WHY DO WE EXIST?

 


“Jurnal Tasawuf Akhir Zaman” | PEMUDA SUFI | Artikel No.69 | Oktober 2021


WHY DO WE EXIST?
Oleh Said Muniruddin | Rector | The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Pada saat miskin, orang-orang mengira, kalau harta berlimpah, hidupnya bahagia. Kenyataannya, banyak orang kaya yang gelisah. Banyak orang tenar yang kena sabu. Banyak pejabat yang mentalnya terganggu. Banyak orang cerdas yang hatinya susah.

Kenapa bisa begitu?

Karena apa yang kita cari tidak ada pada sesuatu apapun. Apa yang paling memuaskan kita, tidak ada pada kepemilikan apapun. Apa yang kita kejar, hanya ada pada “ketiadaan”. Ada pada kekosongan. Ada pada dimensi yang tidak berwujud secara material. Secara materi mungkin kita puas dengan makan enak. Rumah besar. Mobil mewah. Tapi secara Ruhani, kita tidak akan pernah bahagia walau diberikan dunia beserta seluruh isinya.

Kita berasal dari Wujud immateri murni. Dari Allah. Dan itu yang harus dituju, dicapai, dimiliki. Kesitu kita harus menjadi (becoming). Karena itu “azali”-nya kita. Aslinya kita. Fitrah.

Maka sejauh apapun kita bermimpi, bekerja dan berlari; selama yang immateri ini tidak kita sentuh dan temui; hidup akan berujung neraka. Kita akan terbakar oleh diri sendiri. Karena neraka itu bahan bakarnya memang kita sendiri, beserta jin dalam diri kita.

Segala sesuatu selain Tuhan, adalah hantu. Bayangan. Ketakutan. Semakin kita mengejar dunia, tanpa berhampiran dengan sisi ukhrawinya; kita akan menjadi hantu. Hidup tanpa ditemani Tuhan akan dikelilingi hantu. Dililit rasa takut. Resah. Gelisah. Seolah tak berarah. We never had enough.

Why do we exist?

Kita hidup hanya untuk satu tujuan: menemukan Tuhan. Selebihnya hanya bagaimana cara berbagi apa yang kita temukan. Hanya orang yang bertuhan yang mampu berbagi bahagia, secara sempurna. Menjadi Rahmat bagi alam. Selain itu hanya mampu berbagi susah. Bahkan menyusahkan orang. Merusak ekosistem dan tatanan. Korup, dan tidak pernah puas.

Inti hidup adalah bagaimana caranya bisa memiliki dan sampai kepada Tuhan. Selebihnya; kaya, miskin, tenar, cerdas dan berkuasa; itu hanya cara mengekspresikan bahagia dalam suasana yang berbeda. Dalam lebih dan kurang. Dalam sedih dan senang.

Selama engkau bersama Tuhan, dan senatiasa menyembah dan mengabdi kepada-Nya; engkau sudah hidup dijalan yang benar. Selebihnya, kalau mau merasakan bagaimana punya uang untuk bisa membeli apa saja, bekerjalah dengan baik. Benahi karakter yang mendukung untuk itu. Bantu orang-orang dengan bisnis anda. Kutip sedikit hak anda. Sebab, penasaran juga kita bagaimana bisa kaya. Kalau jadi miskin sudah biasa. Jenuh juga kita membaca nama Bill Gates, Mark Zuckerberg, Jeff Bezos dan kawan-kawannya itu selalu berada pada list orang paling kaya di dunia. Sekali-kali kan boleh diganti dengan nama kita.

Kalau pun engkau sudah terlalu kaya, lalu ingin merasakan bagaimana uniknya jadi orang miskin; pergilah ke pulau terpencil dan hiduplah sendirian disana. Tanpa baju, rumah dan makanan. Kami lihat banyak millionaire yang sudah begitu.

Yang penting, Allah selalu dibawa serta. Dan teruslah berbagi, dalam lebih dan kurang. Baik banyak atau sedikit. Karena disitulah nilai kita. Life is so short. Make it meaningful. Terus berbuat, yang terbaik bagi manusia. Khalifah Allah adalah orang-orang dermawan. Yang senantiasa membagikan energi dan cinta-Nya. Sehingga hidup penuh makna.  Seperti kata Imam Jakfar Shadiq:

“Orang-orang akan hidup lebih lama dikarenakan amal baik mereka, daripada umur mereka itu sendiri. Dan mereka akan mati lebih cepat dikarenakan dosa-dosa mereka, daripada umur mereka itu sendiri.” Ad-Da’awat, Salwah Al-Hazin 291

Disinilah terkandung makna, bahwa orang yang berbuat baik “umurnya panjang”. Melegenda. Akan terus dikenang dan didoakan.

***

Saya terus melamun. Pikiran kembali menerawang untuk menangkap pesan-pesan seorang Guru Sufi tentang “Untuk Apa Kita Ada?”. Memang terkadang, disaat tensi pekerjaan meninggi, order bisnis meningkat; ada sisi kosong yang tidak terpenuhi. Sebuah sisi yang hanya bisa diisi dengan “meniadakan diri”. Menutup mata dan mengunci lidah, sambil terus memanggil Allah dalam kelambu sunyi. Tapi kesibukan dunia sering membuat kita lelah. Setan menguat. Kita diasingkan dari ruang-ruang Tuhan. Pengabdian kepada-Nya diganggu.

Ampun Tuhan!

Saya berjalan menghampiri kasir untuk membayar “Kupi Sikhan” dan beberapa potong kue, yang saya pesan 30 menit lalu.

“Meja mana bang?”, tanya pelayan. Saya menunjuk kesebuah meja di pinggir luar warung itu. Lalu dia mengatakan, “Ooo.. itu meja nomor 37”.

Baru tau saya, meja itu bernomor 37. “Ternyata saya tadi sedang ngopi bersama Allah”, begitu saya meyakinkan diri sendiri. Biar bahagia. Sebab, ngopi tanpa Tuhan, pasti berhantu.

***

Begitu selesai menulis cerita singkat ini, saya melirik ke sudut kanan HP. Disana ada notifikasi, “sisa baterai 37 persen lagi”. “Aha! Rupanya Dia juga menemani saya berkarya”. Kembali saya berbaik sangka, bahwa Allah senantiasa hadir kemanapun kita pergi, dalam apapun kita berbuat. Memang, berbaik sangka adalah cara paling sederhana untuk bahagia.

BACA JUGA: “The Everywhere 37”

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

💥 powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web: saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG@saidmuniruddin

Next Post

KITA SELAMAT, KARENA DEKAT

Fri Oct 8 , 2021
“Jurnal […]

Kajian Lainnya