HAJI MAKRIFAH: FENOMENA MABRURNYA WUQUF ‘ARAFAH


“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 46 | Juli 2022


HAJI MAKRIFAH: FENOMENA MABRURNYA WUQUF ‘ARAFAH
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Haji makrifah adalah fenomena mabrurnya wuquf saat di ‘Arafah.

Apa itu wuquf dan ‘Arafah?

Wuquf artinya “menahan diri”, “berhenti”, atau “diam”. Dalam Quran misalnya, ada tanda “waqaf”. Maknanya tempat berhenti saat membaca. Harta juga ada yang disebut “waqaf”. Pengertiannya adalah “pembekuan” harta, atau “menahan” untuk tidak melakukan tindakan atas suatu benda, untuk digunakan manfaatnya bagi kebajikan (sosial).

Wuquf saat berhaji juga begitu. Secara terminologis artinya “berdiam diri” di Padang Arafah. Ini salah satu rukun haji. Sebagaimana kata Nabi SAW: “Haji adalah (wuquf di) ‘Arafah”. Tidak ada haji tanpa wuquf di ‘Arafah.

الحجُّ عرفةُ , فمن اَدْرَكَ لَيْلَةَ عرفةَ قبلَ طُلُوْعِ الفَجْرِ من ليلةِ جُمَعٍ فَقَدْ تَمَّ حَجُّـهُ.

“Haji itu adalah (wuquf) ‘Arafah, maka barangsiapa yang mengetahui pada malam ‘Arafah, hingga menjelang terbitnya Fajar dari malam berkumpulnya para jama’ah, maka sungguh hajinya telah sempurna” (HR. Muslim)

“Makrifah” (‘Arafah), Sebuah Pengalaman Hakikat dari “Diam” (Wuquf)

Wuquf di ‘Arafah bentuknya sangat simbolik. Haji sendiri penuh simbolisme. Hampir seluruhnya mereplika alur sejarah spiritual Ibrahim as dan keluarga. Malah sangat melelahkan. Kecuali simbol-simbol itu telah dipahami. Sejumlah orang mampu mencapai bentuk replikatif dari pengalaman kenabian. Artinya, ada “rasa” yang diperoleh (enlightement) dari proses itu. Tapi itu tidak serta merta dialami. Ada pra-kondisi yang harus ditempuh sebelum ke haji. Yaitu, “penyucian jiwa” (tazkiyatun nafs).

Haji adalah puncak keislaman, atau perjalanan “berjumpa Tuhan”. Saat jiwa sudah “fitrah” (disimbolkan dengan baju putih ihram), disaat itulah kita ditunggu untuk diterima dan benar-benar diampuni oleh Allah. Kita hanya bisa menjadi tamu Allah kalau jiwa sudah dibersihkan. Sebab, tidak ada yang dibenarkan masuk ke Rumah-Nya dalam keadaan “kotor”. Dia hanya menerima jiwa yang telah menempuh jalan kesucian.

Itulah dulu mengapa, orang naik haji, umumnya sosok “spiritual” di kampungnya. Biasanya para guru dan ulama. Secara batin memang sudah siap bertemu Allah. Atau paling tidak, saat ke haji, mereka terlebih dahulu mengambil tariqah di berbagai tempat di tanah suci. Termasuk di Jabal Qubais (belakangan telah dihancurkan). Di tariqah ini mereka memperkuat “mukasyafah” (rasa kehadiran dan penyaksian al-Ruh al-Ilahi). Sehingga saat berhaji, bahkan sebelum dan sesudahnya, mereka telah mampu merasakan pengalaman-pengalaman “kehadiran” akan Rabb-Nya. Haji hanya salah satu puncak pengalaman lainnya, sambil secara fisik melakukan ziarah, menapak tilasi ritus nabi dan shalihin sebelumnya.

Agak berbeda dengan kita sekarang. Asal cukup uang, naik haji. Lalu di Tanah Suci mengalami berbagai hal, yang bahkan jauh dari rasa spiritualitas. Mirip-mirip di tolak oleh Allah. Saat “wuquf” menunggu Allah, yang hadir justru banjir dan angin ribut. Kira-kira begitu. Di ‘Arafah yang hakikatnya adalah “makrifah” (mengenal/berjumpa Allah), kita justru mengalami rasa gundah.

Wuquf adalah sebuah teknik spiritual kaum khawash. Kalau anda mengobservasi amalan kaum sufi, ada sebuah titik dalam proses dzikir panjang mereka (bisa berhari bahkan berbulan-bulan) yang menerapkan metode “diam”. Diam ini dilakukan pada fase jiwa “menunggu” kehadiran Tuhan. Untuk mencapai ini, wadah spiritual telah dipersiapkan jauh hari melalui mujahadah yang melelahkan. Apa yang dilakukan Muhamad di Hirak juga bagian dari “berdiam diri”, guna menyiapkan diri untuk menemui Kekasihnya. Semua nabi melakukan hal serupa. Tidak ada yang tiba-tiba jadi nabi. Semua telah melatih dirinya.

Ada sebuah momen dimana Dia kemudian “membuka pintu” dan menerima kita dalam Baitullah (Rumah-Nya). Ini akan menjadi pengalaman paling mengguncang. Sebuah pengalaman spiritual, dimana vibrasi kehadiran Allah benar-benar dirasakan secara aktual. Hati bergetar hebat, “.. wajilats qulubuhum”. Seluruh ego runtuh, menyatu dalam Keagungan dan Kebesaran-Nya. Bahkan Tuhan berbicara dalam qalbunya. Hal ini dialami para nabi, dan setiap umat nabi yang masih mewarisi metode wuquf.

Inilah puncak haji, “mengenal Allah” (makrifah). Seperti kata Nabi SAW: “Al-Hajj ‘Arafah”. Haji adalah perjalanan untuk mengenal/menemui Allah. Puncaknya dialami dalam “diam”, setelah lelah bermujahadah. Itulah hakikat wuquf dan ‘Arafah. Sejatinya, pengalaman ini tidak hanya dialami saat ritual haji. Pengalaman “makrifah” bisa dialami kapan pun dan dimana pun. Bahkan di rumah anda sendiri. Sebab, Allah ada dimana-mana, termasuk di kampung anda. Sebagaimana diungkap Hamzah Fansuri:

Hamzah Fansuri di dalam Mekkah
Mencari Tuhan di Baitul Kakbah
Dari Barus ke Kudus terlalu payah
Akhirnya ditemukan di dalam rumah

Syair ini juga mengungkapkan, bahwa Allah ditemukan (dimakrifati kehadirannya) dalam kesadaran qalbu, dalam rumah batin kita. Bukan di lantai Masjidil Haram. Bukan di tembok Kakbah. Bukan di padang pasir Arab, dan sebagainya itu. Bersihkan qalbu terlebih dahulu, maka engkau akan mengalami pengalaman haji (bertemu Allah) dimana pun berada.

Puncak dari haji adalah ‘Arafah (Makrifah). Ini puncak, sekaligus “awal” dari agama. Sebagaimana diungkapkan para ahli sufi, “Awaludin Makrifatullah”. Awal dari beragama adalah mengenal Allah. Makrifat dalam berhaji adalah bekal awal dalam mengurus berbagai sendi kehidupan di negeri ini. Haji bukanlah akhir/puncak dari keislaman. Melainkan awal dari langkah yang lebih benar dalam mengurus umat dan bangsa.

Itulah haji mabrur, haji makrifat. Hajinya orang-orang yang benar-benar telah diundang oleh Rasulullah, dan betul-betul diterima di Rumah Allah. Haji mabrur adalah haji makrifah. Hajinya orang-orang yang disambut oleh Allah saat berwuquf di Padang ‘Arafah. Haji mabrur adalah hajinya para peziarah yang berhasil menjumpai Allah, dan pulangnya membawa Allah untuk ikut serta dalam setiap gerak muraqabah perjuangannya.

Begitu besarnya nilai haji dan makrifah. Sehingga lebaran Idul Adha bernilai jauh lebih agung daripada Idul Fitri. Bahkan takbirnya menggema sampai empat hari. Ada qurbannya pula. Qurban bermakna “dekat” (qarib). Banyak pengorbanan yang harus dilakukan agar kita menjadi dekat dengan Allah. Itulah makrifah, jalannya Ibrahim as, penuh dengan pengorbanan.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

💥 powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web:
 saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG@saidmuniruddin

One thought on “HAJI MAKRIFAH: FENOMENA MABRURNYA WUQUF ‘ARAFAH

  1. Terima kasih mas said, atas tulisannya. Sangat membantu.

Comments are closed.

Next Post

TUHAN, ANTARA ADA DAN TIADA

Sat Jul 9 , 2022
“Jurnal […]

Kajian Lainnya