TANPA “RUH”, KITA JADI MONYET!


“Jurnal Tasawuf Akhir Zaman”, Artikel No. 42, Juni 2021.


TANPA “RUH”, KITA JADI MONYET!
Oleh Said Muniruddin | Rector | The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Dalam Al-Qur’an disebutkan, manusia menjadi hidup pada saat “ditiupkan” Ruh. Ketika Ruh “ditiup”, disitulah terjadi komunikasi antara dirinya dengan Tuhannya. Kalau belum mampu berkomunikasi dengan Allah, sebagaimana kemampuan orang-orang shaleh terdahulu (i.e. nabi dan lainnya), maka kita belum dikatakan hidup, secara ruhiyah. Masih mati. Sebab, kemampuan berkomunikasi dengan Tuhan menjadi sebuah persyaratan primordial untuk terlahir ke dunia. Tanpa kemampuan ini, we get lost!

Allah SWT berfirman:

وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا ۛاَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَۙ

“(Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu Adam, keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri mereka sendiri (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami melakukannya) agar di hari Kiamat kamu (tidak) mengatakan, “Sesungguhnya kami lengah terhadap hal ini.” (QS. Al-A‘rāf: 172)

Ayat ini sering dipahami sebagai tonggak awal janin menjadi hidup, setelah “ditiupkan” Ruh.

Sebenarnya, ini ayat yang memiliki kandungan sufistik yang tinggi. Ayat ini menjadi grand theory, bahwa kita semua bisa ngobrol dengan Tuhan. Manusia punya kemampuan berkomunikasi (berbicara) dengan Tuhan. Siapapun dan agama apapun dia!

Sejak awal, (Ruh) kita sudah berbicara dengan Tuhan. Lalu kenapa pula sekarang, dengan Ruh yang sama yang ada dalam diri kita, kita tidak mampu lagi bercakap-cakap dengan Dia? Kenapa saat awal kehidupan kita bisa ngomong dengan Tuhan? Kenapa pula saat sudah dewasa, sudah cerdas, sudah mengenal agama, sudah pandai mengaji, sudah hafal Al-Qur’an, sudah bisa sholat dsb; tidak mampu lagi bertegur sapa dengan-Nya?

Inilah yang disebut “hidup adalah ujian”. Ujian untuk kembali kepada Tuhan. Ujian untuk mampu kembali “menyaksikan” Tuhan. Selama belum mampu “menyaksikan”, kita masih buta. Sebelum kembali mampu mendengar Dia “berbicara”, kita masih tuli. Sebelum kembali mampu bertutur kata dengan-Nya, kita masih “bisu”. Summun bukmun ‘umyun fahum laa yarjiun. “Mereka tuli, bisu dan buta, sehingga mereka tidak dapat kembali” (QS. Al-Baqarah: 18).

Definisi hidup dan mati manusia tidak sama dengan yang berlaku dalam dunia binatang. Sekedar bisa bernafas dan merayap kemana-mana, itu makna hidup secara jasadi (fungsi kehidupan biologis yang juga dimiliki oleh semua hewan). Sementara hidup dalam makna Qurani adalah hidupnya qalbu. Hati. Ruh atau jiwa. Hidupnya perangkat teknologi spiritual dalam diri, sehingga terkoneksi secara “live” dengan Allah. Kalau kita bisa menyembah-Nya secara langsung (tanpa perantara), lalu kenapa pula kita tidak bisa berbicara dengan-Nya secara langsung?

Sejak di alam primordial, kita sudah membangun diskusi interaktif dengan Tuhan. Seharusnya, sampai kapan pun hal itu bisa dilakukan. Kalau tau metodenya. Karena ada ratusan ribu orang (para nabi dan orang-orang shaleh) sebelum Muhammad yang bisa melakukan itu. Tentu juga ada ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan orang setelah Beliau yang juga memiliki kemampuan serupa. Asal tau caranya.

Ini wilayah kerja tasawuf dan tariqah. Di dalamnya diajarkan metode untuk “kembali” kepada Tuhan. Cara untuk kembali mengenal dan mensyuhudi (menyaksikan) Dia secara langsung. Wushul, connected. Kalau kita bisa menyembah-Nya secara langsung (tanpa perantara), lalu kenapa pula kita tidak bisa menyaksikan-Nya secara langsung?

Tasawuf dan tariqah adalah usaha aktivasi Ruh. Agar Ruh kembali memiliki sinyal muraqabah dan mata mukasyafah; sehingga manusia bisa merasakan, mendengar, berbicara dan melihat-Nya. Sebagaimana dicontohkan oleh para nabi, yang begitu intens membangun persahabatan dengan Tuhan.

Dalam tradisi tasawuf, orang-orang yang menempuh jalan para nabi ini disebut “salik” (para penempuh jalan). Dalam cara-cara tertentu, mereka berusaha mengulang kejadian di alam primordial. Yaitu, dengan menjalani proses “inkubasi” selama berhari-hari (dalam kelambu, gua dan ruang-ruang sempit yang tak terlihat langit). Sampai pada titik dimana mereka akan kembali mengalami proses “peniupan” Ruh, sehingga jiwanya tercerahkan (tersambung kembali dengan Tuhan).

Ada sosok Guru, Mursyid atau Imam Spiritual yang memandu bentuk-bentuk iktikaf khusus. Karena ini urusan Ruh, maka sang Master bukanlah guru mengaji biasa. Karena ini bukan persoalan baca tulis. Tetapi persoalan alam Ruh. Maka kapasitas seorang guru; idealnya harus seorang jibril, nabi ataupun wali. Yang sangat menguasai peta alam gaib. Bisa saja sebuah suluk dipimpin oleh seorang ulama, teungku, atau guru agama biasa. Tapi efek esensialnya tidak ada. Hanya sebatas zikir dan kajian biasa. Tidak membuat jiwa murid mengalami kontak dengan alam yang lebih tinggi.

Memang sedikit sekali orang yang benar-benar menguasai metodologi “peniupan” Ruh. Anda tau, metodologi ini sama seperti yang dimiliki oleh Nabi Isa as. Kalau ia tiup orang mati, bisa hidup. Baik mati betulan, ataupun mati qalbunya. Dua-duanya bisa hidup. Itu Mursyid.

Makanya, teknologi “tiup-meniup” ini ditiru oleh banyak orang. Dukun juga begitu. Mengobati orang juga dengan prosesi tiup meniup. Nabi juga melakukan itu. Hanya saja, tiupan dukun mendatangkan jin. Tiupan nabi dan para warisnya mendatang Tuhan dan para malaikat-Nya. Metodenya mirip-mirip. Makanya dibutuhkan kehati-hatian dalam mencari guru. Karena, antara Mursyid dan dukun beda-beda tipis. Antara ulama dan iblis, itu sama berjubah. Iblis keramat. Begitu juga para nabi.

Alquran, ketika bicara sujud patuh atau ingkar kepada Allah; itu lebih banyak berbicara tentang hidup atau matinya qalbu (Ruh). Sehingga, sempurna atau tidaknya “kejadian” atau “penciptaan” manusia; sebenarnya lebih kepada hidup atau tidak qalbu. Sudah disucikan atau belum jiwanya. Sudah “tertiup” atau tidaknya Nur Muhammad, Ruh yang dapat membuat kita mesra dengan Allah SWT:

فَاِذَا سَوَّيْتُهٗ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِيْ فَقَعُوْا لَهٗ سٰجِدِيْنَ

“Apabila Aku telah menyempurnakannya dan meniupkan Ruh-Ku ke dalamnya, tunduklah kamu kepadanya dalam keadaan bersujud.” (QS. Shād: 72)

Sejarah manusia dalam Al-Qur’an juga dimulai dengan “Adam”, sosok homo sapiens pertama yang mengenal Tuhan. Manusia pertama yang mendapat “tiupan” Ruhnya. Sehingga ia menjdi a spiritual homo deus. Jiwanya aktif dan mulai mengenal Asma-Asma. Sebab, ada banyak jenis manusia sebelum Adam (i.e., homo erectus, dsb). Tapi mereka belum mencapai pengetahuan hakikat. Masih meraba-raba tentang Tuhan. Percaya kepada adanya Tuhan, tapi tidak konfirmatif. Tidak sungguh-sungguh terhubung dengan-Nya. Sehingga melahirkan makhluk yang gersang. Teralienasi dan brutal. Penuh pertumpahan darah. Bersetan. Sampai kiamat juga akan begitu. Jika putus kontak dengan Tuhan, hidup kita menjadi galau dan ngawur. Mirip-mirip makhluk usil pra-sejarah.

Maka sejarah seorang anak manusia (bani adam), itu sebenarnya adalah sejarah sejak pertama ia mengenal Tuhannya (makrifah). Kelahiran anda, hakikinya bukanlah kelahiran jasad anda waktu bayi itu. Melainkan sejak kapan anda aktif kembali berkomunikasi dengan Tuhan anda. Kalau untuk para nabi dilukiskan dengan kejadian pertama kali “menerima Wahyu”. Karena itulah fase awal kecerdasan spiritual. Hidupnya Ruh. Lahirnya agama. Kita baru dikatakan beragama jika sudah punya frekuensi untuk berkomunikasi dengan Allah. Sehingga dikenal bahasa awaluddin makrifatullah. Awal agama adalah hidupnya dimensi batiniah.

Pada ayat lain Allah SWT berfirman:

لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ

“Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tīn:4)

“Khalaqna”, insanu”, “ahsanu taqwim” merupakan isyarah-isyarah wujud kesempurnaan batin manusia. Akhlak adalah aspek kajian tasawuf. Dimensi Ruh, ahsanu taqwim. Akhlak yang baik adalah berakhlak dengan Akhlak Allah. Ini hanya bisa terjadi jika telah mendapat “tiupan” Ruh-Nya. Telah mengalami proses inkubasi spiritual secara ketat. Sesuatu yang secara serius dijalani oleh semua insan (Gautama, Isa, Musa, Muhammad dan lainnya) dalam penapakan mereka menuju Tuhan.

Adam, dan itu adalah kita semua, menjadi nabi (mampu mendengar suara hati/suara Tuhan) ketika telah mampu menyempurnakan ini. Telah melakukan pendakian spiritual. Kalau kita tidak menempuh jalan para nabi dan gagal memperbaiki Akhlak (gerak ketuhanan dalam diri/Ruh), kita akan kembali radadnahu asfala safilin (QS. At-Tin: 5). Menjadi makhluk pra-Adam.

Lalu, seberapa serius kita mengikuti jalan para wali Tuhan ini. Jalan paling primordial. Jalan untuk mengetahui antara yang benar dengan yang salah. Jalan syahadah, jalan Qaalu balaa syahidnaa. Jalan awal menuju kehidupan yang hakiki. Jalan untuk menghidupkan kelembutan Ruh, gelombang dan frekuensi ketuhanan dalam diri. Sebab, tujuan agama adalah untuk membuat manusia menjadi “ilahi”. Hadir Tuhan dalam diri. Kalau ini tidak terjadi, kita jadi monyet (makhluk “pra-manusia”, “pra-adam”; punya otak tapi tidak memiliki ruh). Bahkan HIV/AIDS, penyakit paling parah di muka bumi, asal usulnya masih dikaitkan dengan keberadaan primata ini (bandingkan dengan sosok salik seperti lebah yang menghasilkan madu, obat terbaik untuk segala penyakit). Manusia, yang dari dirinya lahir keburukan-keburukan, dikutuk jadi “kera”. Dalam artian, spiritualnya belum berevolusi menjadi manusia. Alias turun grade jadi binatang:

فَلَمَّا عَتَوْا عَنْ مَّا نُهُوْا عَنْهُ قُلْنَا لَهُمْ كُوْنُوْا قِرَدَةً خٰسِـِٕيْنَ

Kemudian, ketika mereka bersikeras (melampaui batas) terhadap segala yang dilarang, Kami katakan kepada mereka, “Jadilah kamu kera yang hina!”
(QS. Al-A‘rāf: 166)

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

💥 powered by PEMUDA SUFI
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web: saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG: @saidmuniruddin

One thought on “TANPA “RUH”, KITA JADI MONYET!

  1. Kita harus mengerti bahwa alquran ini hanya dpt dipahami oleh kaum Adam,kaum iblis tidak akan pernah mengerti karena tidak ada spiritual pada diri mereka,perhatikan saja terjemahan-terjemahan yg ada pada alquran pada meleset dari kebenarannya.Melantukan ayat-ayat alquran paling jago tetapi tidak mengerti artinya , padahal alquran adalah takdir yg diturunkan oleh yg Maha Kuasa.

    ustadz sayyid habib yahya

Comments are closed.

Next Post

MENG-UPGRADE GELOMBANG "RUH"

Thu Jun 17 , 2021
“Jurnal […]

Kajian Lainnya