AKU “BERSAKSI”


“Jurnal Tasawuf Akhir Zaman” | PEMUDA SUFI | Artikel No.65 | September 2021


AKU “BERSAKSI”
Oleh Said Muniruddin | Rector | The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Pagi ini, Ahad 26 September 2021. Kami duduk di D’Energy. Mengupas “sisi lain” dunia Islam. Dunia yang telah mengguncang dada sahabat kami Bang Munawir Bateei. Yang sebenarnya juga telah cukup mengguncang dada para Pencari.

“Bang Munawir, di syariat kita hanya diajarkan cara mengucap syahadat. Dan sepertinya, syariat kita tidak akan pernah sempurna, sampai kita belajar menyaksikan apa yang kita ucap”, begitu kami berargumen kepada Bang Munawir yang semalam tiba dari Sigli untuk bertawajuh Subuh di Banda Aceh. Diskusi terus berkembang, entah kemana-mana. Ikut menyimak, bang Fadli Almahari dari Lueng Putu, dan bang Amiruzzahri dari Bayeun Aceh Timur.

***

Awal dari beragama adalah “menyaksikan”, ‘melihat’ Allah. Namun Allah tidak bisa dilihat, atau disaksikan. Karena laitsa kamislihi syai’un. Dzatnya tak terjangkau.

Tapi ada proxy untuk menyaksikan, melihat Dia. Yaitu “Muhammad”. Melihat Muhammad, atau menyaksikan Muhammad, itu sinonim dengan melihat, menyaksikan Allah. Sebab, tidak ada kesaksian kepada Allah, tanpa kesaksian kepada Muhammad. Awal dari fana fillah adalah fana fi syeikh. Awal dari berjumpa Allah adalah dengan berjumpa, menyaksikan Muhammad.

“Menyaksikan” Muhammad lebih dari sekedar melihat. Kalau melihat hanya sebatas fungsi fisik, atau tatapan mata lahiriah. “Menyaksikan” bermakna melihat wujud sang Nabi dengan keseluruhan fungsi, khususnya batiniah. Karena menyaksikan bermakna mempercayai Dia sebagai “bagian” dari Allah. Utusan Allah. Rasul Allah. Cahaya Allah. Wasilah. Frekuensi ilahiah.

Khususnya dalam tradisi mistisisme Islam, ada kewajiban untuk “menyaksikan” (menghadirkan) Muhammad dalam semua dimensi amal ibadah. Ini yang disebut “Rabithah”, mengikat batin kita dengan Muhammad, yang berarti juga dengan Allah. Muhammad wajib disertakan, disebut, diingat atau dipanggil-panggil dalam segala amal ibadah.

Makanya, tanpa shalawat kepada Nabi, tidak diterima ibadah. Doa kita tertolak tanpa mengikutsertakan nama orang ini. Muhammad harus selalu disandingkan dengan Allah. Karena, menyebut nama Muhammad paralel dengan menyebut nama Allah. Muhammad adalah wujud lahiriah dari Cahaya Allah yang sangat batiniah. Wajah duniawi Muhammad adalah tajalli dari wujud yang maha ukhrawi. Muhammad merupakan manifestasi dari yang maha tinggi. Bahkan lisannya suci. Geraknya, gerak ilahi. Qurani. Kalami. Tauladan murni. Ada sisi divinitas pada tampilan fisik sang Nabi. Menatap dia dengan seluruh jiwa dan raga, itu “hakikatnya” sama dengan memandang Rabbnya. Sebab, Dia ada pada kemaksuman sang Nabi.

Itulah hakikat kehadiran “utusan” Tuhan. Tuhan hadir dalam diri utusan-Nya. Perkataan-Nya tersalurkan melalui ucapan Nabi-Nya. Mukjizat-Nya tersalurkan melalui sunnah rasul-Nya. Maka, menemukan utusan Tuhan, serupa dengan menemukan Tuhan. Sebab, Dia dengan kekasih-Nya tidak pernah terpisah. Makrifat adalah mengenal para nabi, para utusan Tuhan, disepanjang zaman.

Masalahnya, Nabi sudah tidak ada. Maksudnya, Muhammad (bin Abdullah) sudah tiada. Tapi Cahaya Tuhan yang pernah hadir pada Muhammad belum mati, dan tidak akan pernah mati. Cahaya ini terus diwarisi sampai kiamat. Yang mewarisi ini disebut ulama pembawa wasilah, “pewaris nabi”. Maka, mengenal imam (ulama pembawa wasilah pada masing zaman), itu sama dengan mengenal Allah. Mereka adalah “Cahaya” Muhammad (Nur Muhammad) pada setiap zaman.

Menyaksikan “Cahaya Muhammad” pada masing zaman, itu sama dengan menyaksikan Allah. Manusia akan bermakrifah kepada Allah, jika terhubung secara Ruhani dengan para imam, atau walimursyid pada masing masa. Berguru pada tali Allah, akan tersambung kepada Allah. Itu pentingnya sanad ruhaniah.

Selamat mencari, dan menyaksikan, (Nur) Muhammad di zaman anda. Sebab, Muhammad di era 570-632 M tidak engkau kenali. Pun Wajah Allah yang azali itu, tidak ada di benakmu. Maka wajah siapa lagi yang harus engkau lihat dan saksikan, di tengah kaummu, di zamanmu?

Inilah ilmu syahadat. Ilmu visualisasi Al-Haqq. Ilmu melihat, menyaksikan atau menghadirkan Allah, Rasullullah ataupun Ulil Amri yang hidup; yang membawa cahaya dan petunjuk dari Allah. Ilmu yang tidak hanya sekedar menyebut nama. Tapi juga menemukan, melihat dan menyaksikan Wajah mereka dalam segenap dimensi amal ibadah, sholat, puasa, zakat, haji, dan jihad kita. Karena mereka adalah kiblat yang ditusu kepada masing umat:

وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا ۖ فَٱسْتَبِقُوا۟ ٱلْخَيْرَٰتِ ۚ أَيْنَ مَا تَكُونُوا۟ يَأْتِ بِكُمُ ٱللَّهُ جَمِيعًا ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan…” (QS. Al-Baqarah: 143).

Ini ilmu yang sangat mudah, sekaligus super susah. Sangat mudah, jika syahadat itu hanya sekedar untuk diucap. Tapi sangat susah, karena juga harus ditemukan kebenaran Wujudnya. Ibrahim sekalipun pernah mengalami perjalanan spiritual yang cukup panjang dalam menemukan ini. Ia menyaksikan “bintang”, “bulan” dan “matahari” (aneka cahaya yang tidak otentik/palsu), sampai pada satu titik menemukan wajah Guru Sejati, Cahaya Diatas Cahaya. Wajah yang karamallahu wajhah, yang kepada-Nya ia berkiblat, menghadapkan diri dalam segenap ibadah.

Seorang rasul adalah “titik pertemuan” (meeting point) antara kita dengan Tuhan. Nama “Muhammad” (nama waris, wali atau washinya) adalah tempat leburnya (melting pot) kita dengan Allah. Sebab, Allah dan malaikat menyebut-nyebut nama Nabi. Kita pun begitu, bershalawat kepadanya. Maka pada “nama” itulah kita bertemu dengan Allah dan para malaikat-Nya. Oleh sebab itu, menemukan “nama” paling sakral dan paling rahasia ini, nama yang menjadi perwujudan Asma dan Cahaya-Nya, nama yang menjadi kunci segala doa; adalah tugas paling menantang bagi kita, bagi kaum disetiap masa:

لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

“Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin” (QS. At-Taubah:128).

Meugurei, bek meunirei. Kata orang Aceh. Berguru, jangan meniru. Saksikan, jangan sekedar diucapkan. Itulah syahadah. Rukun terawal dalam ber-Islam. Yaitu menyaksikan, tersambung, atau connect dengan Tuhan (sebelum Dia disembah dalam aneka gerak dan bacaan). Proses ber-syahadah, atau menyibak alam tauhid dan ketuhanan ini, ditempuh melalui proses penyucian jiwa (dzikir), sebagaimana dilakoni Muhammad selama puluhan tahun di ruang inkubator spiritual Hiraknya. Baru setelah itu bisa tegak sholat kita. Sebagaimana firman-Nya:

  قَدْ اَفْلَحَ مَنْ تَزَكّٰىۙ
وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهٖ فَصَلّٰىۗ

“Sungguh, beruntung orang yang menyucikan diri. Dan mengingat nama Tuhannya, lalu dia shalat” (QS. Al-A‘lā: 14-15)

***

Tegukan sisa kopi mengakhiri diskusi 3 jam kami. Bang Munawir masih geleng-geleng kepala. “Berat”, katanya. “Tenang bang, Nabi Muhammad saja terguncang dengan pengalaman syahadah di Gua Hirak, apalagi kita”, kami tertawa.

BACA JUGA: Beda Antara “Percaya” (Iman) dengan “Berjumpa” (Syahadah)

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

💥 powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web: saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG@saidmuniruddin

4 thoughts on “AKU “BERSAKSI”

  1. Selamat mencari, dan menyaksikan, (Nur) Muhammad di zaman anda. Sebab, Muhammad di era 570-632 M tidak engkau kenali. Pun Wajah Allah yang azali itu, tidak ada di benakmu. Maka wajah siapa lagi yang harus engkau lihat dan saksikan, di tengah kaummu, di zamanmu?

    Muhammad itu hanya nama tafsiran.
    muḥammadun
    muhammadiw
    muḥammadur
    ahmad

    ada satu ayat lagi yg menyebutkan abdullah.(anak abdullah).
    tetapi sosok sebenarnya tidak pernah diungkap karena penyelewengan terhadap sejarah.

    “Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin” (QS. At-Taubah:128)

    kaum quraisy telah menolak beliau, bukan karena hal keimanan saja tetapi sosok beliau itu!
    mereka telah menghapus jejak sejarah dan menukar dengan yg lain.
    kaum quraisy kebanyakan jin dan diintara mereka adalah keturunan iblis.

    ustadz sayyid habib yahya

Comments are closed.

Next Post

BEDA ANTARA "PERCAYA" DENGAN "BERJUMPA"

Mon Sep 27 , 2021
“Jurnal […]

Kajian Lainnya