“DEDUKSI SPIRITUAL”: BERAGAMA DARI HUKUM-HUKUM UMUM KE PENGALAMAN-PENGALAMAN KHUSUS


“Jurnal Tasawuf Akhir Zaman” | PEMUDA SUFI | Artikel No.77 | Oktober 2021


“DEDUKSI SPIRITUAL”: BERAGAMA DARI HUKUM-HUKUM UMUM KE PENGALAMAN-PENGALAMAN KHUSUS
Oleh Said Muniruddin | Rector | The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Allah tidak pernah memerintahkan kita untuk sholat, puasa, zakat, haji dan sebagainya. Kalaupun ada; itu mungkin ustad, teungku, guru ataupun orang tua yang memerintahkan kita melakukan itu. Ataupun, ada tertulis di kitab-kitab, bahwa kita diperintahkan untuk melaksanakan itu. Bukan Allah langsung yang hadir untuk memerintahkan kita melakukannya.

Ini bukan berarti kita tidak wajib melakukannya. Wajib. Hanya saja, wajibnya bersifat umum. Perintahnya bersifat generik. Sifatnya umum. Itulah syariat.

Apakah ada hukum-hukum dan pengalaman yang bersifat khas?

Ada. Dan ini hanya berlaku bagi orang-orang khusus. Orang-orang yang dekat dengan Allah. Apa makna “dekat”?

Dekat artinya “akrab”. Mampu bercakap-cakap. Sebab, Allah itu maha berbicara. Untuk orang-orang seperti ini, berhubungan dengan Allah tidak lagi diperantarai oleh teungku, kiyai, ustadz, orang tua maupun kitab. Sudah laduniah. Langsung kesisi-Nya. Jaringan ruhaninya sudah aktif. Qalbunya sudah hidup. Sudah mampu membangun komunikasi secara terbuka dengan Allah SWT. Orang-orang seperti ini sudah tidak lagi berjarak dengan Tuhannya.

Apakah masih ada orang yang seperti itu, yang dekat dan akrab dengan Allah SWT?

Wajib ada! Kalau tidak, berarti agama Islam tidak lagi mampu membawa umatnya dekat dan akrab dengan Allah SWT. Sebab, Islam bukan agama yang bertujuan melahirkan orang-orang gila. Yaitu orang-orang yang bicara sendiri dalam sholat dan doa-doa mereka. Islam adalah agama yang logis, yang ketika berbicara, anda bisa memastikan bahwa anda benar-benar sedang berbicara dengan Tuhan anda, dan bisa mendengar Dia meresponnya. Hubungan yang logis seperti itu. Walau untuk mencapai maqom komunikasi yang efektif seperti ini lumayan berat perjuangannya. Harus diperbaiki kembali semua jaringan komunikasi spiritual kita. Karena kita sudah kelamaan tuli, bisu dan buta (QS. Al-Baqarah: 18).

Untuk mencapai ini, pada awalnya kita secara umum dilatih metode syariat untuk berbicara sendiri, sambil disuruh bayangkan seolah-olah Tuhan mendengarkannya. Tapi ujungnya, seharusnya kita mampu mencapai makam-makam khusus seperti muraqabah (mengalami dan merasakan langsung kehadiran-Nya).  Komunikasinya aktual. Benar-benar melihat dan berbicara dengan Tuhan. Meskipun, pada level ini, anda juga bisa dituduh gila. Nabi-nabi, semua dituduh gila. Karena mereka juga manusia biasa seperti kita, namun tiba-tiba mengaku bisa bicara dengan Tuhan. Gila nggak?

Jadi, agama itu memang “gila.” Sejak awal sudah gila, komat kamit sendiri (syariat). Ujungnya lebih gila, mampu berbisik-bisik secara langsung dengan Allah ta’ala (hakikat). Jadi, syariat dan hakikat tidak perlu dipertentangkan. Karena sama-sama gila. Yang satu gila dengan hafalan sendiri. Satu lagi gila berceloteh dengan Rabbnya. Walaupun sebenarnya ini bukanlah gila. Karena mampu berbicara dengan Allah adalah sebuah karunia:

مَآ اَنْتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُوْنٍ

“Berkat karunia Tuhanmu engkau (Muhammad) bukanlah orang gila”
(QS. Al-Qalam: 2).

***

Pada orang-orang khusus inilah perintah Allah turun secara langsung (laduniah). Karena wadahnya sudah kuat, sudah bisa menerima karunia secara langsung dari Allah SWT. Perintah diterima secara langsung. Bukan lagi sekedar merujuk pada kitab undang-undang yang ada. Sehingga, segala tindak tanduk, bicara, diam dan bahkan marahnya, bahkan setiap detiknya, adalah sesuatu yang diilhamkan Allah SWT. Itulah “sunnah”, perilaku selama 24 jam yang semuanya berdimensi ilahiah. Tidurnya, duduknya, berdirinya, berjalannya, sujudnya; semua ada Tuhannya. Jadi, siapapun yang sudah dekat dengan Allah, gerak-geriknya adalah “sunnah.” Ada Allahnya. Ada ruhani Rasulullah dalam dirinya.

Maka, sunnah itu bukan hanya apa yang dicontohkan nabi 1400 tahun silam. Itu sunnah umum. Termasuk hukum-hukum syariat. Sunnah lainnya adalah yang berlaku khusus. Yaitu apapun tindakan yang kita lakukan sekarang maupun dimasa akan datang, sejauh itu diilhamkan secara langsung. Jika semua ide dan tindakan anda itu benar datangnya dari sisi Allah, itu adalah juga gerak Rasulullah disepanjang zaman.

Maka, inovasi apapun yang anda lakukan, sejauh Allah izinkan, itu sunnah. Kuncinya satu: harus akrab dan menjadi kekasih Allah. Agar kita diizinkan berkomunikasi secara khusus dengan-Nya. Kalau sudah akrab, anda bisa menjadi mujaddid yang diberi akses masuk ke wilayah-wilayah inovatif untuk melakukan pembaharuan hukum (mujahadah), sehingga membuat Islam aplikatif  dan relevan sepanjang waktu dan zaman.

Kalau tidak mampu berkomunikasi dengan Tuhan, sebaiknya jangan melakukan hal-hal aneh baru. Cukup ikuti aturan umum yang ada. Walaupun hukum-hukum umum itu sendiri, antar mazhab, juga ada perbedaan-perbedaan penafsiran. Karena juga tidak terlepas dari proses olah akal dan fikiran manusia.

***

Kembali ke topik terawal. Sholat, itu bisa berbentuk anjuran umum, bisa bersifat perintah (pengalaman) khusus. Nabi Muhammad, jauh sebelum menerima wahyu sudah rajin melaksanakan sholat. Karena tidak mungkin jika keluarganya mengikuti agama Ibrahim yang hanif namun tidak melaksanakan sholat seperti perintah Ibrahim. Orang tua, ayah, ibu dan kakek-kakek Nabi kita, itu orang hanif. Orang-orang yang rajin sholat. Lebih duluan sholat orang tua nabi daripada ustadz-ustadz kita yang mengkafirkan mereka.

Bahkan Kakbah yang dikelola keluarga Nabi, adalah pusat sholat semua pengikut Ibrahim. Dan juga menjadi pusat spiritual berbagai varian agama jahiliah yang serupa. Sholat, puasa, dan haji misalnya; itu termasuk berapa syari’at Ibrahim yang rutin dilaksanakan Muhammad sebelum jadi nabi. Muhammad itu ahli ibadah sejak kecil. Sudah Islam sejak lahir. Bahkan masa mudanya, selain berbisnis, digunakan untuk berzikir secara intensif di Gua Hirak. Mungkin juga di kamar tidurnya.

Hanya saja, perintahnya bersifat umum. Masih mengikuti syariat Ibrahim, dan juga nabi-nabi setelahnya. Bahkan saat Nabi masih muda, ajaran Isa as juga berkembang baik di Mekkah. Waraqah bin Naufal, mak comblang Nabi dengan Khadijah, itukan orang yang rajin sholat. Karena mengikuti syariat Nabi Isa. Nabi Isa as juga melaksanakan sholat. Semua nabi melaksanakan sholat. Makanya kita lihat ada orang-orang Kristen yang sholatnya mirip sekali dengan kita. Orang Tibet juga begitu. Yahudi juga.

Justru pengalaman mikraj dikemudian hari, itulah yang meng-up grade sholat Nabi dari bentuk syariat ke bentuk hakikat. Dimana perintahnya sudah bersifat “langsung.” Membawa umatnya untuk “bertemu”, sehingga akrab dengan Tuhan. Sholat itu, sejatinya adalah ibadah hakikat, perintah dan komunikasi langsung dengan Tuhan. Bukan sekedar ritual formal. Sholat itu bentuk pertemuan nyata, bukan sekedar pura-pura berjumpa. Itulah sholat, mikrajnya orang-orang mukmin. Benar-benar terbang anda.

Pertanyaannya, saat sholat, apakah anda benar-benar berkomunikasi secara langsung dengan Allah SWT? Kalau iya, itu levelnya sudah mikraj. Sholat hakikat. Kalau tidak, berarti kita masih menciptakan berbagai jenis sholat dengan aneka imajinasi. Belum khusyuk, belum mengambil sholat secara langsung dari sisi Allah itu sendiri.

Nabi Muhammad, sejak sebelum jadi nabi sudah melaksanakan sholat, secara syariat. Karena secara syariat, anda bisa beribadah tanpa harus terkoneksi dengan Allah. Jalani saja terus. Latih terus. Tapi, pada level hakikat, lima waktu sehari harus turun perintahnya, harus dipanggil, di azanin secara langsung oleh Allah SWT. Itu baru “berjumpa”. Baru “tegak” sholatnya. Tentu panggilan langsung seperti ini hanya terjadi kalau kita sudah dekat, akrab dengan-Nya. Maka, yang hadir ke masjid saat sholat itu beragam. Ada yang dipanggil oleh muadzzin. Ada juga yang dipanggil langsung oleh Allah. Maka, menjadi kekasih Allah adalah sebuah karunia yang luar biasa. Selalu dipanggil oleh-Nya. Naik haji juga begitu. Ada yang berangkat karena benar-benar dipanggil. Ada juga yang pergi karena merasa dipanggil. Ada juga yang sebenarnya Allah tidak senang sama dia, tapi memaksakan diri pergi juga. Sehingga menjadi orang bingung di Rumah-Nya.

Jadi, mikraj itu, sebenarnya adalah pelajaran sholat secara hakikat. Connect dulu dengan Allah, baru sholat. Sehingga sholat itu menjadi sebuah panggilan pada waktunya. Bukan lagi sekedar kewajiban yang terjadwal. Makanya, pelajaran terawal sebelum sholat adalah “penyucian diri” (QS. Al-‘Ala: 14-15). Secara syariat disebut thaharah. Secara hakikat namanya “tazkiyatun nafs”. Melalui tazkiyatun nafs kita dibersih sambungkan jiwa dengan Allah, sehingga ibadah-ibadah kita merupakan sesuatu yang kita lakukan atas dasar panggilan, perintah langsung darinya. Ini ibadah level para khalifah Allah. Level khawash.

Para sufi, yang betulan sufi, sangat paham bagaimana bentuk-bentuk panggilan langsung dari Allah; sebagaimana para nabi paham bagaimana cara berkomunikasi dengan Allah. Ada ulama yang mewarisi ilmu ini. Makanya mereka disebut sebagai pewaris ruhani Nabi. Berguru. Belajarlah dengan mereka. Agar tidak lagi bicara sendiri. Agar bentuk gila kita terup-grade lagi.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.****

💥 powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web: saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG@saidmuniruddin

One thought on ““DEDUKSI SPIRITUAL”: BERAGAMA DARI HUKUM-HUKUM UMUM KE PENGALAMAN-PENGALAMAN KHUSUS

  1. Thank you for your sharing. I am worried that I lack creative ideas. It is your article that makes me full of hope. Thank you. But, I have a question, can you help me?

Comments are closed.

Next Post

HUBUNGAN LANGSUNG

Wed Nov 3 , 2021
Jurnal […]

Kajian Lainnya