pengalaman spiritual pribadi. Sentuhan pengalaman pribadi dalam bertuhan itulah yang asik. Bukan mengulang-ulang cerita orang.

Beragama tanpa “mengalami” itu kering. Kekeringan inilah akar dari terorisme. Kalau ditelusuri, radikalisme selalu disponsori firqah-firqah “kering” ini. Mereka berani mati karena ingin ketemu Tuhan dan bidadari. Sebab, di dunia tidak berjumpa Tuhan. Kering. Tak mengerti kita, bagaimana para penghafal Qur’an dan hadis bisa jadi para pembunuh mengerikan dalam barisan ISIS, misalnya. Kering!

Islam itu ilmiah. Islam itu bukan sekedar baca-baca dan hafal-hafal. Tapi sebuah prosesi riset. Ada metodologi khas dalam Islam, bahwa Tuhan itu bukan hanya ada secara konseptual. Tapi secara empiris bisa dijumpai. Bisa dirasakan. Bisa dilihat Wajahnya. Bisa diketahui eksistensi dan esensinya, melampaui hafalan sifat dan nama-nama. Di kampus ini sudah diajarkan, temuan anda pribadi (apa yang anda alami dan saksikan dalam proses pembuktian) itu harus lebih dominan muncul daripada copy paste ucapan orang (studi literatur). Itulah taste dalam beragama. Mengalami!

Agama, pada level rendah adalah baca kitab. Pada level lebih tinggi, membuktikan isi kitab. Kalau kitab mengatakan Allah itu ada. Anda bahkan bisa menemui-Nya. Para nabi telah membuktikan itu. Begitu juga anda, pasti bisa, kalau menempuh metodologi yang sama dengan para nabi.

Sebab, yang disebut “nabi”, itu adalah orang-orang yang sudah “berjumpa” Allah. Jumlah mereka ada 124.000. Terlalu banyak orang yang sudah pernah berjumpa Allah. Anda, kalau mau jadi nabi, ya jumpai Allah. Sesederhana itu. Tapi, sekarang tidak lagi dipopulerkan dengan istilah “nabi” (istilah ini sudah ditutup), tapi “wali”. Sebenarnya, dalam Alquran, para nabi juga disebut wali. Para penolong. Wakil Tuhan. Khalifah-Nya. Baik nabi atau wali (waris nabi), fungsinya sama saja. Menebarkan Rahmat bagi semesta.

Wali itu sebenarnya orang biasa saja. Sama seperti kita. Hanya saja, masih menguasai metode untuk konek dengan Allah. Inti agama itu. Connect! Connect secara aktual (Haqq). Bukan menghayal, seolah-olah connect.

Tapi untuk level awal, menghayal pun jadi lah. Tapi jangan karena masih dilevel hafal-hafal, baca-baca, lalu dengan gagahnya menuduh orang lain bid’ah dan sesat. Itu wilayah Tuhan. Wilayahnya orang-orang yang connect langsung dengan Allah.

Jadi, tanpa metodologi, tidak hanya kehidupan duniawi yang tertinggal, kehidupan ukhrawi juga keteteran. Memenangkan dunia sains harus ada tariqah-nya, ada metodologi saintifiknya. Memenangkan dimensi metafisis akhirat juga begitu, ada metodologi ruhaniahnya. Petala langit dan bumi, aspek lahir dan batin, hanya bisa ditembusi dengan kekuatan metodologi. Islam sudah sekian ratus tahun tertinggal, karena, selain meninggalkan metodologi saintifik, juga terputus dengan berbagai metodologi spiritual warisan para nabi. Yang tersisa hanya bacaan!

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

💥 powered by PEMUDA SUFI
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web: saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG: @saidmuniruddin

3 thoughts on “AGAMA “KATANYA”

  1. Terlalu banyak orang yang sudah pernah berjumpa Allah. Anda, kalau mau jadi nabi, ya jumpai Allah. Sesederhana itu. Tapi, sekarang tidak lagi dipopulerkan dengan istilah “nabi” (istilah ini sudah ditutup), tapi “wali”. Sebenarnya, dalam Alquran, para nabi juga disebut wali. Para penolong. Wakil Tuhan. Khalifah-Nya. Baik nabi atau wali (waris nabi), fungsinya sama saja. Menebarkan Rahmat bagi semesta.

    Benar,saya adalah salah satu di antara mereka.
    Besarkan cinta kalian.

    ustadz sayyid habib yahya

Comments are closed.

Next Post

SUFISME, AWAL DARI AGAMA

Sun May 2 , 2021
Sufisme, […]

Kajian Lainnya