BEDA ANTARA “PERCAYA” DENGAN “BERJUMPA”

“Jurnal Tasawuf Akhir Zaman” | PEMUDA SUFI | Artikel No.66 | September 2021


BEDA ANTARA “PERCAYA” DENGAN “BERJUMPA”
Oleh Said Muniruddin | Rector | The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Agama, pada tahap awam hanya sebatas percaya. Percaya kepada apapun yang ditulis dan dicerita. Itu iman. Sebatas hipotesa. Termasuk wujud Tuhan. Diduga, ada.

Pada tahap lebih lanjut, itu harus dibuktikan. Apa yang dipercayai harus di uji. Harus ditemukan keberadaannya. Harus konfirmatif. Ada findings, bahwa sesuatu itu “benar ada”. Atau sebaliknya, “benar tidak ada”. Itu baru ilmiah.

Karena kehidupan beragama adalah sebuah proses riset, proses untuk membuktikan dan merasakan kebenaran, kita butuh supervisor. Untuk objek-objek penelitian yang sifatnya material, nama gurunya disebut dosen (baik yang bergelar doktor atau profesor). Sedangkan untuk studi yang sifat wujudnya ruhaniah, nama pembimbingnya disebut mursyid (gelarnya wali, lebih tinggi lagi disebut nabi).

***

Pada level dasar beragama, level awam, kita misalnya mengatakan: Aku “percaya” kepada Nabi Muhammad. Itu iman, yang levelnya perseptual. Dugaan. Karena objeknya belum kita temukan. Muhammad yang mana? Mana barangnya? Mungkin orang lain sudah pernah menemukan, tapi kita belum. Kita cuma percaya saja. Inilah yang disebut “agama keturunan”. Kepercayaan yang diwariskan. Tidak pernah dibuktikan. Tidak pernah dialami dan rasakan. Taqlid (buta). Padahal, Islam baru dapat dikatakan sebagai kebenaran “universal”, ketika wujud-wujud keyakinan itu bisa dibuktikan ada disepanjang waktu dan zaman.

Maka pada level lebih lanjut, level khusus, kita harus menemukan, melihat dan berjumpa. Sampai lahir kalimat penyaksian: Aku “menyaksikan” Muhammad. Pernyataan kesaksian, itu sudah level syahadah. Syahadah itu, kalau dalam penelitian ilmiah, itu sudah terbukti. Semua hipotesa telah di uji. Semua kepercayaan atau keyakinan telah dilihat dan ditemukan realitasnya. Muhammad yang disebut-disebut, telah berhasil dijumpai. Telah ditemukan. Melalui serangkaian uji metodologis. Kalau belum bertemu, mungkin metodologinya harus diperbaiki. Cari supervisor yang menguasai metode perjumpaan dengan Ruh para nabi. Sehingga imannya absah. Valid. Itulah beda antara “percaya” (iman) yang bersifat teoritis, dengan “berjumpa” (syahadah) yang sifatnya aktual, konfirmatif.

Sebuah agama atau keyakinan akan semakin ilmiah manakala semakin banyak doktrin yang bisa anda buktikan sendiri (dan esensi agama memang lebih banyak ke pembuktian pribadi, pengalaman personal). Semua yang diceritakan dalam agama (Alquran), itu ada wujud ontologinya. Kalau level beragamanya ilmiah. Kecuali anda percaya bahwa itu semua dongeng. Makanya harus bisa dibuktikan. Banyak yang tidak mampu membuktikan, sehingga mulai memilih menjadi ateis atau liberal.

Kita juga begitu, kalau beragama masih pada level sekolah dasar, ya cukup sekedar percaya-percaya saja (mungkin tidak sampai ateis). Tapi kalau telah berada pada tingkat universitas, kita sudah diajar untuk masuk pada tahap pembuktian. Akal, metodologi dan pengalaman beragama harus di up-grade. Hasilnya pasti lumayan berguncang. Karena apa yang kita percaya dan baca-baca waktu SD, sedikit banyaknya akan mengalami deviasi-deviasi dari apa yang kita peroleh dari direct research.  Apalagi jika kita masuk bereksperimentasi dan mengobservasi alam “laitsa kamislihi syai-un”. Sesuatu yang cakupannya tidak ada dalam konsep awam. Waktu kecil dipaksa percaya, bahwa malaikat itu bersayap. Begitu ketemu malaikat yang tidak bersayap, pasti terkejut. Kira-kira begitu.

Islam itu sebenarnya tinggi. Mampu menjangkau wujud-wujud yang tinggi. Tapi menjadi rendah gara-gara kita. Agama harusnya dianut oleh orang-orang yang cerdas, orang-orang yang iqrak dan kuat metodologinya, seperti para nabi. Tapi sekarang justru sudah dianut oleh orang-orang awam (dan mungkin juga jahil) seperti kita. Tuhan yang harusnya “ilmiah”, telah menjadi objek kepercayaan semata. Semua wujud tak kasat keimanan, bahkan seperti dinyatakan haram untuk diakses. Semua jatuh pada level teori, yang ditutup jalan untuk pembuktian eksistensinya.

Kita sudah ratusan tahun hidup dalam abad kegelapan Islam. Abad dimana Allah, malaikat, rasul, surga dan neraka tidak bisa ditemukan. Tidak bisa dilihat dan dijumpai lagi. Padahal itu semua pernah dijumpai dan dibuktikan ada oleh seorang anak manusia bernama Muhammad, dan sejumlah orang shaleh baik sebelum dan sesudahnya. Agama, semakin hari semakin rendah. Semakin tidak ilmiah. Makanya banyak yang stress. Saling mengkafirkan. Jadi teroris. Membunuh orang.

Agama paling ilmiah adalah agama yang dianut para nabi. Agama yang semua wujud bisa disaksikan. Bisa ditemui. Bisa dilihat. Mendamaikan. Memenuhi rasa. Sebaliknya, ditangan kita, perbendaharaan agama benar-benar menjadi gaib. Hilang semua. Tak lagi bisa dikonfirmasi keberadaannya. Sehingga kita jadi bertanya-tanya: agama apa yang diajarkan sekarang, sehingga orang-orang tidak lagi bisa berjumpa Tuhan semasa hidupnya? Agama apa yang kita anut, harus menunggu mati untuk bertemu Allah. Itupun kalau betulan bertemu. Kalau tidak, mau kemana?

Padahal, Islam yang benar, itu diawali dengan “syahadah”. Penyaksian. Pembuktian terhadap objek-objek keimanan. Tanpa menyaksikan, Islam menjadi tidak original. Sesuatu memang selalu diawali dari percaya (iman/hipotesa). Itu sifat dasar alami manusia. Tapi agama adalah pembuktian, yang dilakukan melalui metode perjalanan jiwa (tariqat), sehingga tersambung dengan wujud-wujud yang diyakini.

Metode inilah yang diterapkan selama puluhan tahun oleh Muhammad di Gua Hirak, di awal beragama, sebelum mengemban tugas-tugas syariah lainnya. Syariat akan binasa, tanpa terlebih dahulu sempurna syahadah ruhaniahnya. Artinya, Wujud metafisikanya harus terlebih dahulu disaksikan, sebelum gerak formal lahiriah keduniaan dilakukan. Ruhnya harus terlebih dahulu hidup, sebelum ibadah dan muamalah dilaksanakan. Sehingga benar-benar Tuhan yang bekerja, bukan setan dalam diri kita. Karena syahadah adalah penyaksian, kehadiran, ketersambungan dengan Tuhan.

Dalam metodologi pembuktian wujud metafisis (yang puncaknya adalah Allah), itu dimulai dengan usaha untuk menyaksikan “keberadaan Muhammad”. Itulah makna syahadat. Muhammad dan Allah tidak bisa dicerai. Penyaksian akan Allah, diawali dengan penyaksian terhadap Muhammad. Tak ada manusia yang langsung lompat ke perjumpaan dengan Allah. Bahkan Muhammad pun harus via pertemuan dengan Jibril ‘alaihissalam. Harus terlebih dahulu ditemukan Jibril (sosok spiritual/wujud Malakut/Ruh/Nur Muhammad), sebelum ketemu Allah.

Namun lagi-lagi, jibril mana yang harus kita temui? Muhammad mana yang harus kita jumpai? Dimana bisa kita saksikan akan dirinya? Sementara Muhammad bin Abdullah sudah tidak ada. Bermimpi bertemu dengannya pun tak pernah. Disinilah tasawuf diperkenalkan tentang “Nur Muhammad”. Sebuah entitas Nurullah yang senantiasa hidup, yang pernah hadir dalam diri sang Nabi, setelah mendiami diri para nabi dan orang-orang sholeh sebelumnya.

Muhammad tidak jadi nabi gara-gara sibuk berdagang. Bukan pula dimuliakan Tuhan gegara jubah dan janggutnya yang panjang. Sesuatu yang membuat Muhammad terpilih adalah karena kemampuannya men-download Nur ini. Nur inilah yang menyebabkan Muhammad bin Abdullah menjadi rasul, menjadi maksum, memiliki mukjizat, dan keramat akhlaknya. Siapapun yang mampu mendownload Nur ini, pasti menjadi muhammad (menjadi pewaris Muhammad).

Muhammad di shalawati karena ada Nur ini pada dirinya. Begitu juga pada Keluarga Sucinya. Sebagai manusia biasa, Muhammad tidak akan pernah di shalawati. Karena, bershalawat (sujud dan beribadah) kepada manusia, itu syirik. Allah dan malaikat bershalawat kepada Nabi karena ada unsur Nur dalam dirinya. Ada unsur ketuhanan. Ada tajalli Haq dalam sosok Muhammad. Ada “Ahad” pada diri “Ahmad”. Aku adalah Ahmad tanpa mim, sebut Nabi.

Jadi, Allah bershalawat kepada Muhammad, itu adalah shalawat kepada (unsur) diri-Nya sendiri. Kepada wujud tajallinya. Kepada manifestasi diri-Nya. Muhammad memang bukan Tuhan. Bukan. Sama sekali bukan! Tapi lisannya Kalam Tuhan. Geraknya ilahi. Sunnahnya suci. Itulah tajalli. Logos. Ruhullah. Kalamullah. Habibullah. Manusia biasa, tapi tersusun dari komponen wahyu (yang sifatnya divine, laduniah).

Nur ini tidak pernah mati, meskipun Muhammad bin Abdullah telah tiada. Nur ini terus diwarisi kepada generasi sesudahnya. Terus menerus sampai kiamat. Inilah pekerjaan paling menantang, menemukan dimana Nur ini berada. Pekerjaan kita mirip-mirip pekerjaan Buhaira, pendeta yang saban hari mencari cahaya kenabian, dari satu tenda ke tenda lainnya. Dari satu tempat ke tempat lainnya.  Cahaya itu ada. Akan terus ada. Sebab, Allah telah berjanji akan terus menghadirkan Rasul, dan Ulil Amri (para pembawa sanad ruhiyah Nurullah Muhammad) sebagai petunjuk bagi manusia. Menemukan Nur ini sama dengan menemukan Muhammad, yang juga sinonim dengan menemukan Allah SWT.

Karena itulah Nabi mengatakan, paska beliau akan ada khalifah-khalifah yang akan meneruskan Nur tersebut. Akan ada imam-imam, wali atau mursyid-mursyid, yang akan menjadi wasilah dalam bermakrifah kepada Allah. Kecuali Wahabi, baik Sunni maupun Syiah sama-sama meyakini keberadaan para guru spiritual pewaris nabi. Mereka adalah “Al-mahdi”, para Qutub pembawa gelombang ilahiah di setiap zaman. Mereka merupakan koordinat ketuhanan pada masing masa. Kau naik saksikan akan mereka, maka engkau akan menyaksikan Tuhanmu. Seperti sabda Imam Jakfar Shadiq R.A, maha guru fikih dan tariqah dalam Islam: “makrifat (mengenal Allah) adalah mengenal imam (guru ruhani) pada zamannya”.

BACA JUGA: Aku “Bersaksi”

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

💥 powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web: saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG@saidmuniruddin

4 thoughts on “BEDA ANTARA “PERCAYA” DENGAN “BERJUMPA”

  1. Adam adalah RuhKU…..Isa hingga Muhammad adalah RuhKU dan setelah Muhammad walaupun bukan golongan rasul.

    semua diatas ini hanya nama-nama sedangkan Ruhnya adalah yg maha kuasa.
    jika Ruh tidak ada lagi disuatu kaum maka terputuslah Rahmat itu.
    ini telah terjadi pada kaum quraisy.
    kaum ini lebih mencintai berhala.
    Dan sekiranya Kami menghendaki, niscaya ada di antara kamu (kaum quraisy)yang Kami jadikan malaikat-malaikat (yang turun temurun) sebagai pengganti kamu (muhammad)di bumi.az zukhruf ayat 60

    ustadz sayyid habib yahya

    1. Setiap makhluk hidup adalah Yang Maha Kuasa melalui jiwa mereka. Karena jiwa manusia tak jauh berbeda dengan Sang Maha Jiwa selayaknya rasa dari sebutir garam tak jauh berbeda dengan rasa di lautan yang luas sama halnya seperti jiwa tak jauh berbeda dengan Sang Maha Jiwa.

      Manusia yang telah mencapai kerohanian melalui jalan sufiyah menyadari kenyataan bahwa tubuh manusia tanpa jiwa maka bukanlah apa-apa. Manusia bisa hidup dari jiwa mereka, dan jiwa mereka adalah percikan terkecil dari Sang Maha Jiwa. Ketika manusia dilahirkan di alam dunia sangat penting menyadari dirinya sebagai jiwa yang murni agar mendedikasikan diri terhadap apa yang benar. Agar tidak mudah dipermainkan oleh keadaan (syaitan) dan diperbudak oleh hawa nafsu tubuhnya.

      Melawan perbudakan nafsu tubuh terhadap jiwa sangat penting sekali agar jiwa manusia itu tetap terjaga dari hasil amal dan perbuatan dari raga tersebut. Tujuan jiwa manusia adalah untuk menyatu (manunggal) kembali kepada Sang Maha Jiwa. Hanya jiwa yang suci, bersih dari amal dan perbuatan sama hidupnya yang berbuat baik, berakhlak mulia dan memiliki sifat terpuji. Karena manusia dilahirkan suci tanpa kebencian, dilahirkan saling mencintai bukan untuk membenci.

      Manusia yang mempelajari pengetahuan tentang Samkya Yoga menyadari kenyataan bahwa jiwa yang suci akan kembali kepada Sang Maha Jiwa dan tidak berharap masuk surga. Surga itu ciptaan Allah dan Allah adalah Sang Pencipta. Sebaik-baiknya tempat kembali adalah kepada Sang Pencipta.

Comments are closed.

Next Post

RUKUN ISLAM YANG PERTAMA "DZIKIR", BARU KEMUDIAN "SHOLAT"

Fri Oct 1 , 2021
“Jurnal […]

Kajian Lainnya