MENUHANKAN ALLAH: SEKEDAR TAU NAMA, ATAU HARUS TERHUBUNG DENGAN-NYA?


“Jurnal Tasawuf Akhir Zaman” | PEMUDA SUFI | Artikel No.54 | Agustus 2021


MENUHANKAN ALLAH; SEKEDAR TAU NAMA, ATAU HARUS TERHUBUNG DENGANNYA?
Oleh Said Muniruddin | Rector | The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. “Allah” sebagai nama Tuhan, itu bukan cuma Islam saja yang tau. Kaum jahiliah juga tau, itu nama Tuhan. Kaum pagan juga begitu. Semua agama tau, “Allah” itu nama Tuhan. Bahkan sebutannya banyak. Bisa disebut dengan berbagai nama, perilaku dan sifat. Lalu apakah dengan tau itu semua anda sudah Islam?

Kalau sekedar tau nama Tuhan itu “Allah”, lalu anda jadi Islam; maka Islam kita tidak ada beda dengan agama lain yang juga punya Tuhan yang sama (semacam Yahudi dan Kristen, yang sebutannya juga Allah, Eloh, Elohim). Bahkan apapun nama Tuhan yang disebut oleh banyak agama, sebenarnya sama. Semua merujuk pada yang satu itu. Syahadat pun begitu. Yahudi juga mengaku Tuhan itu Ahad. Sama dengan kita. Semua agama, punya prinsip bahwa Tuhan yang tertinggi itu Esa. Hanya para pendamping (malaikat/dewa-dewa) yang banyak.

Jadi tidak ada hebatnya tau bahwa nama Tuhan itu “Allah”, lalu mengaku Dia sebagai satu-satunya Tuhan. Sejak Adam orang sudah tau itu. Yang hebat itu adalah: “Pada saat engkau sebut nama-Nya, Dia hadir”, sebut Abuya Sufimuda. Itu pertanda, secara dzatiyah engkau sudah terhubung dengan-Nya. Bukan sekedar meneriakkan nama-Nya, sebagaimana dilakukan oleh banyak orang di muka bumi.

Disini kita paham, agama itu sebenarnya ada dua. Agama hakiki atau agama asli (samawi), dan agama palsu atau agama yang telah tereduksi (ardhi). “Agama asli” (samawi) adalah agama yang memiliki karamah dan mukjizat, yang ketika disebut nama-Nya, Dia hadir. Sedangkan “agama palsu”, adalah agama yang namanya disebut-sebut, tapi Dianya tidak menjawab.

Anda punya teman. Tau namanya. Lalu anda sebut dan panggil-panggil. Tapi tidak datang. Padahal anda tau, dia itu dekat. Apa benar itu teman anda?  Tapi kenapa tidak konek. Tidak di dengar. Tidak dipedulikan. Tidak terhubung sama sekali. Beragama secara teoritis dogmatis (sebatas percaya-percaya saja) juga begitu. Cukup sekedar menyebut nama Tuhan, sebagaimana dianjurkan. Sementara Tuhan tidak mau berurusan dengan kita.

Dalam perspektif tauhid dan syariat, Tuhan itu jauh (transenden). Kita hanya tau nama. Zatnya entah dimana. Keduanya terpisah. Nama yang keluar dari lisan kita, dengan esensi Zat, itu bercerai. Sehingga, keislaman kita hanya sampai kepada nama. Tidak utuh sampai kepada Hakikat. Itu Islam “lahiriah”. Islam KTP. Simbolik pada bacaan dan nama.

Beda sekali jika anda punya teman, yang ketika anda sebut namanya, dia seketika menoleh dan hadir. Itu bentuk beragama yang aktual. VerifiedConfirmed. Disahut. Terjawab. Sebab, nama dengan pemilik nama tidak pernah terpisah. Nama dengan Zat, itu satu. Dia meliputi nama-Nya. Anda sebut namanya, Dia hadir. Itu Islam “Lahir Batin”.

Dhahirnya Allah, itu ya nama-Nya. Dia hanya diketahui lewat nama. Sedangkan batin adalah Nurnya, Dzatnya, Dirinya sendiri. Berislam, sejatinya adalah lahir dan batin. Tau nama. Juga mengenal (terkoneksi/berhampiran) dengan Wajahnya.

Berislam secara hakiki, adalah tau nama dan juga lebur dalam hakikat (Zatnya). Alias connected! Itulah makna “makrifat”. Makrifat itu bukan sekedar -secara fisikal lahiriah- memiliki kabel listrik. Tapi -secara batiniah- ada arus di dalamnya. Sehingga kabel anda berpower. Bisa menghidupkan. Bisa mematikan.

Artinya, berislam itu bukan sekedar mengucap  kata Allah atau dua kalimat Syahadat secara fasih. Tapi ada vibrasi kehadiran Allah dan Rasulnya disetiap kata-kata. Sehingga kalimat menjadi Kalimah. Pernyataan menjadi penyaksian. Hipotesa menjadi realita. Sebab, kalau sekedar mengucap dan menghafal, semua orang mampu. Anak kecil pun bisa. Yahudi pun bisa lebih fasih dari kita. Allahnya hadir tidak?

Islam itu “kehadiran Tuhan”. Bukan fasih menyebut nama Tuhan. Islam itu zikir, ingatan yang terintegrasi dengan Tuhan. Islam itu seperti yang dilakoni para nabi, kesadaran yang terhubung dengan Tuhan, sekalipun lidah sudah terkunci. Islam itu hati yang bertajalli, jiwa yang dipenuhi kekuasaan Tuhan.

Islam itu berlapis. Pada lapis tauhid, anda menjalani proses enforcement. Diajari “nama”. Dihafalkan istilah-istilah terkait Tuhan. Dijejali setumpuk kitab dan referensi. Disuruh berfikir, bahkan berdebat. Pada level syariat, anda disuruh menyembah-Nya ke arah yang bersifat kira-kira. Tidak jarang anda ditakuti dengan halal dan haram. Diimingi surga dan neraka.

Pada level sufisme (irfan/tariqah), anda mengalami proses empowerment. Di-ummi-kan dari berbagai konsep dan teori. Dihentikan proses berfikir. Diberi Ruh pada nama. Dikoneksikan dengan “Zat”. Sampai muncul mahabbah, cinta secara suka rela. Peribadatan pada tahap ini berqiblat ke arah yang pasti. Dihadapkan secara langsung ke titik koordinat dimana Wajahnya berada. Inni wajjahtu wajhiya.

Islam pada konteks lahiriah, memiliki gelombang yang sangat rendah. Kita hanya mampu mengetahui nama Tuhan. Menyebut-nyebutnya. Tapi impoten, tidak bertenaga. Tidak tembus kemana-mana. Sementara proses sufistikasi ruhiyah berupaya memberi power pada nama. Gelombangnya tinggi. Tembus ke langit. Sehingga pada saat lisan kita menyebut sebuah Nama, ruhani kita tersambung dengan Wujudnya.

Banyak dari kita yang “menjual” agama hanya karena fasih berbahasa. Tapi Tuhannya tidak ada. Anda bisa saja meniru nama dan tanda tangan presiden. Apa susahnya. Tinggal jiplak. Tapi powernya tidak ada. Mungkin nama presiden yang anda bawa-bawa itu mampu menakut-nakuti sekelompok kecil jamaah anda. Tapi tidak semuanya.

Berbeda halnya dengan nama dan tanda tangan presiden yang asli. Ketika dikeluarkan, bisa menggerakkan semua elemen negara. Yang tidak patuh, bisa kualat. Memang sama-sama nama. Tapi yang satu palsu. Satu lagi ada otorisasi yang turun dari tempat yang tinggi. Begitulah nama Tuhan yang beredar di bumi. Ada yang asli, ada yang palsu. Ada yang menyembuhkan, ada yang tidak. Karena yang satu bersifat samawi (sacred/hadir Tuhannya), satu lagi bernilai ardhi (profane/kosong dari Tuhan).

Untuk mencapai keislaman yang sempurna, lahir dan batin, anda harus menemukan orang yang pada masing zamannya telah ditugaskan untuk membawa frekuensi, yang dapat mengkoneksikan qalbu kita secara langsung dengan Tuhan. Nikmat hakiki dari berislam, sesungguhnya bukan karena kita sudah berislam secara formal. Tapi pada saat anda menemukan seorang “Logos” (Ilmu/Washilah/Ruh), Rasul utusan Tuhan. Atau para wali yang mewarisinya. Konek dengan mereka, konek pula kita dengan Tuhan. Kalau tidak, alih-alih terkoneksi dengan Dia; kita justru tertimbun dalam kitab, dalam istilah dan nama-nama yang kita ciptakan sendiri.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

💥 powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web: saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG: @saidmuniruddin

3 thoughts on “MENUHANKAN ALLAH: SEKEDAR TAU NAMA, ATAU HARUS TERHUBUNG DENGAN-NYA?

  1. manusia itu rahasiaKu dan Aku rahasianya

    Hanya salah pengertian mengenai ayat ini maka semua dianggap ”manusia” itu adalah manusia, padahal manusia setan itu bukanlah diriNYA.
    manusia-manusia setan tidak akan mungkin terhubung denganNYA.

    ustadz sayyid habib yahya

  2. At the beginning, I was still puzzled. Since I read your article, I have been very impressed. It has provided a lot of innovative ideas for my thesis related to gate.io. Thank u. But I still have some doubts, can you help me? Thanks.

Comments are closed.

Next Post

MENGINGAT ALLAH

Thu Aug 5 , 2021
“Jurnal […]

Kajian Lainnya