GOD IS BEYOND TAJWEED


“Jurnal Tasawuf Akhir Zaman”, Artikel No. 40, Juni 2021.


GOD IS BEYOND TAJWEED
Oleh Said Muniruddin | Rector | The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Pernah suatu ketika, kita disibukkan dengan cara tulis yang benar. “Insyaallah”, “inshaallah”, “insya Allah”, “insha Allah”, “in Shaa Allah”, dan semacamnya itu. Nama Zakir Naik ikut dibawa-bawa untuk menjustifikasi bentuk-bentuknya penulisan yang dianggap benar.

Kita ditakut-takuti, kalau salah tulis bisa salah arti. Dari arti “jika Allah menghendaki”, menjadi “menciptakan Allah”. Padahal semua itu bentuk transliterasi dari tulisan إِنْ شَاءَ اللَّهُ dalam bahasa Arab. Kasus serupa juga terjadi dengan kata مَا شَاء اللَّهُ .

Saya kira, orang-orang cerdas ahli bahasa sudah menjelaskan. Perbedaan serapan sebuah huruf Arab ke masing bahasa bisa berbeda-beda. Huruf ش bisa di maknai sebagai “sy”, bisa juga “sh” dalam konteks lokal. Tergantung kesepakatan. Gimana nyamannya anda. Sebenarnya boleh suka-suka, sejauh maksudnya merujuk pada apa yang anda maksud. Lihat prokem ABG sekarang, nulisnya entah apa-apa. Tapi maksudnya itu juga.

Tapi manusia kadang-kadang memang kurang kerjaan. Untuk penyeragaman, dibuat aturan penulisan. Ada EYD, KBBI, dan sebagainya. Semua itu kreatifitas manusia yang terus mengalami perubahan. Cuma, dalam hal tertentu, agama sering dibawa-bawa untuk menakut-nakuti guna melegalkan sebuah pemikiran.

Cara baca juga sering dipermasalahkan. Salah sedikit saja dalam membaca ayat Qur’an, bisa di blow-up sebagai sebuah kenistaan. Bacaan “Al-Fatekah” Jokowi jadi bahan olok-olok. Prabowo salah ucap gelar Nabi SAW juga kena hajar. Memang tidak kita pungkiri, perkembangan peradaban Islam sampai melahirkan seni tulis baca dengan kaidah demikian detil. Tapi cara beragama kita terkadang sudah pada level mabuk yang berlebihan. Kurang fasih dalam membaca bisa dihakimi sebagai tindakan mengingkari agama, melecehkan Tuhan, mempelesetkan arti, dan lainnya. Seolah-olah kita paham sekali perasaan Tuhan.

Kami juga sering menjadi dewan hakim musabaqah menulis Al-Qur’an, kaligrafi atau khath. Lupa menulis satu titik saja, itu bisa bernilai aib dan dihukum “jali” (‘dosa besar’). Padahal, fragmen Qur’an pada masa Nabi SAW belum ada titik. Pembubuhan titik pada huruf ba-ta-sa dan lainnya; dan juga harakat seperti baris, sukun, tasydid; termasuk kode-kode waqaf, itu lahir dikemudian hari.

“Ada sebagian manusia yang meributkan perbedaan Qaf dengan Kaf, jangan salah ucap, sehinggga artinya menjadi lain. Mereka pikir, Tuhan sebodoh mereka, yang tidak bisa membedakan Qaf dan Kaf dan tidak bisa membedakan antara Insy dan Insh”, sebut salah satu teman kami T.M. Jakfar Sulaiman. Filsuf yang sering membuat polemik ini juga menambahkan, “Pada level tertentu, manusia itu punah bukan karena perang, tetapi karena cinta yang salah tempat. Pada tahap tertentu juga, manusia itu punah karena ketakutan [pada hal-hal] yang [kita duga] tidak disukai Tuhan.”

Apa yang ia sampaikan ada benarnya. Kita sudah terlalu mabuk dengan teknis. Dengan fiqih. Dengan rigiditas halal haram. Dengan makruh, mubah, sunnah dan sejenisnya itu. Semua harus dilabeli dalam kotak-kotak semacam itu. Kesederhanaan dalam beragama sudah diperumit dalam framework benar salah, yang juga tidak terlepas dari formulasi tafsir dan pemikiran manusia. Jurisprudensi Islam kerjaannya memang itu. Sama dengan profesi pengacara. Tugasnya cari pasal (dalil), untuk mengungkap kekeliruan dalam beragama. Cari salah.

Sedangkan sufisme berusaha melunakkan ketegangan ini. Memberi alternatif kepada manusia untuk kembali pada simplisitas agama. Sebagai sebuah ekspresi rasa, memperbagus bacaan dan tulisan sih oke-oke saja. Bagus. Tapi, itu bukan satu-satunya bahasa yang dipahami Tuhan. Tuhan tau, maksudnya adalah hati, meskipun aksen dan fasahahmu terdengar “kalbi”. Selama niat yang kau maksudkan itu adalah qalbi. Seorang ‘arif berkata:

“Saat engkau menutup mulut, lidah terkunci dan mulai berbicara dengan bahasa hati; semua izhar, iqlab, ikhfa, gnunnah dalam sholatmu menjadi binasa. Hanya bahasa isak tangis yang dipahami-Nya. Tajwid dan fasahah, itu bahasa lisan, untuk didengar manusia. Bagi Tuhan, Dia bahkan tau apa yang terlintas di pikiran dan terbetik di hatimu. Maka untuk apa lagi engkau bernyanyi dan berbicara. Indahnya alunan, itu instrumen dakwah ke khalayak awam. Dihadapan-Nya, baiknya kau bodoh saja. 

PENUTUP. Agama itu tidak melulu tentang tata cara menulis dan membaca, secara jahar. Tapi juga seni diam. Sholat (dan semua bentuk ibadah) pada hakikatnya adalah “dzikir”. Seni berbicara dengan hati, tanpa perlu tebal tipis huruf. Seni yang menghilangkan semua hukum-hukum panjang pendek bacaan. Sebab, Tuhan itu hakikatnya memang tidak bisa didekati dengan huruf-huruf dan bacaan yang berdimensi lahiriah, yang bergerak sangat lambat. Harus dengan cahaya, yang kecepatannya tak terhingga.

Kata Rumi, “Silence is the language of God. All else is poor translation”. Dalam bahasa bermiripan, kami percaya, “God is Beyond Tajweed”.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

💥 powered by PEMUDA SUFI
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web: saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG: @saidmuniruddin

Next Post

INTI SHOLAT, KHUSYUK!

Wed Jun 9 , 2021
“Jurnal […]

Kajian Lainnya