BAHASA WAHYU


“Jurnal Tasawuf Akhir Zaman” | PEMUDA SUFI | Artikel No.63 | September 2021


BAHASA WAHYU
Oleh Said Muniruddin | Rector | The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.

Wa mā yanṭiqu ‘anil-hawā, in huwa illā waḥyuy yụḥā (QS. An-Najm: 3-4).

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ – إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ

Tidak ada satupun yang diucapkan Muhammad atas dasar hawa nafsu, melainkan wahyu yang diwahyukan. Hanya saja, cara penyampaiannya berbeda. Satu dalam bentuk bahasa “sensasional” (yang kemudian disebut Al-Quran). Satu lagi dalam bahasa “operasional” (atau disebut hadis).

Dalam bentuk sensasional, wahyu disampaikan secara lughawi. Metaforis. Bahasanya tinggi. Bersyair. Sangat indah. Sementara dalam bentuk operasional, itu mirip bahasa perbincangan sehari-hari. Bahasa manusia biasa. Tidak terlalu berseni. Bahkan biasa saja. Tapi sifatnya juga “suci.” Karena tidak bisa dipisahkan dari kepribadian seorang utusan Tuhan.

Kalau kita rajin membaca Alquran, atau mencoba memahami tata bahasanya, kita akan paham. Sebenarnya, Nabi kita itu bukanlah orang awam atau “ummi” yang tidak pandai menulis dan membaca (seperti dipercaya banyak orang). Muhammad itu traveler antar negara. Berasal dari suku berperadaban. Kalau suka mobile dan sukses dalam berdagang, itu sudah beradab orangnya. Kecuali kerjanya merampok. Itu masih biadab. Jadi, Muhammad itu memang genius dan beretika. Termasuk dari segi bahasa dan sastra, warisan sukunya.

Memang Al-Quran itu bukan karya Nabi. Semua yang diucapkan itu merupakan emanasi pesan dari alam lain. Tapi, untuk mampu membahasakan pesan Tuhan yang tinggi itu, tidak mungkin ditugaskan pada orang awam. Orang yang tidak tau “aleh ba” (tidak bisa membedakan alif dan ba). Butuh orang super cerdas (fathanah). Muhammad orangnya.

Al-Quran itu awalnya hanya “kode-kode kosmik”, sinyal-sinyal ilahiah, atau gelombang-gelombang ruhiyah. Pesan-pesan yang datang tanpa huruf dan suara. Tapi, untuk memiliki huruf dan suara, Tuhan memerlukan “converter”, orang yang punya kemampuan untuk membahasakan itu. Tuhan butuh orang Arab yang kemampuan sastrawinya sangat tinggi. Khususnya orang Quraisy yang punya tradisi elegan dalam berkata-kata. Sehingga mampu melahirkan pesan-pesan Tuhan dalam bahasa Arab yang memang strukturnya juga sangat kaya.

Jadi, Alquran itu merupakan perpaduan kecerdasan ilahiah dengan kemampuan canggih orang yang membahasakannya. Al-Quran itu Kalam Tuhan, God-inspiring messages, yang mengalir begitu indah melalui lisan seorang seniman kelas dunia. Ketika dikompilasi, Al-Quran menjadi salah satu magnum opus dalam sejarah manusia. Boleh dikatakan, Alquran adalah kumpulan “puisi Tuhan”, yang setelah tiadanya Isa as, kembali dibaca oleh Muhammad (dalam versi berbeda, namun dengan konten serupa). Super sensational!

Sebagai karya sastra sufistik yang maha puitis, Al-Qur’an punya kedalaman kandungan dan makna. Bacaannya mungkin hanya bisa dipahami oleh orang-orang dewasa. Bahkan banyak yang mutasyabihat. Tak ada yang tau. Sering tidak straightforward. Maknanya berlapis. Kebenarannya bertingkat. Penuh misteri. Harus diartikan. Butuh penafsiran.

Alquran, dan berbagai kitab suci, menjadi bukti bahwa para nabi adalah seniman besar. Lisan mereka mampu membahasakan Firman Ilahi dalam susunan verba manusia yang apik. Karena unsur ketuhanannya tinggi, boleh dikatakan, kitab-kitab itu sulit ditandingi. Apalagi susunannya sangat keramat. Penuh kebenaran, prophecy dan mukjizat. Untuk mengurai satu ayat bisa melahirkan puluhan kitab. Bukti bahwa yang membawa pesan-pesan berseni ini memang orangnya Tuhan (rasul).

Berbeda dengan hadis, itu bahasanya cenderung operasional. Bahasa tutur. Bahasa perintah dan larangan yang mudah dipahami. Bahasa iming-iming. Sederhana. Langsung. Boleh dikatakan, tidak menonjolkan seni berkata-kata. Bahasa untuk orang awam. Tidak beralun. Cenderung tegas dan lugas. Sehingga sering kita pahami, hadis itu adalah bahasa penjelas terhadap pesan-pesan Al-Quran yang sulit dipahami. Pesan sholat misalnya, sangat simbolik. Teknisnya baru diurai, atau diperoleh melalui hadis. Dzikir juga begitu, ayatnya sangat universal. Pengajaran teknisnya ditemukan dalam hadis.

Sebagai kitab yang sensasional, perspektif Al-Quran dalam menyampaikan pesan juga berbeda dengan hadis. Ketika merepresentasikan Al-Qur’an, Muhammad berbicara dalam nada “ekstatik”. Seolah-olah itu Tuhan yang berbicara (dan memang mewakili Tuhan). Sesuatu disebut ayat ketika Muhammad menampilkan dirinya sebagai ‘Tuhan’ yang berbicara. Atas nama Tuhan. Seolah-olah Muhammad telah hilang kesadaran materialitasnya, lalu hadir Tuhan untuk berkata-kata.

Sementara itu, pengungkapan hadis lebih mengedepankan ke-“Aku”-an Muhammad. Terkesan itu sebagai pesan personal Muhammad. Tapi karena kemaksumannya, hadis juga bernilai sakral. Apalagi, akal kemanusian Muhammad sudah terhubung dan lebur (fana dan baqa) dengan Akal Awal, dengan Jibril, dengan gelombang dunia ilahi. Sehingga setiap pesan yang keluar dari mulutnya, itu suci. Sama-sama ilham dari langit. Hanya saja, dalam bentuk cerita dan uraian yang sifatnya “demontratif” itu disebut Alquran. Sementara dalam bahasa yang cenderung informal, bahkan prokem dan canda, dinamakan hadis.

Simulasinya begini. Kalau tiba-tiba Muhammad ngomong: “Wahai orang-orang yang beriman….”; dikemudian hari, tim pengumpul dan perumus Alquran akan mengkategorikan ini sebagai ayat. Karena cara memanggilnya sangat estetis. Tendensinya puitis, bahkan pesan indahnya bisa berlapis-lapis. Sementara, kalau Beliau bicara: “Barangsiapa diantara umatku ada yang mampu mengucap la Ilaha illallah, maka syurga ke-7 tempatnya”, ini akan dikategorikan oleh para sahabatnya sebagai hadis. Karena sangat praktis. Teknis. Transaksional.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

💥 powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web: saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG@saidmuniruddin

2 thoughts on “BAHASA WAHYU

Comments are closed.

Next Post

IZIN GURU

Sun Sep 19 , 2021
“Jurnal […]

Kajian Lainnya