AGAMA ITU (BUKAN) DALIL


“Jurnal Tasawuf Akhir Zaman” | PEMUDA SUFI | Artikel No.58 | Agustus 2021


AGAMA ITU (BUKAN) DALIL
Oleh Said Muniruddin | Rector | The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Ilmu Tuhan tidak terbatas. Selama bersama Tuhan, kita akan terus diberi tau rahasia dan jawaban-jawaban yang lebih unik lagi mendalam tentang semesta agama. Tentang Qur’an, dan sebagainya. Semua pengetahuan ini ada di lembaran hati kita, yang merupakan sebuah lokus suci, kitab induk dari segala sesuatu. Kalau dekat dengan Tuhan, kitab ini akan tersibak untuk kita baca.

Tapi, jika kita menganggap agama itu adalah kumpulan dalil terbatas, yang tertulis di kertas, yang pernah disortir-sortir oleh sekumpulan orang, yang diawasi hasilnya oleh penguasa dan bahkan terus didebatkan sahih tidaknya oleh otak manusia sepanjang masa, maka agama menjadi sangat sempit. Sehingga tidak ada lagi di luar itu yang bisa diungkapkan.

Muhammad dan sunnahnya itu adalah sesuatu yang tidak terbatas. Sebuah pengalaman beragama yang tak bertepi. Tapi terkadang Islam ini sudah berubah menjadi agama Bukhari dan agama Muslem. Sebagian orang terjebak dengan apa yang mereka tulis. Karya dua intelektual besar ini, tanpa mengurangi rasa hormat kepada mereka, sudah menjadi kultus (kebenaran) setara Tuhan. Dikemudian hari, sebagian manusia menjadikan hadis-hadis hasil penelitian mereka sebagai alat justifikasi bid’ah, syirik atau kafirnya seseorang. Sesuatu yang Imam Bukhari dan Imam Muslim sendiri tidak melakukannya untuk itu.

Kompilasi mereka murni karya intelektual. Riset pengumpulan hadis merupakan salah satu tradisi akademik masa itu, sekaligus bentuk kecintaan terhadap Nabi. Karena Nabi sudah lama tiada, dan orang-orang sudah terputus kontak dengan Ruh-nya. Ingin juga mereka tau “bagaimana” Nabi, sesuatu yang terkait ucapan dan perbuatannya. Sehingga teks yang ditemukan menjadi frame dalam usaha meniru cara-cara (lahiriah) Nabi beragama.

Bukan kita menolak hadis.  Pada level syariah misalnya, ada pakem-pakem umum peribadatan. Ada dalil-dalil prinsipil tentang teknis penyembahan Tuhan. Ada forma, gerak, bacaan dan etika-etika simbolik keagamaan yang sudah diberkati. Tapi lagi-lagi, sifatnya tidak tunggal. Ada keragaman versi yang menyebar dalam berbagai mazhab. Karena time limit, Bukhari dan Muslim sendiri sudah tentu tidak mampu menemui semua orang pada semua tempat, untuk diwawancarai. Apalagi banyak ulama yang diisolasi, dilarang berjumpa, karena berseberangan ideologi dengan penguasa. Mengambil riwayat dari mereka akan dianggap sebagai tindakan subversi. Apapun penelitian, pasti ada keterbatasan. Itu manusiawi.

Cara orang beragama dengan dalil yang dipunyai juga beragam. Ada yang mengklaim hanya dalilnya yang benar. Hanya Ahlussunnah yang masuk syurga! Hanya Syiah yang benar! Hanya Wahabi yang bertauhid! Ada juga yang arif, dalil yang mereka miliki diakui sebagai salah satu bentuk riwayat yang mereka terima. Mungkin orang lain punya kesahihan tradisi dan riwayat yang berbeda. Sehingga, apa yang disebut sunnah menjadi sangat kaya. Konon lagi banyak tradisi spiritual nabi yang tidak terekam secara vulgar. Bukan sekedar “aku mendengar”, atau “aku melihat”. Tapi diajarkan dari hati ke hati. Dididik secara langsung.

Dalil yang tersedia sebenarnya juga tidak mencakup semua. Al-Qur’an disebut sempurna bukan karena semua sudah tertulis di dalamnya. Cara menyetir mobil, cara menggunakan hp, cara membuat kue; tidak diulas di dalamnya. Hadis juga begitu. Tidak semua cara untuk mengapresiasi Tuhan dan kehidupan, untuk aneka konteks dan zaman, sudah tersedia teksnya. Satu dalil sebenarnya mampu menyelesaikan 70 masalah. Ketika dikatakan membaca Alquran itu bagus, jangan dipersoalkan lagi kenapa harus membaca Yasin pada malam Jum’at. Itu sudah bagian dari “membaca Alquran”. Itu sudah bagian “memuliakan hari Jum’at”. Agama tidak selalu tentang buku resep, yang memiliki list teknik memasak dari detik ke detik. Sehingga setiap satu perbuatan wajib ada satu dalil. Bisa mati berdiri kita. Kekakuan model beragama seperti ini telah puluhan, bahkan mungkin ratusan tahun memenjara kreatifitas jiwa manusia, yang notabenenya senantiasa bergerak mengikuti “sunnah”, hukum-hukum, arahan-arahan Tuhan Yang Hidup sepanjang zaman.

Hakikat sunnah itu sebenarnya bukanlah teks mati an sich, atau cerita tentang nabi yang sudah tiada. Melainkan Ruhani yang Maha Hidup dari Rasulullah itu sendiri, yang melampaui tempat dan waktu. Ruhani ini terus diwarisi sepanjang masa. Dari wali ke wali. Dari mursyid ke mursyid. Ke dada manusia. Mereka yang mendapatan elemen Nur ini akan mendapat bimbingan secara aktual dari sisi Allah. Unsur Nur inilah yang disebut Sunnah, ilham, hidayah, hukum-hukum atau gerak qudrah iradah ketuhanan yang dilekatkan ke jiwa manusia. Untuk memperoleh ini, dada umat terlebih dahulu ‘dibedah’. Lalu unsur suci ini dibenam ke dalamnya. Sampai kita benar-benar mengenal dan merasakan kehadiran Allah. Sehingga manusia mampu berakhlak dengan akhlak Allah, akhlak (sunnah) Rasulullah.

Makanya hadis tidak pernah ditulis, diharamkan untuk tulis pada masa itu. Hadis baru ditulis abad ke 2 Hijriah, lebih dari 100 tahun kemudian. Karena Nabi pada saat itu menginginkan kehadiran sunnah (jiwa ketuhanan/jiwa kerasulan) dalam diri murid-muridnya. Sehingga tugas kita bukan sebatas membaca, menghafal dan mempercayai karangan orang. Melainkan mampu iqra (membaca) hakikat kebenaran. Terkoneksi dengan Allah!

Silahkan saja membaca referen-referen yang ada. Boleh jadi referen (dalil) itu mutlak benar. Ada juga yang sifatnya fabrikasi (level sahihnya bertingkat, sampai di duga palsu). Referen merupakan alat bantu. Melalui referen kita coba memahami semesta Tuhan yang maha luas. Bahkan melalui referen itu, ditambah kemampuan spiritual, banyak hal baru bisa ungkap. Agama ini sangat ilmiah. Secara kritis membaca literatur yang sudah ada, itu bagus. Tapi menemukan yang belum terungkap, itu juga tak kalah bagusnya.

Sehingga, slogan “kembali kepada (teks terbatas) Alquran dan hadis” kalau terlalu kaku dipahami, membuat agama ini menjadi jumud. Menjadi sempit. Bahkan menjurus syirik. Karena yang kita tuju bukan teks. Melainkan Pemilik teks. Seharusnya, kita kembali kepada Tuhan yang tidak terbatas. Itu puncak beragama. Bukan sebaliknya, tersandera pada lembaran kertas.

Dalam hal ini ada perbedaan antara nabi dengan ahli kitab. Ahli kitab beragama hanya sampai kepada teks. Panutannya teks, dengan segala penafsirannya. Sementara nabi, itu sampai ke Tuhan. Agama, bisa mandek pada level teks. Untuk itulah selalu dibutuhkan mujaddid, pembaharu-pembaharu yang mampu me-refresh kemampuan beragama umat, dari terjebak pada teks, kepada keterhubungan dengan Tuhan.

Jadi, benar. Agama itu dalil. Disatu sisi kita perlu dalil. Sangat perlu. Seperti pada bab-bab pendahuluan sebuah disertasi, isinya kumpulan teori terdahulu. Dalil semua. Tapi, pada bab akhir, terdapat novelty. Murni temuan yang kita peroleh melalui sebuah metode pengungkapan tertentu. Ujung cerita dari agama adalah rasa yang kita peroleh sendiri. Agama adalah pengalaman personal. Konfirmasi independen pribadi kita terhadap literatur terdahulu, tanpa intervensi yang dapat mempengaruhi hasil observasi dan eksperimentasi. Hakikat dari agama adalah refleksi perjumpaan kita dengan Tuhan. Pengalaman independen umat pada masing masa. Replikasi mukjizat sampai akhir zaman. Bukan sekedar koleksi cerita lama.

Benar. Teks itu petunjuk. Bagi yang mencari petunjuk. Makanya kita perlu teks. Tapi juga banyak nabi dan umat-umat terdahulu yang tidak pernah diberikan kitab (teks). Tapi tetap sampai kepada Tuhan. Artinya, Tuhan itu Wujud Maha Sederhana. Dia bisa dijangkau tanpa bahan bacaan, oleh orang terbodoh sekalipun. Muhammad juga termasuk salah satu orang yang mampu menjangkau Tuhan, secara ummi, tanpa bantuan belasan ilmu alat yang kita punya sekarang.

Apa yang kemudian kita sebut sebagai “kitab”, sebenarnya hanyalah kreatifitas manusia untuk mengumpulkan, menulis, dan mencetak apa-apa yang pernah dikatakan nabi. Dalil (ayat/qur’an/ruh/logos/sunnah) yang sesungguhnya adalah diri nabi itu sendiri, sesuatu yang ada di dada nabi. Atau di dada orang-orang yang mewarisi. Dalil itu hakikatnya adalah Kalimah, sesuatu yang “hidup”. Ada Tuhannya disitu. Yaitu sesuatu kalau dikutip, dibaca, dan dikerjakan; Allahnya hadir. Singkatnya, apapun yang anda lakukan, selama mendapat ridha Allah dan ridha Rasulullah, itu sudah menjadi sunnah atau dalil. Karena, “Rasulullah” itu adalah elemen yang hidup, hadir disetiap tempat dan masa, dan menjadi saksi terhadap segala tindak tanduk peribadatan umatnya.

Teks sunnah membuat hukum menjadi kaku, karena merujuk ke 1400 tahun lalu. Sementara Ruhani Rasulullah membuat hukum menjadi adaptif dengan konteks ruang dan waktu, membuat Islam relevan untuk setiap tempat dan zaman. Itulah yang terjadi dengan Taliban hari ini, mulai memilih untuk memperkaya Ruhani, ketimbang terus terpenjara dengan ekstrimisme teks.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

💥 powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web: saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG: @saidmuniruddin

Next Post

76 TAHUN, SEMBUH ATAU MATI?

Tue Aug 17 , 2021
76 […]

Kajian Lainnya