DUA BENTUK “JAHIL”


“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 41 | Juni 2022


DUA BENTUK “JAHIL”
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Agama adalah jalan untuk kembali kepada Tuhan, setelah kita merantau terlalu jauh. Namun tidak semua orang menerima keberadaan Tuhan. Pun yang mengaku sudah beragama, tidak semuanya mampu kembali terkoneksi dengan Tuhan. Dua hal ini adalah bentuk “kejahilan” (kebodohan) yang umum dialami manusia. Para nabi hadir untuk menuntun manusia keluar dari kebodohan semacam ini.

***

Pertama, “atheist“. Mereka tidak percaya kepada adanya Tuhan. Ini bentuk bodoh yang pertama. Jangan berfikir bahwa orang-orang ini betul-betul bodoh. Tidak. Justru mereka ini pandai-pandai. Begitu pandainya, sehingga mereka tidak percaya kepada adanya Tuhan. Orang-orang ateis (agnostis) ini punya logika yang kuat, bahwa Tuhan itu tidak ada. Banyak sekali tokoh besar dunia yang tidak beragama, tidak percaya kepada Tuhan. Tuhan dianggap sebagai dongeng orang-orang beragama. Tak pernah bisa dibuktikan Dia ada dimana dan seperti apa.

Mengutip data World Population Review (2021); dari total 7.5 milyar populasi dunia, sekitar 1.1 milyar manusia berada pada kategori bodoh (jahil) ini. Tidak tanggung-tanggung, angka ini menjadikan kelompok ateis sebagai ‘agama’ ketiga terbesar setelah Kristen (2.3 milyar) dan Islam (1.9 milyar).

Kedua, “common believers“. Mereka sudah mulai percaya kepada adanya Tuhan. Tapi juga masih dalam kategori “bodoh”. Karena secara teoritis percaya, namun tidak sampai pada kemampuan untuk menjangkau-Nya. Ini adalah kelompok umumnya agamawan kita. Artinya, Tuhan itu diyakini ada. Tapi tidak terkonek, tidak akrab dan tidak pernah menyatu dengan-Nya. Kita tidak merasakan kehadiran-Nya secara langsung. Juga tidak mampu berkomunikasi secara efektif dengan-Nya. Seringkali kita melahirkan fatwa-fatwa tanpa berkonsultasi terlebih dahulu secara langsung dengan Allah SWT. Ini bentuk bodoh (jahil) kedua. Bertuhan. Tapi masih berjarak, tidak sampai mengenal atau “wushul” (berjumpa/terhubung) dengan-Nya. Hampir semua kaum beriman berada pada level bodoh ini. Jumlahnya banyak sekali. Kecuali sedikit, “illa qaliila.” Yaitu para nabi dan wali-walinya.

***

Para nabi hadir untuk memberitahu manusia, bahwa Tuhan itu bukan hanya sekedar ada, bahkan bisa ditemui. Nabi datang untuk memberantas “mulhid” (ateisme) sekaligus “musyrik” (beriman, namun penuh imajinasi kepada objek-objek yang dikiranya Tuhan, alias tidak “wushul” kepada ilah yang asli).

Kalau kita lihat sejarah para nabi, mereka tidak begitu berhadapan dengan ateis. Yang dihadapi justru orang-orang yang sudah taat beragama. Bahkan dari alim agamanya sendiri.

Nabi Isa as, yang dihadapi adalah kejahilan kaumnya. Khususnya ulama-ulama Yahudi yang sudah hafal isi Taurat. Tapi, sekalipun disebut ulama (rahib/pendeta), tetap saja “jahil” (bodoh). Sebab, mereka tidak punya kemampuan berbicara/berkomunikasi (wushul) dengan Tuhan. Artinya, agama sudah pada level perseptif terhadap isi kitab an sich. Agama sudah tereduksi pada hasil pengayaan akal, bahkan akal-akalan. Bukan lagi hasil gerak interaksi dan bimbingan langsung dari Tuhan.

Nabi Muhammad juga begitu. Yang dihadapi juga kaum dan saudaranya sendiri. Sama-sama berjenggot dan berjubah. Orang-orang yang juga rajin melakukan thawaf di Kakbah setelah jualan di pasar Mekkah. Artinya, mereka juga masih menganut ajaran Ibrahim atau nabi-nabi sebelumnya. Mereka juga percaya kepada Allah, malaikat, dan lainnya. Namun disebut “jahiliah”. Kenapa?

Karena putus kontak dengan Allah. Ketika seseorang putus kontak dengan Tuhannya, ia akan beragama menurut persepsinya. Orang yang putus kontak dengan Allah akan hidup menurut interpretasi terhadap doktrin-doktrin. Dengan demikian, level beragama jatuh ke tingkat akal, bukan lagi “ilham/wahyu”.

Maka, agama selalu di upgrade oleh Tuhan. Harus selalu ada sosok pembaharu, yang bertugas mempurifikasi agama dan jiwa manusia. Dengan demikian, orang ini adalah seorang khalifah dengan kemampuan menerima pesan-pesan dari Allah. Allah tidak mau semua orang sibuk dengan buku/kitab, lalu melupakan Tuhan. Ia memerlukan seseorang yang selalu dapat diajak berbicara. Yang dicari Tuhan adalah orang “cerdas”. Orang yang dapat diajak berdiskusi dengan-Nya. Sehingga, ia menjadi pesuruh-Nya. Geraknya maksum, karena senantiasa diarahkan Tuhan. Orang inilah “kitab” yang asli, “Quran” yang sebenarnya. Karena isi dalamnya adalah gerak dari firman Ilahi (logos/sunnah). Tuhan yang bertajalli.

Begitu langkanya orang-orang seperti ini. Sehingga dipercaya sudah tidak ada lagi. Karena langkanya, kehadirannya pun bisa ditolak. Kalaupun ada, dengan berbagai bukti yang dibawa dari Tuhannya, orang- orang ini akan dianggap sebagai tukang sihir. Semua nabi ditolak kehadirannya. Muhammad, Isa, Musa dan sebagainya itu; mengaku diri sebagai “utusan Tuhan”. Mengaku semalam telah berbicara dengan Tuhan. Mengaku tadi pagi ketemu malaikat. Mengaku barusan mendapat pesan dari langit. Entah apa-apa pengakuannya. Kalau di dengar, mirip orang gila yang sedang berbicara. Karena yang dibicarakan adalah sesuatu yang dipercaya tidak mungkin terjadi. Sebab, menurut orang-orang jahil ini, mana mungkin berbicara dengan Tuhan. Mana mungkin bisa berjumpa malaikat Tuhan.

Kalau hari ini ada seorang Wali Tuhan berbicara hal yang sama, pasti juga akan di bully. Dianggap gila. Sebab, banyak orang gila juga bicaranya begitu. Makanya, pengalaman spiritual tidak begitu layak dibicarakan di depan publik. Sebab, yang dihadapi orang-orang awam (jahil). Mereka telah menjadikan Tuhan sebagai legenda. Ada, tapi tidak pernah bisa diajak berbicara.

Padahal, dalam ilmu tasawuf dikenal berbagai terminologi “interaksi langsung” dengan wujud-wujud ruhaniah (termasuk Allah dan Rasulullah) seperti “muraqabah” (kehadiran), “yaqazah” (keterjagaan) dan lain sebagainya. Ini semua perangkat teknologi spiritual yang telah dibuktikan efektifitasnya oleh para nabi. Yang mewarisi skill dan pengalaman ruhaniah ini, itulah “waris nabi”.

Mereka yang mewarisi kedalaman spiritual ini disebut sebagai orang-orang yang telah mencapai “makrifat” (enlightened, dalam Hindu/Budha disebut moksha), terbebas dari jahiliah. Sehingga geraknya selalu dibimbing Allah. Karena sinyal-sinyal ketuhanan telah bersemayam (hudhur) dalam qalbunya. Tujuan nabi dihadirkan ke muka bumi, hakikatnya untuk mengajarkan makrifat, membebaskan manusia dari aneka bentuk jahiliah. Baik dari ateisme, maupun dari keyakinan buta dalam beragama.

Maksud “buta” adalah, kita percaya Tuhan itu ada. Namun kita tidak mampu “mendengar”-Nya berbicara (tuli), tidak mampu “berbicara” dengan-Nya (bisu), dan tidak mampu “melihat”-Nya (buta). Summun bukmun ‘umyun fahum la yarjiun (QS. Al-Baqarah: 18). Sehingga, kita selalu bergerak menurut tafsir dan persepsi. Bukan menurut kemauan langsung Tuhan. Memang harus disadari, kita ini memang jahiliah (dari ini lahir sifat-sifat jahe lainnya: musyrik, kufur, angkuh, tamak, korup, dsb). Perlu usaha untuk mencapai makam makrifatullah, agar ruhani menjadi cerdas. Sehingga mampu mengenal dan menyerap akhlak Allah.

Betapa banyak kejahatan dilakukan oleh orang-orang yang tidak beragama. Pun tidak sedikit kejahatan dipraktikkan oleh kita kaum agamawan. Karena keduanya masih jahil. Otaknya cerdas. Paham agama. Tapi jiwanya belum tersucikan, sehingga gerak perilakunya tidak teriluminasi oleh kehadiran Tuhan.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

💥 powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web:
 saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG@saidmuniruddin

Next Post

MUNAJAT QURANI

Fri Jun 24 , 2022
MUNAJAT […]

Kajian Lainnya