RAMADHAN, BULAN “MENGASINGKAN DIRI”

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 19 | April 2022

RAMADHAN, BULAN “MENGASINGKAN DIRI”
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Ramadhan adalah bulan “mengasingkan diri.” Kenapa? Karena anda tidak bisa khusyuk beribadah, kalau speaker masjid kerasnya minta ampun, dari selesai tarawih sampai subuh.

Ibadah itu sendiri sebenarnya ada dua macam: ibadah khusyuk dan ibadah rusuh. Ibadah khusyuk butuh ruang sunyi, agar anda mampu mendengar suara-suara yang lebih tinggi. Ibadah rusuh, itu mirip aktifitas “cok-cok ayat” (rebutan ayat). Bagus. Tapi rusuh. Sebab harus mengeraskan suara. Tujuannya untuk memperdengarkan. Agak-agak ria memang. Pakek ToA pula.

Jadi, ibadah itu bagus dan banyak modelnya. Silakan pakek ToA, kalau ingin seperti konser. Silakan juga menjaga adab untuk tenang tak bersuara. Karena, untuk urusan sholat dan dzikir misalnya, biasanya kita butuh malam yang hening bening.

Kebetulan, di momentum ramadhan pula kedua jenis ibadah ini saling berkompetisi. Yang rusuh, rusuh terus. Tak bisa dilarang. Kalau anda larang, bisa dituduh komunis kita. Lebih parah, bisa dituduh setan kita, yang katanya bisa kepanasan gara-gara mendengar lantunan Alquran. Gak tau dia, setan juga pandai mengaji.

Tapi kita harus fair juga menyikapi bulan puasa. Ramadhan ini bukan hanya milik kita orang tua. Ini juga bulan bagi anak-anak untuk unjuk gigi. Untuk menyemangati seni baca Qur’an. Mereka punya kesempatan ngaji keras-keras di masjid dan musholla. Sehingga semarak dan nampak suasana berbedanya. Pengalaman beragama untuk anak-anak memang seperti itu, harus ramai dan rusuh. Jika tidak, agama ini menjadi tidak menarik bagi mereka.

Kita pun, kalau flash back ke masa lalu, memori saat kecil di bulan Ramadhan ya isinya kerusuhan semua. Saling dorong saat tarawih. Teriakan keras “amin”, rebutan mic saat azan dan ngaji, sampai betulan bonyok karena berkelahi. Semua terjadi di bulan suci. Itu semua memori yang membentuk masa kecil yang bahagia.

Sementara, orang dewasa, yang betul-betul dewasa, itu biasanya mencari kesunyian. Makanya, Nabi SAW, selama Ramadhan hanya dua malam saja mengerjakan ibadah di masjid. Selebihnya menyepi dalam kamarnya. Bukan tidur. Tapi ibadah semalam suntuk, dengan pintu tertutup, dalam suasana sepi. Mencari sunyi, guna berkomunikasi secara sangat privacy dengan Tuhannya. Anak-anak tidak punya kemampuan ibadah seperti itu. Harus ada kawan dia. Harus ramai dan rusuh.

Bahkan, sejak belia ibadahnya sudah begitu. Bermalam-malam Nabi SAW beruzlah di Gua Hirak. Bisa sampai sebulan. Setiap tahun. Setiap Ramadhan Nabi mengasingkan diri dari kerusuhan ibadah masal di Masjidil Haram.

Makanya, dalam tradisi klasik Islam, ada namanya ibadah suluk (iktikaf terfokus). Intensif dilaksanakan pada bulan Ramadhan. Itu kan meniru tradisi para nabi, yang menyembunyikan diri selama Ramadhan. Mereka menarik diri dari keramaian. Menghindari kerusuhan. Artinya, setelah setahun rusuh dalam ibadah, sebulan ini tak salah jika pergi berkhalwat. Mengasingkan diri, berdua hanya dengan Allah.

Tapi, ya itulah agama. Pola ibadah orang beda-beda. Ada yang baru mulai beribadah pada bulan Ramadhan, setelah sebelas bulan sebelumnya terlalu sibuk urusan kantor dan mirip-mirip lupa Tuhan. Akhirnya ya mencari keramaian, dengan tampilan cukup meyakinkan. Lengkap baret. Bersarung, berkoko dan berpeci; dengan sajadah di bahu. Duduknya di warung kopi.

Ada pula para sufi dan ahli ibadah profesional lainnya. Bulan Ramadhan justru menghilang dari jamaah. Tak terlihat pun di masjid. Tak ngaji bareng. Tak ikut pula buka puasa bersama. Rupanya pergi dzikir ke Gua Hirak dia. Mengunci diri di kamarnya.

Jadi, Ramadhan itu bulan ibadah. Tergantung anda mau pilih cara apa, dan bagaimana anda ingin merasakan pengalaman beragama. Mau kumpul ramai-ramai, atau justru mengasingkan diri; semua ada kelas dan jenjang spiritualnya. Kalau ingin disamakan dengan zaman nabi, susah pula. Berkhalwat sebulan penuh di bulan suci sebagaimana dilakukan Nabi, susah ditiru sekarang. Nabi itu pedagang. Setelah sebelas bulan capek berdagang, Ramadhan istirahat dia. Kita lain lagi. Sebelas bulan belakangan nganggur, gak ada kerja. Perputaran ekonomi justru terjadi di bulan ini. Akhirnya, selama bulan suci, ibadah kita ya bulan jualan risol dan air tebu.

Sementara, ada juga pedagang yang sudah kaya raya. Tapi tidak berangkat suluk juga dia. Sebab, keuntungan di bulan Ramadhan lebih menggiurkan. Bisa tujuh kali lipat dari bulan lainnya. Sayang kalau dilewatkan. Mau diajak suluk juga tidak bisa. Sebab, saat lagi jualan, yang dihafalnya juga ayat-ayat tentang muamalah. “Ini bulan untuk menghidupkan ekonomi syariah”, teriaknya. Habis kita. Yang ustadz-ustadz juga begitu. Susah diajak uzlah. Karena perputaran ceramahnya tinggi sekali. Bagian dari (dakwah) ekonomi syariah juga itu.

Selamat berpuasa. Selamat beribadah, menurut keyakinan masing-masing!

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

💥 powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web:
 saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG@saidmuniruddin

3 thoughts on “RAMADHAN, BULAN “MENGASINGKAN DIRI”

Comments are closed.

Next Post

"TALI ALLAH"

Fri Apr 1 , 2022
“Jurnal […]

Kajian Lainnya