RUKUN ISLAM YANG PERTAMA “DZIKIR”, BARU KEMUDIAN “SHOLAT”


“Jurnal Tasawuf Akhir Zaman” | PEMUDA SUFI | Artikel No.67 | Oktober 2021


RUKUN ISLAM YANG PERTAMA DZIKIR, BARU KEMUDIAN SHOLAT
Oleh Said Muniruddin | Rector | The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Rukun Islam yang pertama, kalau boleh dibahasakan ulang, itu adalah “dzikir”. Nama lain dari syahadat.

Dzikir, dalam bentuknya yang paling sederhana, adalah “menyebut-menyebut” nama Allah. Jadi, secara umum, dzikir itu sama dengan syahadat, yaitu mengakui keberadaan “Allah”. Mengucap kalimat tentang ketuhanan akan Allah. La ilaha illa Allah itu kalimat dzikir, dan juga syahadat.

Itu bentuk dzikir atau syahadat yang paling awam: sekedar mengucap (berikrar dengan ujung lidah). Maka secara lahiriah, asal sudah bunyi kalimat Allah di mulut, keislaman anda dianggap sah. Secara batiniah, belum. Karena pada tingkatan sempurnanya Islam, dzikir atau syahadah adalah “menyaksikan” apa yang anda ucap (di-tashdiq-kan dengan mata qalbu).

Jadi, dzikir (syahadat), pada level awam adalah berteori tentang Tuhan. Pada level khusus, itu sudah menemukan realitas dari Wujud ketuhanan. Alias sudah menyatu dengan gelombang Tuhan. Sudah berada pada frekuensi Tuhan.

***

Syahadat, secara umum bermakna “mengucap”. Yaitu secara lisan menyebut dua kalimat syahadat. Pada level ini, Islam hanya sebatas aktualisasi verbal dari keyakinan kepada adanya Tuhan. Walau Tuhan tidak pernah disaksikan, dia dipersepsikan ada. Lalu di ujung lidah tersebut nama-Nya. Syahadat kita umumnya ada pada maqam ini.

Sementara secara substantif, syahadat maknanya “menyaksikan”. Yaitu melihat, merasakan atau terhubung secara “langsung” dengan wujud yang diimani. Para nabi dan orang-orang shaleh mampu mengalami syahadah sampai pada level ini. Jadi sifatnya sudah mengalami. Bukan lagi teori (kepercayaan) di atas kertas.

Syahadat itu, pada hakikatnya adalah “pengalaman”. Pengalaman menyaksikan Tuhan. Para nabi mengalami musyahadah. Yaitu pengalaman tersingkapnya berbagai tirai yang membatasi antara mereka dengan Tuhannya. Tuhan itu benar-benar hadir. Bisa diajak bicara. Bisa di dengar segala firman-Nya. Itu syahadah. Tuhan sudah lebih dekat dari urat leher (QS. Qaaf: 16).

Semua orang tau, proses untuk mengalami “musyahadah” (syahadah), itu ditempuh melalui riyadhah ruhaniah. Ini merupakan proses dzikir yang intensif. Proses penyucian jiwa, yang dimulai dari “kematian diri”.

Makanya orang yang sudah mati juga disebut sebagai orang syahid. Syahid bermakna menyaksikan. Karena, “mati” adalah prasyarat untuk mengalami musyahadah, berjumpa Tuhan.

Namun mati dalam makna tasawuf bukanlah mati secara biologis. Melainkan mati secara ideologis. Yaitu kematian ide-ide rendah, hilangnya ego setan, hijab-hijab, dorongan dan unsur-unsur kotor kemanusiaan; sehingga aktual unsur-unsur ruhaniah yang mampu “menyingkap” posisi Tuhan. Kematian ini juga memampukan manusia untuk terlebih dahulu terhubung dengan berbagai elemen malakut (malaikat), sebelum sampai kepada Tuhan.

Itulah mengapa para nabi mampu berkomunikasi dengan para malaikat, dan juga Allah. Karena mereka semua sudah “mati”. Sudah hidup sisi ruhaninya. Jiwanya sudah kembali wushul dengan Tuhan. Sudah tersucikan. Sudah tersambung dengan Ruhul Quddus, Ruhul Muqaddasah, Nur Muhammadiah, Nurun ‘ala Nurin.

***

Pertanyaan, dengan cara apa para nabi bisa mengalami ini? Metode apa yang ditempuh, sehingga mampu mencapai maqam syahadah keislaman yang tinggi?

Nabi adalah orang-orang yang mengajari kita cara sampai kepada Tuhan. Sudah pasti mereka mengajari kita apa yang mereka lakukan untuk itu. Muhammad (SAAW) misalnya, itu separuh usianya dihabiskan untuk membangun koneksi dengan dunia ilahi. Dia tidak jadi nabi secara tiba-tiba. Sampai usia 40, ia masih rajin “bersemedi” di gua. Bahkan setelah 40 juga itu kerjaannya. Senantiasa mencari ruang-ruang sunyi, untuk menghampiri Tuhannya. Itu ritualnya orang-orang yang mencari Tuhan.

Ada teknik bersemedi yang dijalani para nabi dan orang-orang shaleh. Sebuah teknik yang maha dahsyat, yang mampu menyibak tirai batin untuk mengalami syahadah (penyaksian ruhaniah). Teknik ini diajarkan dalam metode irfan. Metode perjalanan jiwa. Metode tazkiyatun nafs. Atau umum disebut tasawuf tariqah. Ada gurunya. Ada ulamanya. Ada walinya.

Jadi, proses untuk syahadah adalah proses penyucian jiwa, dengan berbagai elemen dzikir yang menyertainya. Sebuah proses yang wajib ditempuh untuk sempurnanya shalat kita. “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menjalani proses penyucian diri. Dan dia mendzikirkan nama Tuhannya. Baru kemudian tegaklah sholatnya” (QS. Al-‘Ala: 15-15).

Inilah tariqah dzikir dengan berbagai proses iluminasi ruhani. Dzikir inilah yang membawa kita sampai kepada syahadah. Pengalaman menyaksikan Tuhan. Sebuah pengalaman yang kemudian melahirkan kalimat kesaksian. Artinya, kalimat syahadat adalah seperangkat teori yang terbentuk dari proses uji empirik. Dialami. Dibuktikan. Baru kemudian dirumuskan penyataannya. Jadi, secara hakikat, kalimat syahadat baru absah setelah mengalami musyahadah.

Jadi, untuk berislam secara sempurna, kalau mengikuti gayanya para nabi, itu diawali dengan musyahadah. Yaitu proses dzikir (sayr wa suluk) yang membawa jiwa menembusi alam-alam yang lebih tinggi. Sehingga mengalami penyaksian secara Hak. Barulah setelah syahadah (dzikir) sempurna, sholat bisa tegak. Begitu juga dengan ibadah lainnya (zakat, puasa, haji, jihad, dsb). Tanpa sempurnanya kemampuan untuk “ingat” kepada Allah, semua amal ibadah menjadi tidak sempurna. Karena syarat diterimanya ibadah adalah “hadirnya Allah” (khusyuk). Khusyuk itu syahadah. Perhatian hanya tertuju kepada Wajah Allah. Semua dimensi ibadah harus ada unsur syahadah, penyaksian akan Wujud Allah.

Itulah kenapa, sholat juga disebut dzikir. Bahkan dalam Alquran, kata-kata dzikir lebih banyak disebut daripada sholat. Karena amal ibadah paling utama adalah dzikir. Seluruh dimensi kehidupan kita harus memiliki daya ingat kepada Allah.  Sholat adalah salah satu usaha untuk kembali merefresh ingatan dan kesaksian terhadap Allah.  Sehingga, keseluruhan gerak dan bacaan sholat sesungguhnya adalah wujud keterhubungan (kekhusyukan/penyaksian) akan Allah. Tanpa ini, sholat kita menjadi “terlempar”. Putus. Tidak diterima. Maka, kalau dzikirnya benar, sholat akan benar. Karena mesin dari semua ibadah adalah dzikir (kehadiran Allah).

***

إِنَّنِىٓ أَنَا ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعْبُدْنِى وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِذِكْرِىٓ

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, (saksikanlah) tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku (QS. Thaha: 14)

Sebagai penutup, ayat ini secara ekstrem mendorong kita untuk “melihat” Allah -secara langsung. Allah menyebut dirinya sebagai “Aku”, seolah-olah hadir dihadapan kita. Tersaksikan secara langsung oleh keseluruhan mata ruhani kita, sehingga kita naik saksi, bahwa tidak ada Tuhan selain Dia. Baru setelah itu Dia berhak disembah, di sholati. Karena sudah pernah dirasakan kehadiran, dilihat Wajahnya. Bahkan dalam sholat pun ada pengakuan inni wajjahtu wajhiya. Wajah Tuhan telah terekam dan diingat kembali dalam sholatnya. Inilah syahadah. Awal dari keislaman yang hakiki.

Maka untuk sempurnanya dunia syariah dan muamalah, perbaiki jalan menuju Tuhan. Sempurnakan dzikir. Bangun hubungan dengan Tuhan. Saksikan Dia. Leburkan diri dalam lautan makrifat-Nya. Sehingga Dia bersedia hadir dalam semua gerak ibadah kita.

Caranya bagaimana?

Tidak mungkin juga kita sempurnakan perjalanan jiwa sampai 40 tahun lamanya, baru kemudian melaksanakan sholat. Atau sebaliknya, menyempurnakan dulu gerak dan bacaan syariat dari sholat selama berpuluh-puluh tahun, baru kemudian bertariqat. Mustahil. Solusinya, lakukan secara berbarengan, agar keduanya sempurna secara bersamaan. Sebab, Muhammad juga mencari Tuhan sambil berdagang.

Jadi, rukun Islam, kalau boleh sedikit saya koreksi (atau mungkin bahasanya saya ganti) akan menjadi begini: (1) dzikir, (2) sholat,(3) puasa, (4) zakat, (5) haji. Dzikir itu, kalau dalam rukun keislaman khas kita Sunni, adalah syadahat. Dalam versi mistisisme Syiah, itu disebut tauhid wal makrifat. Sama saja.

BACA JUGA: Beda Antara “Percaya” dan “Berjumpa”, Aku “Bersaksi”.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

💥 powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web: saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG@saidmuniruddin

Next Post

APA TANDA AKRAB DENGAN ALLAH?

Sun Oct 3 , 2021
“Jurnal […]

Kajian Lainnya