BUBARNYA HAJI


The Suficademic | Artikel No. 39 | Juni 2021.


BUBARNYA HAJI
Oleh Said Muniruddin | Rector | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Haji tahun 2021 akhirnya batal. Ini yang kedua kali setelah tahun sebelumnya. Entahlah. Mungkin ini berita baik. Atau mungkin juga buruk.

Seorang Ulama berseloroh: “Naik haji itu sebenarnya hanya untuk tamu Allah. Kalau ada panggilan Allah, ada panggilan Rasulullah; pergi. Kalau tidak ada, tidak usah. Bikin macet Arab saja. Lebih bagus kasih makan tetangga dan rakyat yang masih banyak hidup dibawah garis kemiskinan. Pahalanya sama.”

Mungkin Corona ini isyarah, tidak usahlah ngotot sekali naik haji. Sampai antri seumur hidup pula.  Kadang-kadang, kita ini udah macam artis aja. Bolak balik haji dan umrah. Mabrurnya entah kemana. Korupsi jalan terus. Uang haji pun tidak tau kita kemana dibawa oleh Saudi. Mungkin untuk beli bom, yang sampai hari ini belum berhenti membunuh saudara-saudaranya di Yaman. Mungkin juga untuk agenda liberalisasi ekonomi di bawah visi “Saudi 2030”. Mungkin juga untuk agenda dakwah dan pembangunan lainnya sang putra mahkota, MBS.

Makkah sepi//Madinah sunyi//Kakbah dipagari//Masjid tutup//Jamaah bubar//Jumat batal//Umrah di stop//Haji tak pasti//Lafadz adzan berubah//Salaman dihindari//Corona datang//Seolah-olah membawa pesan//Ritual itu rapuh//Ketika Corona datang//Engkau dipaksa mencari Tuhan//Bukan di tembok Kakbah//Bukan di dalam masjid//Bukan di mimbar khutbah//Bukan dalam thawaf//Bukan pada panggilan azan//Bukan dalam shalat jamaah//Bukan dengan jabat tangan//Melainkan pada keterisolasianmu//Pada mulutmu yang terkunci//Pada hakikat yang tersembunyi//Corona mengajarimu//Tuhan itu bukan (melulu) pada keramaian//Tuhan itu bukan (melulu) pada syariat//Tuhan itu ada pada jalan keterputusanmu//Dengan dunia yang berpenyakit//Corona memurnikan agama//
Bahwa tak ada yang boleh tersisa//Kecuali Tuhan itu sendiri//Temukan Dia//
Puisi Bubarnya Agama, Said Muniruddin, 16 Maret 2020

Memang secara syariat, siapa saja yang mampu, cukup belanja, pergi saja. Itu hak semua orang untuk mengekspresikan rasa keislamannya. Namun ironis memang. Dulu naik haji adalah pertaruhan nyawa, lelah dan perjalanannya sangat lama. Mungkin sebagian besar yang pergi itu memang yang sudah siap secara spiritual. Kuotanya pun tidak terbatas. Sekarang, disaat teknologi transportasi makin cepat dan mudah, uang melimpah; naik haji justru makin susah. Ironis memang. Seolah olah seperti sebuah hukum keseimbangan alam. Alam tidak mau orang ramai sekali naik haji. Corona pun datang untuk memperparah ini. Seolah-olah, alam sedang mengingatkan. Yang naik haji itu sebenarnya yang ada panggilan Tuhan. Selebihnya di rumah aja lah.

Konon lagi, meskipun tidak semuanya begitu, kita entah dapat uang dari mana-mana untuk pergi cuci dosa ke Arab. Mungkin terlalu banyak yang begitu. Sampai Allah tahun ini tidak mau menerima satu orang pun dari Indonesia. Wallahu ‘alam. Beberapa tahun sebelumnya malah Allah malah mengirim angin badai, justru saat orang-orang sedang menunggu-Nya di Padang Arafah. Wallahu ‘alam. Kita tidak tau apa maksud bencana demi bencana. Mungkin tidak etis juga mengaitkan ini dengan Allah. Tapi paling tidak, kita sama-sama refleksi dirilah. Kesucian harta termasuk isu utama kita hari ini. Mulai dari korupsi, riba, dan sebagainya. Mungkin Allah sudah enggan menerima kita di rumah-Nya. Karena yang hadir bukan kita. Tapi kerakusan kita.

Suatu ketika, Imam Jakfar Shadiq pergi berumrah dan haji bersama sahabatnya. Sesampai disana, ia meminta sahabatnya melihat ke arah orang-orang yang sedang bertawaf. Dia bertanya: “Taukah kamu siapa yang sedang melakukan tawaf?”. Sahabatnya menjawab: “Tidak”. Lalu Jakfar Shadiq mengusap kedua mata sahabatnya itu. Tiba-tiba ia mampu melihat wujud lain dari orang-orang yang sedang beribadah itu. Sebagian besar dalam wujud binatang. Ampun Tuhan!

Sampai hari ini masih ada orang-orang yang punya kemampuan seperti Sang Imam. Bisa membuka mata basihirah murid-muridnya untuk melihat bentuk-bentuk batiniah dari sesuatu. Para wali dan utusan Tuhan biasanya punya kemampuan untuk menyingkap fenomena-fenomena alam metafisikal. Imam Jakfar Shadiq merupakan seorang Wali Akbar, guru sufi semua tarikat dalam dunia Islam. Guru spiritual Abu Hanifah.

Yang jadi poin kita disini, perilaku kita sehari-hari akan membentuk wajah spiritual. Wujud fisik atau ke-makhluk-an kita boleh saja cantik dan ganteng. Tapi yang disebut akhlak, itu adalah wujud esoteris kita. Bisa jadi dalam bentuk babi, monyet, anjing, dan lain sebagainya. Itu jika moralnya buruk. Al-Quran juga melabelkan berbagai jenis binatang pada karakter manusia.

Tidak bisa berhaji pada tahun ini, menurut saya, itu saatnya kita mengevaluasi diri. Mungkin Tuhan sudah enggan menerima diri kita yang tidak begitu menyenangkan buat Dia. Kalaupun tidak bisa menemui-Nya di pelataran megah Haramain sana, Dia juga bisa ditemui di gubuk-gubuk reot di sekitar rumah kita. Seperti kata Hamzah Fansuri: Mencari Tuhan sampai ke Mekkah, ketemunya di Rumah. Bagi pemerintah, baik Arab Saudi maupun Indonesia, juga begitu. Ini kesempatan untuk kembali memperbaiki kinerja dalam melayani umat. Kalau tidak, bisnis haji bisa macet.

BACA: ZIARAH KE KOTA SUCI, SAUDI YANG MENANG MELAWAN ARGENTINA DAN BANJIR BESAR DI JEDDAH (FULL STORY)

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA


FOLLOW US:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
YouTube: 
https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Facebook:
 http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG@saidmuniruddin
Web: saidmuniruddin.com
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

2 thoughts on “BUBARNYA HAJI

  1. Keadaan ini akan berlanjut dan menjadi lebih buruk keadaannya, mengingat akhir zaman sudah tiba.

Comments are closed.

Next Post

GOD IS BEYOND TAJWEED

Sat Jun 5 , 2021
“Jurnal […]

Kajian Lainnya