ETIKA TEOLOGIS: DASAR BAIK-BURUK ATAU BENAR-SALAH SEBUAH TINDAKAN

“Jurnal Tasawuf Akhir Zaman” | PEMUDA SUFI | Artikel No.85 | November 2021


ETIKA TEOLOGIS: DASAR BAIK-BURUK ATAU BENAR-SALAH SEBUAH TINDAKAN
Oleh Said Muniruddin | Rector | The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Apa dasar sebuah perilaku kita dikatakan etis; baik atau buruk, benar atau salah?

Merujuk pada penjelasan kami dalam artikel “Alquran Teoritis dan Alquran Praktis”, baik-buruk atau benar-salah tindakan kita, dalam perspektif agama (teologi), itu ada dua: perspektif “teoritis” dan perspektif “praktis”.

Pertama, etika teologis “teoritis” (indirect and textually guided). Sebuah perilaku disebut baik atau buruk, benar atau salah, manakala dihubungkan dengan ayat dan hadis, atau teks turunannya (hukum dan fatwa para ulama dan intelektual). Kitab suci, kitab hadis, serta dokumen keagamaan lainnya merupakan “buku teks”, sumber rujukan, referensi umum bagi sebuah tindakan. Jika sebuah keputusan yang kita lakukan erat kaitan dengan sumber-sumber tertulis tersebut, maka tindakan kita secara “deskriptif normatif” akan semakin baik dan benar. Begitu pula sebaliknya.

Saya sebut “deskriptif normatif” karena memang teksnya bersifat umum (universal), digunakan oleh semua orang, lalu digunakan untuk beragam tempat, zaman dan kondisi. Tanpa terlalu dipahami atau disesuaikan dengan asbab turunnya ayat. Seringkali sebuah ayat atau hadis digunakan untuk menghakimi orang. Main pukul rata, tanpa memahami kesesuaian konteksnya. Kalau sudah bicara asbab, situasi dan kondisi; itu sudah masuk ranah teknis (praktis). Nasikh wal mansukh ayat terjadi akibat hal-hal seperti ini. Sebuah ayat masih berlaku atau tidak, itu sesuai sikon kemudian. Sesuai kehendak Tuhan untuk konteks berbeda.

Kedua, etika teologis “praktis” (direct and contextually guided). Landasan praktis adalah “perintah langsung” Tuhan, boleh atau tidaknya kita melakukan sebuah tindakan; sesuai tempat, waktu dan kondisi. Boleh saja ada teori umum yang menyuruh kita untuk pergi solat berjamaah. Tapi adakalanya pada situasi dan kondisi tertentu, Tuhan memerintahkan kita untuk tetap di rumah. Dan ini benar-benar “bisikan” Tuhan. Bukan interpretasi akal pikiran.

Artinya, kalau kita tetap ngotot ke masjid, itu melawan perintah langsung Tuhan. Memang secara teoritis, Dia pernah menyebutkan akan keharusan ke masjid. Tapi ketika Dia sewaktu-waktu memberi perintah khusus untuk tinggal di rumah, maka yang terbaik adalah mengikuti perintah yang bersifat khusus dan aktual. Yang teoritis itu, pada kondisi aktual seperti ini menjadi mensoh.

Itulah sebabnya, tidak semua hal yang kita tafsirkan sebagai baik, adalah baik. Allah lebih tau. Atau sebaliknya; tidak semua hal yang kita yakini buruk adalah buruk. Allah lebih tau.

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ࣖ

“Diwajibkan atasmu berperang, padahal itu kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 216)

Perang, boleh tidak? Baik atau buruk? Untuk membahas ini kita mulai mengeluarkan banyak ayat dan hadis. Otak mulai berputar. Semua argumen kita keluarkan untuk mendukung persepsi ataupun kepentingan (nafsu) kita. Itu etika teologis “teoritis”. Praktisnya, telpon saja Tuhan. Tanya Dia: “Ya Allah, boleh tidak kami berperang ke Suriah sekarang?”. Kalau Dia jawab “boleh”, segera berangkat. Kalau Dia katakan “jangan”, maka tidak usahlah membuat kerusuhan di negeri orang.

Masalahnya, tidak ada lagi yang kenal Allah, apalagi mampu berkomunikasi dengan-Nya. Tidak ada lagi yang mewarisi (keahlian) Nabi. Semua mulai menafsirkan agama menurut akal dan hawa nafsunya.

Jadi, selalu ada deviasi antara teori dan praktik. Teori itu penting, agar kita tau baik buruk atau benar salah secara umum. Namun mampu mendengar bisikan Tuhan disepanjang zaman, itu jauh lebih penting. Agar kita tidak keseleo pada hal yang kita anggap baik, yang ternyata memiliki unsur buruk.

Solat itu baik. Wajib. Perintah tertulisnya jelas. Tapi adakalanya ketika anda mau solat, Allah melarang. Ini bisa terjadi kalau anda mampu mendengarkan secara langsung petunjuk dari Allah. Para nabi, wali dan orang-orang saleh seperti itu.

Kenapa bisa dilarang untuk solat? Karena bisa jadi tubuh anda belum netral. Masih ada unsur marah, resah, was-was, riya’ dan unsur-unsur setan lainnya. Dan itu semua mau anda bawa masuk ke dalam masjid untuk dihadiahkan kepada Allah? “Celakalah orang-orang solat”, kata Allah. “Yang lalai dalam solatnya”. Yang solatnya tidak dilakukan atas kesadaran ilahiah, dibawa masuk unsur-unsur syaitaniah (QS. Al-Ma’un).

Allah tidak menerima jika unsur-unsur jahat dibawa ke dalam solat. Kita tidak sadar akan hal-hal sepele seperti itu, yang membuat ibadah kita tertolak. Kita pikir sudah benar sekali apa yang kita lakukan, padahal penuh sampah. Tentu Allah tidak suka. Tidak ridha. Bisa marah Dia. Bisa dilipat-lipat solat kita, lalu dilempar ke muka kita. Agama, pada level halus (ihsan) seperti itu. Penuh rambu dan kehati-hatian. Reflektif sifatnya. Ada unsur diam. Wara’. Penuh pengawasan diri. Tuma’ninah. Tapi pada tingkatan syariat, silakan balap, lakukan dan baca apa saja yang disuruh.

Jadi penting untuk secara praktis dan aktual untuk mengetahui apa yang terbaik menurut Allah, yang tentu melampaui teori-teori umum. Itulah bentuk kehidupan para nabi. Disatu sisi mereka mengeluarkan banyak teori yang tercatat di batu, kayu dan tulang belulang, sebagai basis syariah (petunjuk dan hukum-hukum umum) bagi orang awam. Disisi lain, rutinitas mereka justru berjalan atas petunjuk dan arahan langsung dari Tuhan. Sangat teknis dan taktis.

Banyak hal dalam keseharian mereka yang mengikuti bisikan langsung dari Tuhan. Apakah harus duduk, bangun, berjalan, berbelok, lurus, berhenti; semuanya diilhami oleh Tuhan. Karena itulah semua gerak gerik mereka menjadi “hadis” yang bernilai suci. Jadi tauladan. Kalau tindakan mereka murni atas dasar akal pikiran dan hawa nafsu, maka itu menjadi tidak suci. Semua akan menjadi suci, manakala nafsu dan keputusan akal dibimbing oleh petunjuk Tuhan.

Bisa jadi ketika sedang berjalan, akal mereka memutuskan untuk belok ke kanan. Karena hasil analisa otak mereka begitu. Tapi kemudian hadir wahyu yang menyuruh mereka ke arah kiri. Tentu harus ikut wahyu, walau berlawanan dengan hasil interpretasi akal. Allah lebih tau mana yang paling baik dan benar. Allah tidak mau membiarkan nabi-Nya tersesat. Kalau sesat, itu pasti bukan nabi. Dan tidak pantas untuk diikuti. Allah senantiasa hadir dalam setiap tindakan mereka. Seluruh gerak dan bicara mereka secara praktis diilhami unsur laduni (wahyu).

Jadi, tidak sempat bagi seorang nabi saat berada di persimpangan jalan lalu mulai membuka kitab dan sibuk membaca. Lalu mulai mencari-cari ayat, mana yang secara teoritis menyuruh ke kanan atau ke kiri. Nabi bukan tipe pembaca. Mereka justru dibacakan oleh Tuhan kemana harus melangkah. Iya, sebagai manusia, otaknya juga bekerja. Cerdas mereka. Akalnya sangat hidup saat memahami sesuatu.  Tapi ada Allah yang secara praktis selalu hadir untuk menuntun dan mengoreksi potensi kemanusiaan mereka.

Nafsu mereka juga begitu. Sebagai manusia, para nabi juga hidup dengan nafsu. Sebagai makhluk “basyar” (biologis) mereka punya ego, bernafsu terhadap sesuatu. Tapi, Allah selalu hadir untuk merestui, atau sebaliknya, melarang penyaluran nafsu itu. Dengan demikian mereka senantiasa berada di atas jalan yang lurus. Sebab, bisa jadi nafsu tersebut dirahmati oleh Allah. Ketika dirahmati, itu pertanda nafsu mereka sejalan dengan maunya Allah. Karena banyak juga, bahkan umumnya nafsu yang sering kita umbar itu sifatnya tercela. Kalau Allah tidak hadir, binasa kita (QS. Yusuf: 53).

Kesimpulan

Kalau kita pelajari sumber-sumber etika (baik-buruk dan benar-salah sesuatu) itu banyak sekali dasarnya (i.e., filosofis, teologis, dll).

Di zaman modern seperti sekarang, semua kita ingin kembali ke sistem “islami” (ekonomi, pendidikan, dsb) dengan ramai-ramai menginterpretasi teks Alquran dan hadis. Itu usaha untuk memahami dan mendekati teori. Tapi sedikit sekali yang secara praktis mampu mengkonfirmasi secara aktual benar-salah dan baik-buruk setiap tindakan dan keputusan kita kepada Allah. Menurut tafsir akal dan hawa nafsu kita, semua tentu sudah baik dan benar. Menurut Allah?

Kebenaran perilaku kita sangat interpretatif. Penuh bid’ah. Tidak absolut dan aktual sebagaimana maunya Allah. Sebuah alasan mengapa kita harus senantiasa beristighfar.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.****

💥 powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web: saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG@saidmuniruddin

One thought on “ETIKA TEOLOGIS: DASAR BAIK-BURUK ATAU BENAR-SALAH SEBUAH TINDAKAN

  1. Saya merasa sangat terharu, merasakan bahwa saya ditunjukan jalan yg selama ini mendaki dan cukup melelahkan. Kini insfirasi dari artikal , ustdz Said Muniruddin telah membuat hati saya punya keyakinan yang lebih yakin. Mohon izin artiikel saya share di WAG saya, sehat dan sukses selalu Abu Said Munaruddin,

Comments are closed.

Next Post

QUL HUWALLAHU AHAD

Mon Nov 29 , 2021
“Jurnal […]

Kajian Lainnya