HIJRAH, DARI MASJID KE WARUNG KOPI


“Jurnal Tasawuf Akhir Zaman” | PEMUDA SUFI | Artikel No.56 | Agustus 2021


HIJRAH, DARI MASJID KE WARUNG KOPI
Oleh Said Muniruddin | Rector | The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Orang-orang mencari kebahagiaan. Puncak bahagia itu, berjumpa, dipertemukan dengan Tuhan. Selama itu belum ditemukan, orang-orang terus bergerak mencari apapun yang sifatnya bisa memenuhi rasa, menyenangkan. Di warung dan cafe-cafe, bentuk-bentuk kenikmatan itu bisa ditemukan. Mungkin tidak bagi semua orang. Tapi kalau kita lihat, ramai yang begitu.

Jangan salahkan warkop atau cafe. Setiap orang berhak membuka warkop. Juga halal hukumnya bagi siapapun untuk duduk di warkop. Yang jadi pertanyaan, kenapa masjid tidak sepenuh warkop? Ada masalah apa dengan masjid, sehingga orang ramai hijrah ke sensasi kopi, daripada rebah sujud di altar suci?

Awal 1443 H ini waktu yang tepat untuk introspeksi, mengapa ada masjid yang sepi. Dibandingkan warung kopi. Jadi bukan sekedar berdakwah mengajak orang ke masjid. Tapi juga menemukan akar masalah, kenapa masjid bisa sunyi. Sehingga, kita tidak sekedar menyalahkan orang yang malas ke masjid. Tapi juga menemukan sebab, kenapa atraksi sebuah masjid mampu dikalahkan oleh banyak cafe.

Mengapa pada hijrah ke warung kopi?

Pertama. Kami khawatir, jangan-jangan  masjid sudah kita isi dengan neraka. Maksudnya, penuh dengan cerita-cerita neraka. Cerita-cerita bid’ah dan dosa. Cerita-cerita azab dan siksa. Padahal kita disuruh hijrah, dari neraka ke surga. Tapi, kalau di masjid sering dibuka pintu neraka, segan juga kita ke masjid. Di cafe, orang-orang dijamu bak raja. Jangan sampai di masjid, kita para ustadz, memperlakukan jamaah sebagai pendosa.

Atau, kedua, masjid-masjid kita menawarkan sesuatu yang tidak bisa dirasa. Menawarkan surga dan pahala. Tapi tidak pernah bisa dibuktikan eksistensinya. Sehingga menjadi sebatas cerita. Beda dengan kopi, tidak perlu diceramahi seperti apa bentuk dan warnanya. Tapi langsung bisa dinikmati. Ada wujudnya.

Agama harus menawarkan “rasa”. Biar nikmatnya ada. Jangan lagi sebatas doktrin, untuk dipaksa-paksa percaya. Tuhan yang ditawarkan jangan lagi sebatas nama. Tapi ada barangnya. Bisa dirasa. Sehingga nikmat iman dan nikmat Islam benar adanya.

Orang-orang dewasa akan mencari wujud yang bisa dirasa. Malas untuk terus hidup dalam hikayat dan cerita-cerita. Kecuali anak-anak. Itulah kenapa, metode pengajaran agama tempo dulu, disempurnakan dengan tariqah. Setelah bertahun-tahun disajikan dalil (teori dan cerita) dalam bentuk tauhid dan fiqah, para murid dibawa kepada pembuktian Wujud yang bisa dicerap secara empirikal batiniah. Sehingga agama naik level, dari “dogma” ke “rasa”. Tuhan yang selama ini hanya ada dalam imajinasi konseptual, gelombang kehadirannya benar-benar bisa dirasakan. Kalau gelombang ini tidak ditemukan di rumah-rumah ibadah, orang-orang akhirnya hijrah, untuk menikmati sensasi kopi di warung-warung sebelah.

Eropa sudah lama menjadi ateis. Gereja-gereja dijual karena kosong. Karena agamanya sudah dogmatis. Telah kehilangan washilah yang dapat membawa umatnya ke sisi Allah. Kosongnya masjid-masjid, kami khawatir, ini juga gejala awal dari ateisme dalam dunia Islam. Sesuatu yang harus kita cari akar permasalahan.

Cafe dan warung kopi sebenarnya tidak menawarkan apa yang paling dibutuhkan manusia. Tapi masjid dengan segala ritual formalnya terkadang juga kehilangan kemampuan untuk memakmurkan jiwa manusia. Agamawan banyak. Tapi hanya mampu membaca dan menafsirkan ayat. Tidak ada mukjizat. Tidak ada Rasulullah-nya. Agama menjadi sangat teoritis. Tidak hadir Tuhan. Agama yang kering, diam-diam, pasti akan ditinggalkan penganutnya. Karena manusia pada ujungnya hanya mencari miracles. Sesuatu yang hidup. Yaitu, Tuhan itu sendiri.

Saya tidak membenturkan masjid dengan warung. Keduanya baik, dengan fungsi berbeda. Satu untuk ritual ibadah, satu lagi untuk makan minum. Hanya saja, banyak dari kita dalam masjid yang marah karena begitu berkerumunnya orang-orang di warung kopi, tapi tidak terpaut hati untuk ke masjid. Sepertinya ruh masjid kalah bersaing dengan aura kopi.

Namun jangan terlalu ekstrim menyalahkan mereka yang hidup dari warung ke warung. Sebab, suatu ketika kami bertanya, “Kenapa kalian di warkop terus?”. Dijawabnya, “Karena kami telah mampu memandang Tuhan dalam segelas kopi. Mau di masjid atau di cafe remang-remang, bagi kami sama saja”. Entah mazhab apa ini. Tapi ada benarnya, Tuhan ada dimana-mana. Dia bisa disembah dengan berbagai cara. Termasuk di warung sambil ngopi. “Tapi sesekali jangan lupa ke masjid. Karena di tempat itulah, dalam gerak yang sama, kita siang malam ikut membesarkan Namanya”, saran kami.

Selamat tahun baru Islam, 1 Muharram 1443 H.

BACA JUGA: “Berikut Dua Hal yang Harus Diperhatikan Saat Membangun Masjid”

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

💥 powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web: saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG: @saidmuniruddin

One thought on “HIJRAH, DARI MASJID KE WARUNG KOPI

  1. Pandangan yg tajam terhadap lingkungan.
    G jauh beda seperti yg aku liat..
    Tapi teruslah bergerak meski hanya dgn jari jemari kita, smg bisa membuka mata dan mencari titik temunya.

Comments are closed.

Next Post

DOA YANG TAK LAGI MAKBUL

Sat Aug 14 , 2021
“Jurnal […]

Kajian Lainnya