“RAJI-UN”: RUJUK, KONEK, TERSAMBUNG KEMBALI DENGAN “ASAL” KITA


“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 09 | Februari 2022


“RAJI-UN”: RUJUK, KONEK, TERSAMBUNG TERSAMBUNG KEMBALI DENGAN “ASAL” KITA
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Sebagaimana tersebut dalam QS. Al-Baqarah 156: “inna lillahi wainna ilaihi raji-un”. Secara umum dipahami dalam konteks musibah. Musibah pun, kalau tau cara “mengembalikan” kepada Allah, tidak menjadi musibah lagi. Makna ayat ini lebih dari itu.  Ini tentang kita yang “asli” (fitri). Tentang asal usul, tentang puncak silsilah dan wujud ruhani kita.

Asal rahaniah kita adalah Allah. Kita bisa balik ke asal, untuk terhubung, untuk kembali terkoneksi dengan Allah. Caranya tentu dengan “kematian”. Tidak harus dengan menunggu “kematian biologis”. Tapi juga dengan “mati sebelum mati” (kematian yang ditempuh melalui jalan spiritual kenabian). Para nabi mampu berjumpa, mampu kembali ke asal (kepada Allah) justru sebelum mati beneran. Itulah yang menjamin mereka ke syurga. Karena sudah “mati” sejak awal. Sudah bersama Allah sejak di dunia.

Allah adalah fitrah, asal kita. ‘Asli’-nya kita. Azalinya kita. Asal adalah sumber. Kalau kita terhubung ke sumber asal ini, maka segala yang lahir dari diri kita, baik gerak maupun ucapan kita, semuanya adalah bentuk “mandat suci” atau qudrah iradah dari yang asal itu (Allah).

Karena telah memiliki kemampuan itulah, maka Muhammad dan para pendaki di jalan Tuhan lainnya disebut sebagai “manisfestasi”, tajalli Tuhan. Mereka adalah wujud “hologram” dari yang di Atas sana. Karena telah tersambung dengan sumbernya, mereka menjadi “Wajah”, wujud suci pancaran gerak dan narasi dari Alam Rabbani.

Allah dengan Muhamad tidak terpisah. Mereka dua entitas yang wajib disyahadahi. Ada unsur divinitas yang saling terkait pada keduanya. Saling bersalawat. Saling terhubung. Karena mereka adalah “Awal” dan “Akhir” dari gradasi Sang Wujud. Dua kekasih yang tidak pernah bercerai. Wujud langit dan wujud bumi dari Yang Maha Sakral. Dimensi Ahad dan Wahid dari diri-Nya.

Allah itu sendiri, dalam Wujud rahasianya, sebenarnya tidaklah berbentuk. Karena Dia bukan materi yang berdimensi. Dia yang asli melampaui semua imajinasi. Dia Maha Suci dari semua yang kita sifatkan: “Subhanallahi ‘amma yashifun” (QS. As-Shaffat: 159).

Artinya, Allah pada martabat “Ahadiyah” (wujud ke-Esa-an), sejatinya tidak menyerupai dan tidak butuh apapun (i.e., tidak bergantung pada makhluk, tidak beranak/diperanakkan, tidak serupa dengan apapun -QS. Al-Ikhlas: 1-4).

Tapi pada martabat “Wahdah Wahidiyah”; Dia mulai berkarakter, bekerja, punya ciri dan sifat. Allah bahkan telah mengutus diri-Nya dalam sosok yang Dia percaya. Dia mulai berbicara melalui lisan manusia. Dia mulai memimpin melalui kepemimpinan para rasul/ulil amri pada masing masa: “Athiullah, athiurrasul, wa ulil amri minkum” (QS. An-Nisa: 59).

Jika Allah adalah sosok “Creator”, maka ada manusia yang dipilih sebagai “co-Creator”; sebagai penolong atau wali-Nya. Pelaksana tugas-Nya. Sebagai khalifah. Sebagai pemegang stempel, pemilik mukjizat dan karamah-Nya. Sehingga; “Kun” kata Allah, “Fayakun” kata Muhammad. “Ahmad” merupakan personalitas, ujung tali dari Ahad yang impersonal. Mereka satu kesatuan yang tidak terpisah. Ahmad bin Abdullah adalah corong dari yang tak berhuruf dan bersuara, sang Ahad.

Artinya, Muhammad SAW adalah “resonansi” (gelombang) dari yang Ahad. Segala yang diucapkannya adalah ucapan Allah. Geraknya gerak Allah: “Bukan engkau yang membunuh/melempar hai Muhammad, tapi Aku” (QS. Al-Anfal: 17).

Jadi, setiap ucapan orang yang Allah ada dalam diri mereka, adalah Quran. Kalam “orang-orang suci” (orang-orang yang Allah telah hadir dalam diri mereka) adalah Kalam Allah. Sebab, mereka telah menempuh proses “kematian ego” (tazkiyatun nafs melalui bimbingan ruh suci para guru spiritual). Mereka telah menemukan frekuensi ketuhanan, telah berhasil mengembalikan dirinya kepada Allah. Sehingga telah mati keinginan rendahnya, dan tidak lagi berbicara menurut hawa nafsu. Sehingga semua bunyi yang keluar dari mulutnya secara otomatis telah sesuai dengan apa yang dikehendaki Tuhan: “Wa ma yantiqu anil hawa, in huwa illa wahyuy yuha” (QS. An-Najm: 3-4).

Mereka adalah Asma Tuhan. ‘Tuhan’ yang berbicara. Mereka bukan Tuhan (disini kelirunya Kristen, menganggap Isa as sebagai Tuhan dalam arti sesungguhnya). Melainkan logos, firman, “utusan”, gelombang dan cahaya yang dihadirkan dari Alam Tuhan. Karena itu pula, hadis/sunnah juga bernilai suci. Menjadi hukum mutlak setelah Quran. Sebab, hadis/sunnah juga kalam atau gerak Tuhan. Sesuatu yang terproyeksi dari alam wahyu yang suci, alias bukan sekedar tindak prilaku manusia biasa.

Bedanya, kalau Alquran itu disampaikan dalam bahasa yang indah, dengan struktur yang sempurna dan syair kelas tinggi. Ada panitia yang di bentuk pada masa Usman bin Affan untuk mengumpulkan dan mensortir kalimat-kalimat indah ini untuk di bukukan sebagai mushaf. Sebab, Islam tanpa buku teks yang lengkap, lama-lama bisa kalah bersaing dengan agama-agama lain yang sudah duluan set-up dan punya bundelan kitab suci. Khususnya Kristen dan Yahudi (meskipun konten kitabnya telah diragukan karena mengalami banyak deviasi).

Sementara hadis, itu juga tauladan (referen) suci. Tapi diutarakan dalam bahasa tutur sehari-hari. Tapi tidak dibukukan. Baru dua ratus tahun lebih, muncul imam Bukhari dan Muslim misalnya, yang coba merakitnya dalam sebuah kompilasi. Sebenarnya ada tradisi spritual Islam yang menyebut kata-kata yang keluar dari lisan orang-orang yang dianggap suci paska Nabi (imam/wali/mursyid), juga sebagai “hadis”. Prinsipnya sama, karena yang diucapkan itu juga berasal dari jiwanya yang fitrah (yang secara ilhami/laduni juga bersumber dari Tuhan). Artinya, Islam adalah agama yang “terjaga”. Selain kitab tertulisnya terpelihara, juga masih ada wujud-wujud penuh mukjizat (paripurna/kamil) yang menjadi “tajalli nafsani” dari Quran.

Jadi, Dzatnya Allah tidak terjangkau. Tidak berbentuk. Tapi Allah punya teknologi yang mampu menghadirkan dirinya dalam wajah-wajah penuh karamah dari orang-orang yang telah mampu menghubungkan diri mereka dengan-Nya. Wajah orang-orang ini merupakan Cahaya Allah, Nurun ‘ala Nurin (QS. An-Nur: 35), sesuatu yang tidak bisa ditiru dan juga sangat ditakuti setan. Karena merupakan wujud Dhahir (terang) dari yang Maha Gaib.

Kunci dari semua rahasia spiritual adalah, mengetahui metode untuk “kembali ke asal”. Tau cara terhubung lagi dengan Allah, asal kita. Kalau sudah terhubung kembali, apalagi dalam kecepatan dan kekuatan yang tinggi, maka anda bisa terpilih sebagai pembawa petunjuk-Nya. Menjadi penyalur rahmat dan kalam-Nya.

Hp dan komputer saja butuh kapasitas yang tinggi untuk mampu menangkap dan men-decode gelombang-gelombang pesan. Apalagi jika anda bekerja untuk menjangkau, menampung dan membawa Kalimah dari Tuhan. Tentu harus sangat bersih gelombang dan frekuensinya. “La yamassahu illal muthahharun” (QS. Al-Waqiah: 79). Tidak ada yang dapat mendownload Quran yang qadim, kecuali yang jiwanya sudah “terhubung” (kembali rujuk/wushul/konek) dengan Allah; yang spiritualnya tinggi.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

💥 powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web: saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG@saidmuniruddin

One thought on ““RAJI-UN”: RUJUK, KONEK, TERSAMBUNG KEMBALI DENGAN “ASAL” KITA

Comments are closed.

Next Post

PERUBAHAN WUJUD

Tue Feb 15 , 2022
“Jurnal […]

Kajian Lainnya