SUDAH 1400 TAHUN, AGAMA HARUS DI UPGRADE


“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 32 | Mei 2022


SUDAH 1400 TAHUN, AGAMA HARUS DI UPGRADE
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Setelah 1400 tahun, keyakinan dalam beragama harus di upgrade. Ada fase kita percaya, misalnya, manusia adalah “makhluk materi”. Ada fase yang harus kita tempuh lebih lanjut untuk sampai pada keyakinan bahwa kita “makhluk spiritual”. Kita bukan sekedar adam (tanah). Tapi juga iblis (api), sekaligus malaikat (cahaya).

Meyakini diri sebagai seonggok “tanah” tidak akan membawa kita kepada Allah. Merasa diri sebagai “api”, hanya membuat hidup panas, gundah dan gelisah. Kita harus sampai pada pengetahuan yang meyakinkan bahwa kita semua makhluk “cahaya”, buraq. Makhluk yang mampu terbang sampai ke dimensi dimana Allah dapat disaksikan wujud keberadaannya. Hanya sebagai mahkluk cahaya kita bisa kembali kepada-Nya.

Manusia Tercipta dari Apa?

Awalnya dipercaya, manusia tercipta dari tanah. Itu pengetahuan lama. Pengetahuan awam. Pengetahuan anak-anak. Pengetahuan kaum lahiriah. Yaitu kaum yang hanya mampu menjangkau pengetahuan terhadap objek-objek kasat semata. Itu pengetahuan umat Islam level TK, SD, SMP dan SMA. Kalau sudah kuliah, apalagi sudah S3, pengetahuannya sudah beda. Sudah lebih cerdas!

Namun, Islam juga agama untuk semua kelas. Al-Quran mengakomodir keyakinan orang awam. Banyak ayat menyebutkan, manusia tercipta dari tanah (tin), dari tanah liat kering dari lumpur hitam (shalsalin min hama-in masnun), dari sari pati air yang hina/mani (maa-in mahin, nuthfah). Seterusnya menjadi ‘alaqah (segumpal daging), jadi mudghah (tulang-belulang), dan kemudian dibungkus kulit sampai memiliki bentuk sempurna. Semua itu elemen material.

Ini agama dalam kajian “atomik”, yang meyakini materi sebagai partikel dasar manusia dan alam semesta. Ini wilayah fisika klasik yang doktrin-doktrinnya sangat berjaya sampai awal abad 20. Tokoh utamanya Isaac Newton dari Inggris (1643-1727), yang semua teorinya mendukung keberadaan materi sebagai wujud primer alam semesta. Sebelumnya, di era kuno Yunani juga ada Demokritos (460-370 SM), pemikir mazhab atomisme.

Di barat, keyakinan manusia dan alam semesta adalah makhluk materi menjadi sebab musabab lahirnya “mazhab materialisme”. Bahwa tidak ada yang lebih tinggi dari materi. Di dunia Islam, ide-ide materialistik melahirkan kaum “lahiriah” yang fokusnya hanya pada wujud tekstual dan lahiriah ibadah. Kalau ada pengayaan pada dimensi lebih halus dari agama, itu dilabeli syirik dan bid’ah. Memang ditengah umat ini ada praktik-praktik perdukunan. Tapi mereka tidak bisa membedakannya dengan amaliah irfan. Kaum lahiriah cenderung mewarisi praktik fikih dan doktrin-doktrin material fisikal dari Alquran dan Sunnah.

Sementara, ketika secara saintifik diajukan pertanyaan lebih lanjut: “tanah tercipta dari apa?”; pemahaman agama akan menjadi lebih advance. Tidak terhenti di bumi, juga tidak serta merta lompat ke langit.

Menjawab ini, anda harus meminjam ilmu fisika moderen. Termasuk fisika kuantum yang mulai mendapat tempat sejak pertengahan abad 20. Kuantum fisik membuktikan, bahwa atom bukan substansi terkecil dari materi. Selain proton dan neutron yang menjadi pembentuknya, ada partikel lain yang menyusun atom. Yaitu “cahaya” (quark). Materi atom tersusun dari gelombang energi atau pusaran cahaya. Jadi, kita manusia (bahkan seluruh alam semesta ini) adalah sesuatu yang sebenarnya tersusun/tercipta dari cahaya. Bukan dari Tanah. Tanah (serta semua unsur alam dan mineral) itu semua tercipta/terbentuk dari cahaya!

Setidaknya itulah temuan fisika moderen. Segala sesuatu yang ada di alam semesta tercipta dari “cahaya”. Dan cahaya bukanlah materi, melainkan energi; yang tidak dapat dimusnahkan. Namun dapat berubah dari satu wujud ke wujud lainnya. Artinya, kita bukan makhluk materi yang akan mengalami kematian. Kita adalah makhluk cahaya, yang abadi. Yang dapat menjadi apapun. Yang dapat pindah alam dengan kecepatan tinggi, melakukan teleportasi, transmutasi, israk mikraj dan berbagai “mukjizat” serta “kekeramatan” kuantumik lainnya.

Memang ada sisi materialitas pada diri kita. Tapi itu semua “wujud mumkin” (mumkinul wujud) yang tercipta akibat “gerak substansial” cahaya (gerak tawaf pusaran kuark). Wujud absolute kita pada dimensi yang bisa diamati sekarang adalah cahaya.

Temuan saintifik ini membuktikan kebenaran lebih advance dari konsep-konsep Alquran yang menjelaskan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini tercipta dari cahaya: “Allah adalah cahaya langit dan bumi” (QS. An-Nur: 35). Hanya saja, cahaya itu bertingkat-tingkat. Artinya, wujud kuantum dari cahaya yang ada dalam diri kita bergradasi dalam tingkatan yang lebih halus dan tinggi lagi. Belum semuanya bisa diamati.

Fisika hari ini hanya mampu mengobservasi wujud cahaya pada level dasar. Selebihnya terlihat “kosong” (gaib). Namun secara konseptual, Alquran memberi petunjuk bahwa yang disebut “kosong” (void) itu tidaklah benar-benar kosong. Masih ada makam-makam (gradasi) dari cahaya sampai kepada level tertinggi, yaitu Allah itu sendiri. Adalah tugas fisikawan abad selanjutnya untuk membuktikan tingkatan cahaya secara lebih lanjut, sampai laboratorium Fakultas MIPA benar-benar menemukan “wajah” Allah SWT.

Tidak hanya manusia yang tercipta dari cahaya, alam semesta juga begitu. Karena semuanya adalah alam cahaya, tentu sebagai cahaya ia punya spektrum (gradasi) yang bertingkat. Artinya, alam cahaya ini hanya ada satu, tunggal (Ahad). Hanya dimensi (gradasi penampakan) yang berbeda.

Jadi, kalau kita ingin bertemu Allah SWT, itu bukan “perjalanan spasial” ke luar angkasa. Sebagaimana diceritakan Hamzah Fansuri saat melayat ke Baitullah: … Hamzah Fansuri di dalam Makkah, mencari Tuhan di Baitul Kakbah. Dia tidak menemukan Tuhan di bangunan fisik. Anda yang sudah 10 kali bolak balik naik haji juga sama. Tidak pernah ketemu Allah di padang arab manapun. Sebab, itu semua ritual simbolik. Perjalanan menuju Allah yang sesungguhnya adalah “dimensional journey”. Rumi menyebutnya sebagai perjalanan dalam diri, “the journey within”. Hamzah Fansuri melanjutkan: … Dari Barus ke Kudus terlalu payah, akhirnya ditemukan di dalam rumah. Tuhan justru ditemui saat pulang, dalam ‘rumah’ (dirinya sendiri). Perjalanan kembali kepada Allah adalah perjalanan dari satu makam cahaya ke makam cahaya lain dari wujud keberadaan kita. Biasa disebut sebagai perjalanan “mati sebelum mati”. Perjalanan mematikan satu dimensi dari diri kita, lalu menghidupkan dimensi kita yang lain.

Karena kita makhluk cahaya, perjalanan ini mudah saja. Hanya perlu tau metodologi saliknya. Kalau kita kuasai, kita bisa menembus petala langit dan bumi, yang notabenenya juga dimensi cahaya. Bahkan, jika benar-benar larut/mengalami penyatuan dengan dimensi Cahaya yang lebih tinggi (yang disebut Ruhul Quddus/Cahaya di Atas Cahaya), kita bisa berada dimana-mana. Mengalami mukasyafah yang luar biasa.

Oleh karena itulah, tasawuf menekankan pentingnya proses mujahadah. Sebab, segala sesuatu ada dalam diri. Barangsiapa mengenal dirinya, dia akan mengenal Tuhannya. Semua ada disana. Disana terdapat “tanah” (adam yang tercipta dari pusaran kuark/cahaya). Baik tidaknya si adam, makrifat atau tidaknya manusia, tergantung pada proses pengolahan cahaya (Ruh/Asma Tuhan) dalam dirinya. Karena cahaya adalah penggerak elemen materi, saya menyebutnya sebagai “ruh/jiwa” (wujud substansial manusia, sesuatu yang ditiup/berhembus/hidup/bergerak secara alamiah dalam diri kita).

Dulu, manusia dipercaya tercipta dari tanah. Sekarang, keyakinan semacam ini, bukan ditolak, tapi harus di upgrade. Sebab, Islam yang hakiki adalah Islam metodologis (tariq). Ada jalur pembuktiannya. Yaitu Islam yang bergerak sesuai spirit dan ilmu pengetahuan zaman. Kalau ilmu alam dan biologi 1400 tahun silam tidak kita up-grade, keislaman kita akan ketinggalan dinamika sains dan pengetahuan. Kalau masih berkutat dengan pengajaran teks kitab-kitab klasik sebagai satu-satunya kebenaran, kemungkinan kita akan terus stagnan. Semua itu tetap diperlukan sebagai basis pengetahuan. Namun harus di upgrade.

Bukan bertujuan merubah Alquran. Tapi mengup-grade cara kita memahami Alquran. Kurun 1400 tahun itu sudah terlalu lama. Tafsir-tafsir klasik perlu “direvitalisasi”. Sudah berapa nabi seharusnya di utus untuk kembali memberi petunjuk kepada manusia. Kita sudah tidak punya nabi lagi. Tapi mujaddid (imam, wali, ulama, leader) dalam kuwalitas serupa dan tujuannya juga untuk “memperbaharui” (meng-upgrade pemahaman dan metodologi beragama) selalu ada.

Karena itu, istilah “kembali ke sunnah” perlu diwaspadai. Jangan sampai kembali membawa Islam pada kejumudan tekstual, atau kepada peniruan fisikal semata. Itu budaya materialistik. “Gerak hijrah” yang harus kita perkuat adalah gerak cahaya (ruhaniah), gerak yang membuat kita semua mampu kembali bersua dengan Allah SWT sejak hidup di dunia. Hanya dengan gerak cahaya umat Islam mampu kembali menemukan berbagai kecerdasan subtansial (wahyu/ilham) sesuai konteks zaman.

Pertanyaan Penutup: Manusia itu Apa?

Karena manusia adalah “makhluk multidimensi”. Pada level sederhana, kita ini “adam”. Murni tanah. Kalau memilih hanya menjadi makhluk tanah, kita akan kembali ke jaman purba. Hidup secara natural tanpa peradaban sama sekali.

Namun, di dalam tanah ada berbagai unsur emosi yang membuat kita menjadi lebih manusiawi. Termasuk unsur “api”, yang terkadang suhunya meninggi; sehingga manusia jadi angkuh, gelisah dan was-was. Maka jangan suka menunjuk orang lain sebagai iblis. Sebab, iblis adalah diri kita sendiri. Untuk itu perlu mujahadah, agar iblis ini bisa dilawan/dikontrol. Seperti kata Nabi SAW, musuh paling nyata dan paling besar  adalah iblis dan setan, dan itu ada dalam dimensi panas (api) pada diri kita. Mana ada makhluk lain. Kitalah iblis dan setan yang suka melawan Allah itu; yang dalam aneka cerita digambarkan bertanduk, berjiwa fasik dan buruk rupa. Wujud ruhaniah kita yang suka membangkang Allah memang begitu.

Lalu, pada wujud ruhaniah lebih tinggi, kita adalah “cahaya”. Apalagi ketika cahaya ini telah disucikan (telah mengalami proses tazkiyatun nafs), energi cahaya/akhlaknya menjadi lebih positif dan berpower. Disini kita bisa paham, sebenarnya malaikat itu siapa. Malaikat adalah sosok yang mampu berbicara atas nama Allah dan yang keluar dari mulutnya adalah wahyu semua. Malaikat adalah wujud yang bisa terbang sampai ke langit (gradasi cahaya) ke-7. Malaikat adalah makhluk yang suci dan maksum. Malaikat adalah figur yang qalbunya terus bertasbih/berzikir pagi petang kepada Allah. Siapa dia? Dialah (Nur) Muhammad dan orang-orang yang mewarisinya. Orang, dalam dimensi cahaya.

Maka benarlah. Allah telah menciptakan kita dalam dimensi yang sempurna. Kita makhluk tertinggi, tercipta dalam “rupa”-Nya. Kita bisa memilih menjadi apa: menjadi binatang (makhluk yang melata bumi), menjadi iblis (api pembangkang) atau menjadi malaikat (cahaya ruhaniah yang sangat patuh kepada Allah). Atau mungkin mau lebih tinggi dari itu? Sebab, sebagaimana dikisahkan dalam peristiwa mikraj, perjalanan seorang cucu Adam seperti Muhammad bisa melampaui grade malaikat. Muhammad bin Abdullah, yang notabenenya adalah basyar (makhluk biologis), bisa berada pada makam insan kamil; yang malaikat pun tidak bisa sampai kesana. Pada makam face to face (menyatu wajah) dengan Allah.

Agama harus terus di upgrade, dari dominasi mazhab material ke mazhab cahaya. Sebab, Alquran itu esensinya juga bukan lahiriah kertas dan tulisan. Melainkan cahaya, yang menjadi inti dari gerak dan power. Islam juga begitu. Wujud kita juga begitu. Kita harus sampai kepada kesadaran sains metafisis Cahaya, sekaligus menguasai metodologi untuk mengaktivasi dimensi iluminatif (isyraq) dari diri kita. Untuk masuk ke dimensi ini, kita tentu harus kembali belajar/berguru.

Yang lebih urgen, keimanan kita tentang malaikat harus di upgrade. Jangan lagi dipahami hanya dalam nama dan atribut fungsi, ataupun dalam bentuk makhluk-makhluk karikatif imajinatif (dongeng) lainnya. Wujudnya harus aktual. Agama yang benar adalah agama yang diketahui dan dialami secara pasti, seperti pengalaman para nabi.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

BACA JUGA: “Ruh”, Artinya “Jiwa” atau “Jibril”?

💥 powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web:
 saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG@saidmuniruddin

One thought on “SUDAH 1400 TAHUN, AGAMA HARUS DI UPGRADE

Comments are closed.

Next Post

SUBSTANCE OVER FORM

Thu May 26 , 2022
“Jurnal Pemuda […]

Kajian Lainnya