ISLAM ZAHIR DAN BATIN


“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 45 | Juli 2022


ISLAM ZAHIR DAN BATIN
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Segala sesuatu memiliki dua dimensi: (1) jasad/bentuk dan (2) batin/Ruh. Kalau “bentuk”, itu sifatnya mati (duniawi/baharu). Sedangkan “Ruh” sifatnya hidup (ukhrawi/baqa). Bentuk akan hidup ketika terisi oleh Ruh. Namun keduanya adalah citra dari kesempurnaan Tuhan. Saling melengkapi.

Alam semesta adalah “bentuk”-Nya. Lukisan atau goresan-Nya. Bentuk yang lahir dari-Nya. Semua berasal dari-Nya. Tidak ada yang tidak berasal dari-Nya. Kalau bukan dari-Nya, lalu dari mana datangnya? Hanya saja, alam semesta ini berada dalam bentuk lahiriah (mati). Tapi ada Ruh yang membuatnya terus hidup dan berkembang. Alam semesta punya dimensi zahir (bentuk/jasad) sekaligus batin (Ruh). Alam semesta bukan Tuhan. Tapi Ruh yang tersembunyi, yang membuatnya hidup, yang meliputi, mencakup dan melekat bersamanya; adalah Tuhan itu sendiri. Kalau ada yang menganggap alam ini sakral, semata-mata karena ada Ruh yang menyertainya.

Manusia juga begitu. “Bentuk/jasad”-nya bukanlah Tuhan. Karena sifatnya mati. Itu adalah “diri”. Namun Ruh Tuhan yang mengisi bentuk, apakah itu bukan “Diri”-Nya sendiri? Memang cahaya yang lahir dari matahari bukanlah matahari. Begitu juga bentuk lahiriah kita, bukanlah Tuhan. Tapi bukankah cahaya matahari tidak terpisah dengan matahari? Bukankah bentuk juga emanasi dari sang Wujud? Sebab, Tuhanlah yang memberi sekaligus menggerakkan bentuk. Segala bentuk berasal dari-Nya. Segala sesuatu merupakan cahaya, replika, limpahan, tajalli-Nya. Allah adalah cahaya langit dan bumi. Semua berasal dari ilmu-Nya. Semua terlahir (menzahir) dari-Nya.

Al-Quran juga begitu. Yang tertulis di layar android, kertas, kulit, tulang dan kayu; adalah “bentuk”-Nya yang mati. Yang hidup adalah Ruh-Nya, batin Dia yang bersemayam di dalam ayat-ayat itu. Ayat (baik kitabi, afaqi maupun nafsani) adalah “tanda”, atau bentuk mati dari yang Maha Hidup. Kalau sebuah ayat memiliki Ruh, barulah menjadi mukjizat. Tanpa Ruh, ayat akan kehilangan mukjizat. Yang ditakuti iblis/setan bukan tulisan atau bacaan ayat, melainkan Ruh yang mampu anda hadirkan bersamanya. Yang membangun peradaban juga bukan jenis Alquran (teks) mati. Tapi “Kitab yang hidup”, Ruh yang hadir pada para pembawa ayatnya. Ahli kitab; itu menenteng kitab, hafalan dan tafsirnya kemana-mana. Tapi yang membuat perubahan tetap para Ruhullah (nabi/rasul), yang bahkan tak mengenal teks suci.

Syariat juga begitu, semuanya “bentuk” mati dari agama. Cara baca, kaidah huruf, model gerak, dan sebagainya; mati semua itu. Kecuali ada Ruh yang menyertainya. Ruh itulah yang menghidupkan segala ibadah, sekaligus menyambungkan kita dengan Allah. Tanpa Ruh, ibadah kita akan mati, terkubur dan terkatung-katung di bumi. Pada dasarnya semua kita mati. Kecuali mereka yang telah mampu menghidupkan Qalbu. Sehingga jiwanya menjadi hidup dan benar-benar terjadi dialog secara “langsung” dengan-Nya.

***

Benar. Tuhan dikatakan tidak berbentuk, dalam artian Ruh/Batin-Nya. Tapi Ruh itu mengisi bentuk-bentuk. Sehingga yang batin memiliki berbagai wujud lahir. Bahkan wujud lahir itupun berasal dari-Nya. Sehingga, bagi kaum Arif, segala sesuatu terlihat sebagai penampakan-Nya. Ada jejaknya dimana-mana. “Kemanapun engkau menghadap, ada Dia”. Alam semesta dan manusia adalah wujud dari Asma dan kekuasaan-Nya. Dari bentuk itulah kita dapat mengenalnya. Apalagi ketika bentuk-bentuk ini (khususnya pada diri para nabi dan wali-waliNya) terisi vibrasi aktif Ruh-Nya, sehingga menjadi wasilah yang dapat membawa kita secepat kilat kepada-Nya. Begitu terangnya keberadaan Allah, maka mustahil kita tidak menjumpai-Nya. Apalagi ketika lokus cahaya dan keberadaan-Nya menzahir nyata pada para Kekasih-Nya. Seperti kata Sayyidina Ali, “Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak aku lihat”. Itulah makrifat, mampu menyaksikan-Nya secara lahir dan batin.

Agama mengatakan, “Siapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya”. Diawali dari menemukan wujud atau “bentuk-bentuk mati” (ingat kisah Ibrahim menemukan bintang, matahari, bulan). Selanjutnya akan membawa kita kepada yang Maha Hidup. Ini berlaku bagi para pembelajar atau penempuh jalan (salik). Ada makam (stages) yang akan dicapai; dari bentuk-bentuk mati sebuah keadaan, kepada bentuk-bentuk lain yang Hidup. Dari menemukan wajah-wajah manusia biasa (nabi/wali) yang sifatnya baharu; sampai kepada menyaksikan Dzat yang kekal dibalik itu.

Maka dalam tradisi sufi dikatakan, “Allah itu Batinnya, Muhammad itu Zahirnya”. Muhammad itu bukan Tuhan. Tapi ada Tuhan bersamanya. Bahkan semua omongannya adalah omongan Tuhan. Setiap geraknya pun bernilai ketuhanan (suci). Karena dia telah dipinjam sebagai ‘bentuk’-Nya, maka Allah pun tak segan-segan bersholawat kepadanya. Bahkan Tuhan pun meminjamkan Nama kepadanya: “Ana Ahmad bi la mim” (Aku Ahmad tanpa huruf mim, “Ahad“). Kedua nama itu, Allah dan Muhammad juga disanding dimana-mana. Bukan bermakna kita ikut menyetarakan antara keduanya. Tapi itulah hubungan wujud dengan bayangan. Bayangan bukanlah Wujud. Tetapi si bayang akan bergerak sesuai gerak Sang Wujud.

Kita tentu tidak menyembah Muhammad SAW. Kita tidak menyembah wujud-wujud mati (zahir/baharu) dari itu semua. Sebagaimana malaikat, tidak sujud kepada “bentuk” dari Adam, karena itu berhala. Bisa syirik. Kita hanya sujud kepada sesuatu yang Hidup dibalik itu, kepada Tuhan/Ruh yang dibawanya. Ini sama dengan simbolisasi Kakbah dalam ritual ibadah kita. Kita tidak rukuk dan sujud kepada “patung” Kakbah yang tidak memberi manfaat itu. Saat thawaf, kita tidak sedang berkeliling dan mencium dinding batunya. Melainkan al-Ruh yang ada dibaliknya. Makanya diriwayatkan, Kakbah petak itu pun punya batin/wujud hidup tersendiri, yang disebut Baitul Makmur. Tempat dimana malaikat dan dimensi ketuhanan berada.

Beragama harus lahir, sekaligus batin. Harus bersyariat, sekaligus berhakikat. Harus memiliki bentuk, sekaligus terhubung dengan Ruh. Kalau hanya memiliki bentuknya saja, agama akan menjadi berhala, kehilangan dimensi yang hidup (mukjizat). Kita semua pada hakikatnya adalah makhluk spiritual, yang mengendarai fisik. Esensinya dari semuanya adalah Tuhan (divine spiritual/Ruh), yang hadir pada berbagai wadah (bentuk-bentuk ciptaan). Ruh yang menempati bentuk. Tanpa itu, semua menjadi berhala.

Islam yang kaffah (sempurna/berpower) adalah Islam zahir sekaligus batin. Islam terdiri dari bentuk-bentuk duniawi yang bernilai profane, tapi sacred (berisi Ruh). Beragama pada dasarnya adalah usaha menemukan kesakralan pada segala yang profane. Menemukan yang Maha Gaib pada sosok-sosok yang nyata. Menemukan Allah pada manusia-manusia utusan-Nya, dan pada ulil amri penerusnya. Beragama adalah ikhtiar menemukan Allah di bumi, sebagai jalan untuk sampai kepada Dia yang langit. Walaupun langit dan bumi sebenarnya satu jua, tak terpisah dia (Ahad).

Segala sesuatu pada esensinya adalah manunggal. Kesadaran rendah manusia saja yang membuat segalanya teralienasi dari Tuhan, termasuk diri kita. Dzikir adalah jalan untuk kembali menyatukan kesadaran macro dan microcosmic ini. Bahkan, ketika kita sadar bahwa Ruh dan jasad kita keduanya adalah (milik) Tuhan semata, sama sekali bukan kita; kita akan menjadi tiada. Artinya, yang ada secara total (absolute) hanya Dia. Disitulah awal dari lahirnya mukjizat pada diri anda!

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

💥 powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web:
 saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG@saidmuniruddin

Next Post

HAJI MAKRIFAH: FENOMENA MABRURNYA WUQUF 'ARAFAH

Tue Jul 5 , 2022
“Jurnal […]

Kajian Lainnya