“SAYED LAMPOH BUKOT”, THE POLICE


“Jurnal Tasawuf Akhir Zaman” | PEMUDA SUFI | Artikel No.47 | Juli 2021


“SAYED LAMPOH BUKOT”, THE POLICE
Oleh Said Muniruddin | Rector | The Zawiyah for Spiritual Leadership

BRENGSEK. Tiba-tiba lampu merah. Di Jambo Tape pula. Sesosok polisi melirik saya. Alah mak!

“Minggir!”, katanya. “Ada SIM?”, bentaknya.

“Gak ada Pak”, jawab saya gemetar.

“Ya udah. Ikut saya”, pintanya.

Akhirnya saya terduduk di belakang motor dia. Motor saya dibawa oleh kawannya.

Saya terkepung di sebuah meja, di sebuah warung kopi. Lokasinya di samping Kantor Camat Kuta Alam. Tidak jauh dari Polresta Banda Aceh. Rupanya itu posko istirahat mereka.

“Tinggal dimana kau?”, tanya salah satu polisi. “Di Kuta Alam Pak”, jawab saya.

Lalu suasana menjadi sunyi.

Saya tidak tau, rupanya Kuta Alam itu angker, buat polisi. Karena disitu ada kompleks perumahan tentara. Saya tidak tinggal di kompleks itu. Melainkan di Simpang Halimun, berseberangan dengan itu.

Kini nada pak polisi mulai melembut. “Bapak kamu tentara?”, ia penasaran. Teman-temannya yang lain ikut menatap, menunggu jawaban.  “Bukan Pak”, jawab saya. “Abang kamu?”, ia mengejar. “Bukan juga Pak”, saya kembali menjawab. “Jadi siapanya kamu yang tentara?”, ia penasaran. “Tidak ada Pak”, jawab saya. “Jadi kamu bukan tinggal di komplek tentara Kuta Alam?”, suaranya sudah tinggi lagi.

Habis saya. Lugu kali. Kenapa gak saya tipu aja polisi-polisi itu. Gak paham saya, kalau ada sangkut paut dengan tentara, kita bisa aman di jalan raya.

Ya, begitulah. Setelah investigasi singkat, ditemukan saya tidak ada sangkut paut dengan keluarga tentara, angka pun keluar. “100.000”, katanya (sambil menjelaskan pasal-pasal Lalu Lintas di Republik tercinta Indonesia Raya).

Ka matee keei! (Mati awak!). Mana ada uang sebanyak itu.

“Pak, boleh saya pulang minta uang dulu sama Ayah (kami menyebutnya Waled)?”, pinta saya.

“Gak usah!”, jawabnya. “Berapa ada uang kau?”, tanyanya. “Sepuluh ribu”, jawab saya. “Ya sudah, bawa sini”. Case closed!

***

Itu kejadian waktu SMA. Sekitar 25 tahun lalu.

Sejak saat itu, bagi saya, tidak ada polisi yang baik. Semuanya brengsek. Kecuali satu orang. Namanya Said Nazarullah. “Sayed Lampoh Bukot”, begitu kami menyebutnya.

Disebut begitu, karena tempat ia tinggal namanya Lampoh Bukot. Satu kampung kami. Juga pernah satu SD di Lameue, Pidie. Kebetulan juga saudara.

Saya yang temani untuk ikut berbagai tahapan tes kepolisian saat ia ke Kutaraja. Sementara saya sudah lama pindah ke Banda. Saya yang bantu beli pisang wak untuk ia makan menjelang ujian. Karena berat badannya kurang. Biasalah. Kalau di negara-negara maju, orang-orang sudah obesitas. Di tempat kita sebaliknya, kurang gizi dan kurus-kurus. Termasuk saya. Sangat kurus, waktu itu. Sekarang sudah agak gemuk. Perutnya.

Kenapa harus makan pisang wak saat ikut tes polisi? Katanya, “kalau makan buah itu, berat kita bisa bertambah mendadak. Untuk sementara”. Entah iya!

Said Lampoh Bukot inilah yang membuat persepsi saya terhadap polisi berubah. Ternyata polisi juga tempat berkumpulnya orang-orang baik. Kenapa Said Lampoh Bukot ini saya sebut polisi yang baik?

Karena, sejak lulus polisi dan mulai ada gaji, ia selalu mentraktir saya. Tiap malam. Makan nasi goreng di Warung Sahabat, Peurada. Tapi sejak kawin, ia sudah agak lupa sedikit dengan kami semua.

Bagi saya, Said Lampoh Bukot “The Police”, adalah sesuatu. Asal azan langsung ke Masjid. Pacaran pun takut. Pengen. Tapi agak-agak segan ia. Mungkin karena masih ada hafalan ayat dan hadis, hasil nyantri 6 tahun di Lueng Putu. Ia juga termasuk polisi yang paling cepat naik haji. Semua yang naik haji waktu itu, katanya, pangkatnya sudah perwira. Cuma ia yang tamtama. Rupanya pakek uang ibunya. Menemani ibunya naik haji. Mirip-mirip anak sholeh kawan tu!

Suatu ketika, saya juga menemukan pak polisi ini terlihat bawa-bawa tasbih di tangannya. Kerjaannya dzikir dan shalawat terus. “Banyak kali dosa aku Nir”, katanya. Cinta kali ia sama habib-habib Yaman. Pada saat yang sama, saya lebih menyukai habib-habib Iran. “Hati-hati Nir, nanti disebut Syiah”, nasehatnya. “Pokoknya kalau ada yang macam-macam sama aku, kau tembak aja Yed”, balas saya.

Ok. Dunia ini selalu di kepung oleh dua kekuatan. “The bad and the good.” Begitu pula dalam dunia kepolisian, selalu ada “good cops and bad cops.” Biasa itu. Dimana-mana begitu. Tidak hanya di kepolisian. Di pemerintahan, DPR, kejaksaan, dan sebagainya. Sama.

Alhamdulillah. Kita melihat begitu banyak perubahan yang telah terjadi dalam institusi polisi. Fenomena tangkap menangkap dan sogok menyogok secara terbuka di jalan raya, (hampir) tidak ditemukan lagi. Tapi hal-hal lain dalam tubuh kepolisian pasti masih terbuka peluang untuk terus diperbaiki. Saya tidak mau mengkritisi. Atau mencari-cari salah. Semua orang tau, masih ada kelompok-kelompok mafia yang menjadi beking judi, narkotika dan prostitusi. Biarlah polisi terus mensucikan dirinya. Saya juga punya PR untuk memperbaiki diri saya sendiri. Kalau tidak segera diperbaiki, nanti Tuhan sendiri yang akan membongkar aib-aib kita semua.

Selamat Hari Bhayangkara!

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

💥 powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web: saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG: @saidmuniruddin

Next Post

SOLUSI UNTUK HIJAB REJEKI

Thu Jul 1 , 2021
“Jurnal […]

Kajian Lainnya