SUBSTANCE OVER FORM

Wulan Guritno saat mengikuti Tour de Aceh, Senin (16/5/2022)

“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 33 | Mei 2022


SUBSTANCE OVER FORM
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Agama memiliki dua sisi: “substance” (isi dalam) dan “form” (tampilan luar). Ada ulama yang terfokus pada substance (umumnya ulama sufi). Ada juga yang terkonsentrasi pada form (umumnya ulama fikih/syariat).

Pada kasus orang yang memakai celana pendek saat olah raga misalnya, ulama syariat meributkan ini. Karena “form” dari apa yang mereka lihat dianggap berdosa menurut konsepsi rules of the games kitab-kitab yang mereka punya.

Sementara, ulama yang fokus pada sisi batin kemanusiaan, pandangan mereka tidak begitu tertuju pada celana pendek manusia, apalagi saat olah raga, sejauh itu tidak mengganggu keamanan/maslahat masyarakat. Konon lagi, batasan aurat juga debatable antar ulama. Ada yang percaya itu hanya sebatas baju kurung longgar ala Melayu. Ada juga yang memaksa jenis burqa ala Taliban, yang mata sekalipun tak terlihat lagi dimana. Saya tidak tau, anda berada pada level keyakinan mana dalam hal aurat. Saya tidak mau membahasnya. Ahli tafsir terbaik Asia Tenggara sekalipun, semacam Quraish Shihab, kena buli setengah mati. Gara-gara mengupas jilbab versi substantifnya.

Dalam perspektif agama yang bernilai substantif, ibu dan nenek kita dulu rata-rata terbuka kepalanya. Buka kembali album-album lama. Paling tidak, kalau ditempat publik, mereka hanya memakai sehelai ija sawak (selendang) untuk sekedar terlihat sopan dan mulia; walau rambutnya masih ada yang nampak terurai. Saya kira nenek moyang kita tidak bodoh-bodoh kali lah dalam memahami agama.

Dan tidak ada ulama zaman dulu yang meributkan itu. Apalagi sampai ada yang mengejar-ngejar perempuan untuk dibotakin akibat tidak memakai jilbab versi sekarang. Sebab, mereka terfokus pada “substance”. Masalah style disikapi secara baik dan arif. Asal jangan terlalu seronok apalagi telanjang, melebihi standar kepatutan lokal. Kalau sekedar compang camping, paling itu dianggap sakit ataupun gila.

Maksudnya, sekarang, jika ada Gowes yang menghadirkan artis yang terlalu fashionable (berbaju ketat sampai berusaha menonjolkan sesuatu), anggaplah itu bagian dari kelompok kurang waras itu. Kurang arif dengan norma lokal. Tapi artis itu rata-rata memang sakit jiwanya. Kalau tidak sedikit buka-bukaan, tambah sakit mereka. Anda harus paham itu. Kita yang sakit biasanya juga suka meniru gaya hedonis orang-orang sakit ini. Makanya, kalau jadi panitia sebuah acara, janganlah menghadirkan orang-orang sakit dari ibukota. Banyak orang sehat yang bisa kita undang. Tapi lagi-lagi, ya begitu. Panitia juga paham, tidak mungkin mengundang Ustad Abdul Somad untuk pembukaan Gowes. Tidak menarik.

Urusan baju, itu mudah memancing keributan. Khususnya di daerah yang kental dengan “form keislaman. Apalagi, belakangan, ustadz yang terfokus pada “form” makin ramai. Khususnya yang menggandrungi wahabisme, sangat kental dengan pola beragama yang rigid ini. Alam pikiran umat teradikalisasi dengan cara ini. Semua form yang terlihat, apalagi kurang teks (dalil), menjadi sasaran kritik. Pada level awal akan dibid’ahkan. Seterusnya akan dikafirkan. Kita sedang menghadapi gelombang beragama model ini.

Konon lagi, sekolah-sekolah keagamaan yang mengajarkan “form” telah tumbuh lebih pesat dari institusi agama yang mendidik “substance”. Walau ada kecenderungan ke depan gerakan “substance over form” mulai menguat kembali. Sebab, kalau fokus ke form, memang selalu saja ada yang salah. Kami sebagai dosen misalnya, kurang titik sekalipun, itu skripsinya bisa kami anggap salah besar. Satu titik bisa jadi masalah, dalam perspektif form. Apalagi yang lain. Sementara, dalam gaya penulisan kreatif tertentu, tidak sesuai format EYD sekalipun, itu tidak menjadi persoalan. Asal substansi dan konteksnya jelas.

Artinya begini. Jangan heran jika dulu orang tua kita banyak yang tidak berjilbab, dan itu dianggap biasa. Bukan dosa. Kemudian zaman berputar, muncul gerakan syariat yang memaksa semua perempuan untuk menutup rapat kepala, dan ini dianggap paling syar’i. Ke depan, percayalah, zaman akan berputar kembali ke era sebelumnya. Sekedar berselendang pun nanti akan dianggap sudah sangat beragama.

Saya bukan anti syariat. Saya dukung “substance”, juga “form”. Walau bentuk sempurna keduanya jarang terjadi. Dalam akuntansi sekalipun, kebetulan kami pengajar ini, sekarang mengarah ke paradigma “substance”, setelah lama terjebak dalam “form”.

Saya cuma khawatir, disaat Elon Musk sudah begitu emosional untuk membangun teknologi penerbangan antar planet dengan SpaceX nya; kita di Aceh masih menghabiskan anggaran dan perhatian untuk urusan celana pendek laki-laki dan aurat perempuan. Bukan tidak penting. Semua penting. Tapi ya begitulah. Terserah anda lah!

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

💥 powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web:
 saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG@saidmuniruddin

One thought on “SUBSTANCE OVER FORM

  1. Indeed the actions performed by a person ..be it in Substance or Form – Including all thoughts & emotions are all products of his own Natural Composition 🙂

Comments are closed.

Next Post

ZURICH, BERN DAN AARE; FENOMENA EROPA YANG DAMAI TAPI GANAS

Sun May 29 , 2022
“Jurnal […]

Kajian Lainnya