“METAVERSE”, DUNIA PERMAINAN DAN SENDA GURAU


“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 03 | Januari 2022


“METAVERSE”, DUNIA PERMAINAN DAN SENDA GURAU
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Manusia hidup dalam berbagai dimensi. Ada dimensi “murni asli” (objective reality, wujud kekal atau baqa), ada dimensi “asli tapi palsu” (virtual reality, fana atau yang baru-baru ini diperkenalkan oleh CEO Facebook Mark Zuckerberg sebagai metaverse).

Misalnya begini. Kalau anda main film, di film itu adalah wujud anda dalam dimensi akting, atau drama. Bukan anda dalam wujud kehidupan asli. Yang di film itu sebenarnya juga anda, tapi “palsu”. Virtual. Permainan. Senda gurau saja.

Itulah kita di dunia ini. Semua sedang berakting disebuah alam digital karya Tuhan, dengan algoritma kehidupan yang begitu dahsyat. Padahal, semuanya hanya permainan dan senda gurau (la’ibuw wa lahwun):

إِنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ ۚ وَإِنْ تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا يُؤْتِكُمْ أُجُورَكُمْ وَلَا يَسْأَلْكُمْ أَمْوَالَكُمْ

“Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah alam permainan dan senda gurau (metaverse). Dan jika kamu beriman dan bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu” (QS. Muhammad: 36).

Kita sedang main film semua. Kita sedang berada di lapik layar bioskop. Kita memang hidup, bergerak dan bersuara. Tapi semuanya tidak lebih dari pancaran teknologi Cahaya dari alam sana (Allah adalah Cahaya yang telah membuat langit dan bumi menjadi sebuah virtual reality, sebuah lukisan dan film yang hidup dan terasa begitu nyata, QS. An-Nur: 35).

Kita ini film yang lagi diputar, film yang sedang diproyeksikan ke atas layar yang sangat lebar. Layar dunia. Layar alam semesta. Kita yang asli, saat ini, sebenarnya sedang berada di “kampung akhirat” (daral akhirah), kampung kehidupan yang sesungguhnya:

وَمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ ۚ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya kampung akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui” (QS. Al-Ankabut: 64)

Manusia adalah makhluk multi dimensi, multi alam. Kita dapat berada di dua tempat berbeda, pada waktu yang sama. Berada di dunia (dalam wujud mainan/ujian), sekaligus di akhirat (dalam wujud sebenarnya). Fisik kita makhluk bumi. Ruh kita adalah nafas ilahi, berdimensi akhirat.

Kita pada dimensi maya (metaverse) adalah makhluk bumi yang sedang berakting, memainkan peran-peran kekhalifahan yang ditugaskan Sang Sutradara. Ada yang gagal memainkan peran, ada yang berhasil. Berbeda dengan akhirat yang sifatnya objective reality, “lebih baik dan kekal” (wal akhiratu khairuw wa abqa, QS. Al-‘Ala: 17); dunia ini kesenangan yang bisa memperdaya:

اِعْلَمُوْٓا اَنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وَّزِيْنَةٌ وَّتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلَادِۗ كَمَثَلِ غَيْثٍ اَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهٗ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرٰىهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًاۗ وَفِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌۙ وَّمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانٌ ۗوَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ

“Ketahuilah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan, kelengahan, perhiasan, dan saling bermegah-megahan di antara kamu serta berlomba-lomba dalam banyaknya harta dan anak keturunan. (Perumpamaannya adalah) seperti hujan yang tanamannya mengagumkan para petani, lalu mengering dan kamu lihat menguning, kemudian hancur. Di akhirat ada azab yang keras serta ampunan dari Allah dan keridaan-Nya. Kehidupan dunia (bagi orang-orang yang lengah) hanyalah kesenangan yang memperdaya”
(QS. Al-Hadid: 20)

Agar kita memiliki tabiat yang dapat meluruskan pandangan kita selama di bumi, maka wujud Ruhani (wujud asli kita yang di langit) harus diperbaki. Karena manusia adalah sebuah wujud, yang baik buruk dimensi lahiriahnya (wujud duniawinya) sangat ditentukan oleh dimensi batiniah (wujud akhiratnya). Artinya, kita harus mampu kembali (mengembalikan diri kita) kepada Tuhan, balik ke dimensi akhirat, untuk memperbaiki segala yang rusak. Kita menjadi kacau selama di dunia hanya karena wujud ukhrawi kita sudah berpenyakit. Wujud langit, wujud ketuhanan (ruh) kita sudah rusak.

Itulah mengapa tasawuf sering menggambarkan manusia secara bertingkat. Makhluk bumi, sekaligus makhluk langit. Manusia adalah makhluk multi dimensi, yang hidup di berbagai tingkatan alam. Secara umum, Alquran menjelaskan bahwa kita pada tingkatan tertinggi “berasal” dari Allah (dari alam Ahadiyah), dari alam lain yang maha gaib (menurut mata dunia). Itu aslinya kita.

Lalu secara bertahap kita memiliki wujud di alam-alam (dimensi) berikutnya: alam wahdah, alam wahidiyah, alam arwah, alam mitsal, alam jism dan seterusnya. Semua alam ini adalah perjalanan kejadian, atau “pancaran” kita dari yang asli disana untuk menjadi makhluk bumi. Ruh kita adalah Cahaya-Nya. Yang dipancar, ditiup, atau beremanasi dari alam sana; lalu menempati wadah cangkang manusia. Untuk kembali ke sana, untuk memperbaiki wujud tabiat duniawi agar selaras dengan sisi ketuhanan, alam-alam tersebut harus di tempuh, didaki kembali. Itulah yang ingin disampaikan Ibnu Arabi dan para sufi lainnya dalam “Martabat Tujuh”.

Jadi sebenarnya; kita sebagai Ruh yang maha batiniah, ada di sana. Di langit. Tapi kemudian lewat proses yang unik, lewat sebuah perjanjian primordial, ikut memiliki substansi di alam ini. Ada berbagai dimensi dari sosok manusia; dari wujud ukhrawi yang absolut atau baqa, sampai ke bentuk-bentuk duniawi yang bersifat mumkin atau fana. Manusia terpancar untuk memiliki wujud dalam dimensi dunia yang fana, dan juga dapat bermujahadah untuk kembali ke Wujud yang baqa:

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍۖ وَّيَبْقٰى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلٰلِ وَالْاِكْرَامِۚ

“Semua yang ada di atasnya (bumi) itu sifatnya metaverse (fana/akan binasa). (Hanya) Wajah (zat) Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap baqa, kekal (QS. Ar-Rahman: 26-27).

Kita yang absolut dan asli, itu ada di dimensi akhirat. Kita yang di dunia hanya dimensi virtual atau metaverse. Dalam bahasa berbeda, imam Ali as menyebut wujud kehidupan dunia sebagai “mimpi”, yang kalau mati (masuk ke dimensi ukhrawi), baru kita semua akan tersadarkan. Kita di dunia persis seperti orang sedang main game online. Kalau listriknya mati, baru kita sadar dan kembali ke rumah, ke kehidupan yang asli, ke kampung yang sebenarnya.

Dunia ini game online dalam dimensi yang tinggi. Algoritmanya begitu sempurna. Saling terkoneksi. Interaksinya live. Seperti nyata sekali. Ada unsur “rasa” dalam semua permainannya. Kita mampu merasa susah, sedih, marah, senang dan sebagainya. Sehingga sebagian orang percaya, khususnya kaum materialis, dunia inilah kehidupan yang sesungguhnya. Selebihnya tidak ada.

Dunia virtual metaverse ini dapat membuat kita larut. Seperti anak-anak yang adiktif dengan berbagai game simulatif. Sampai lupa segalanya. Sampai sakit jiwa. Sampai binasa. Karena Tuhan memang telah menciptakan dunia ini sebagai film yang “indah”. Telah dibuatnya menarik untuk dipandang mata. Tapi bagi kita orang awam, bisa terjebak dan tersesat di dalamnya.

Ibarat orang yang larut dengan teknologi virtual internet dan aneka interaksi onlinenya. Itu semua metaverse. Permainan belaka. Pada kadar tertentu, itu membuat kita bahagia. Pada tingkatan berlebih, rusak kita. Terkadang begitu larut kita dengan game tersebut. Saat pulang ke kehidupan nyata, kita ribut dengan anak dan istri. Anak tak ada susu, istri tak ada lipstik. Rusuh.

Coba perhatikan kehidupan para selebriti, ujungnya kacau balau. Karena larut dalam dunia film, sinetron, permainan, gaya dan citra media. Sebagian besar tidak mampu menghadapi kehidupan nyata. Rumah tangganya berantakan. Akhirnya terlempar dalam narkotika dan sabu-sabu, agar terus berada di alam khayali. Masyarakat juga banyak yang meniru artis. Waktunya habis dalam dunia tik tok, jadi selebgram dan sibuk up-date status di Meta Facebook. Sebagian justru melakukan itu untuk lari dari kenyataan, tanpa misi suci yang jelas.

Jangan lalai dengan alam virtual, alias “dunia” (bahasa Aceh: Donya). “Donya” adalah sesuatu yang tidak ada dimensi akhiratnya. Pasti rusak, hancur dan binasa kita. Pastikan kehidupan duniawi kita paralel dengan kehidupan ukhrawi. Maknanya, “Sesekali harus diperiksa wujud ukhrawi kita, sudah seperti apa. Harus diperbaiki jika ada yang rusak gara-gara terlalu tenggelam dalam tipuan metaverse”, sebut Sufimuda ketika pertama sekali membuka terma metaverse yang digunakan untuk menjelaskan ontologi sufisme. Beliau menuliskan itu dalam “Metaverse, Hakikatnya Kehidupan di Dunia ini Tidak Nyata”.

Sebenarnya dunia dan akhirat itu satu. Semua alam ini bagian dari Dia yang Ahad. Tunggal. Tak terpisah. Hanya beda dimensi. Semuanya satu, tapi dalam gradasi warna yang berbeda. Kalau anda sudah ahli, mudah sekali bagi untuk pindah-pindah alam. Karena semuanya satu. Saat sedang berada di dunia, anda bisa ‘terbang’ (pindah) ke akhirat. Secepat kilat (buraq). Begitu berada di akhirat, anda bisa melihat bagaimana sia-sianya sebagian besar kehidupan dunia. Kan itu yang dilihat Nabi SAW dalam perjalanan mikraj?

Suluk, dzikir, sholat dan aneka latihan ruhani lainnya, jika dilakukan dengan benar akan menjadi metode mikraj. Cara untuk kembali ke kampung kita yang asli. Ke akhirat. Ke surga. Ke Tuhan. Sehingga kita menjadi sadar akan hidup yang sesungguhnya, dan tidak terjebak di kehidupan “metaverse”. Agama punya punya metodologi untuk kembali ke Tuhan, agar kita dekat dengan Dia dan dapat memperbaiki nasib di alam sana, sehingga kehidupan dunia menjadi lebih bermakna.

Ketika tau bahwa dunia ini hanyalah metaverse, sejatinya kita menjadi bijak. Cicipi seperlunya. Jangan mabuk dengannya. Jangan diseriusi kali, sampai bersedia menghabisi dan mengkafirkan orang. Kalau mau ikut bermain dalam dunia metaverse ini, mainlah dengan bijak. Kalau menang bersyukur, kalau kalah pun santai saja. Janganlah terlalu dalam kalau membenci seseorang. It’s just a game. Jangan sampai merusak wujud asli anda di alam sana.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.****

💥 powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web: saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG@saidmuniruddin

One thought on ““METAVERSE”, DUNIA PERMAINAN DAN SENDA GURAU

Comments are closed.

Next Post

"THE SMILING HABIB"

Tue Jan 25 , 2022
“Jurnal […]

Kajian Lainnya