WUJUD BATIN DAN PENAMPAKAN LAHIRIAH


“Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 51 | Juli 2022


WUJUD BATIN DAN PENAMPAKAN LAHIRIAH
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.

+ Bagaimana bentuk jiwa kita?

” Kita harus secara bertahap mengakui kepada diri kita sendiri, bahwa kebenaran keberadaan kita terpisah dari tubuh kita, dan akan tiba saatnya kita akan meninggalkan tubuh kita seperti pakaian.

” Tubuh ini fana tetapi jiwa kita akan tetap muda tetapi lebih dewasa.

” Dengan bentuk dan gambar yang telah kita buat untuk itu.

” Bagaimana bentuk jiwa kita?

(Dikutip dari IG: Panahian-Ir)

***

Bagaimana bisa, tubuh dan jiwa, dua hal berbeda; tapi bisa manunggal menjadi kita? Jiwa adalah jiwa (abadi). Tubuh adalah tubuh (baharu/mati). Keduanya sama sekali berbeda. Tapi kenapa bisa, yang abadi bersemayam pada yang baharu? Kok bisa menyatu antara keduanya?

***

Bagaimana bentuk jiwa?

Bagaimana bentuk air dalam botol? Ya, seperti botol. Ketika tidak ada wadah semacam botol, susah juga menggambarkan bagaimana bentuk air. Bahkan tidak ada bentuk. Sebab, bentuk memerlukan wadah.

Bagaimana bentuk udara di dalam balon? Ya, mengikuti bentuk balon. Ketika tidak ada dalam balon, susah juga menggambarkan bentuk udara. Sebab, tanpa wadah, udara tidak punya bentuk.

Lalu bagaimana bentuk jiwa? Ya, sebagaimana bentuk wadahnya. Tanpa wadah, tentu tidak tergambarkan bentuknya. Tidak serupa dengan apapun.

***

Karena itulah, Sang Wujud juga bisa diketahui, ketika hadir pada dimensi manusia (microcosmos). Ataupun ketika ia tanazzul (“turun”) ke dimensi semesta (macrocosmos). Yang Maha Batin tentu azalinya tidak berbentuk karena tidak bertempat, laitsa kamislihi syai-un; kecuali telah bertajalli (beremanasi) pada martabat cosmic (wadah zahir).

***

Begini. Ketika anda melihat manusia, anda tentu tidak melihat jiwanya, yang ada disitu. Kecuali anda kasyaf. Walau sebenarnya anda sedang melihatnya juga. Ketika Anda melihat alam ini, anda juga tidak melihat Tuhan yang meliputi itu semua. Kecuali anda kasyaf. Walau sesungguhnya anda juga sedang menyaksikan-Nya.

Lalu, bagaimana bentuk jiwa yang menempati manusia? Ya, pasti seperti manusia yang anda lihat itu. Cuma anda tidak bisa melihatnya. Walaupun sebenarnya anda sedang melihatnya.

***

Dari mana asal wujud/bentuk alam dan manusia?

Tentu tidak lahir dengan sendirinya. Melainkan ada blue print asalnya. Yaitu dari alam sebelumnya. Dari alam lebih tinggi. Dari alam ruhani. Ibnu Arabi menyebutnya alam mitsal, atau alam arketip. Di alam imajinal (Plato: idea) itu, semua sudah ada ukuran dan bentuk-bentuk (forma) potensialnya. Hanya saja belum aktual dalam wujud lahiriah jasmaniah. Kalau terus ditelusuri sampai ke atas, semua wujud/bentuk di alam ini “turun” dari khazanah pengetahuan-Nya, dari diri-Nya sendiri. Antara satu dengan alam lainnya, tidak ada ruang yang terputus. Saling tersambung. Seperti seberkas gelombang cahaya putih yang meluncur dalam sebuah bidang prisma. Memang terus melahirkan warna yang total berbeda/beragam. Tapi semuanya berada dalam satu kesatuan yang sama sekali tidak terpisah. Alam ini, antara alam ruhani dan jasmani, juga begitu. Menyatu. Gradasi Cahaya, dari Khalik sampai ke alam ciptaan (mahkluk) wujudnya tunggal, Ahad.

Alam arketip (mitsal) adalah alam ruhani yang paralel dengan alam jasmani. Karena itu, alam ini juga mengalami perubahan, atau dapat diubah. Berbeda dengan alam yang lebih tinggi di atasnya, yaitu alam al-a’yan ats-tsabitah (alam entitas tetap), itu sudah masuk ke alam kegaiban murni yang tidak bisa diketahui, tidak dapat dipengaruhi dan diubah lagi.

Para sufi masters, kalau ingin memperbaiki diri atau kaumnya, biasanya masuk ke barzakh ruhaniah ini melalui sebuah proses meditasi tertentu. Bentuk-bentuk arketip di alam inilah yang diperbaiki, sehingga nasib/taqdir/akhlak di alam materi menjadi berubah. Sebab, yang disebut akhlak adalah gambaran dari Khalik. Wujud “Khalik” (ruhaniah) dari diri seseorang itulah yang diperkuat, sehingga otomatis akhlaknya menjadi baik.

Bahkan ada yang lebih unik lagi. Ada sejumlah kisah tentang orang yang hidup kembali, setelah beberapa saat meninggal. Dengan pertolongan seorang wali, nyawanya masih bisa dinegosiasikan untuk dibawa kembali ke dunia materi. Sebab, perjalanan nyawa masih berada di alam ruhaniah awal (mitsal). Jika sudah masuk ke gerbang al-a’yan ats-tsabitah dan seterusnya, itu sudah sulit sekali dibawa pulang. Sebab, itu alam yang sudah susah untuk dipengaruhi. Itulah mukjizat para nabi. Mampu masuk ke alam ruhaniah untuk melakukan berbagai perubahan terhadap dunia fisik. Makanya, ada doa selama 44 hari ketika seseorang meninggal. Sebab, selama waktu itu, masih ada peluang bagi kita untuk “membantu” saudara kita yang sudah meninggal agar sempurna safar (perjalanannya) melalui transfer ruhani (doa). Apalagi jika yang berdoa adalah  spiritual masters. Sementara bagi seorang anak, doa tidak pernah terputus. Karena, setiap anak adalah replika dari orang tuanya. Ada DNA/Ruhani orang tuanya pada diri anak. Dan itu menjadi media teleportasi doa yang tidak pernah terputus.

Bahkan sebenarnya; kenduri, tahlil, samadiah dan do’a terhadap saudara kita yang sudah meninggal dapat terus kita lakukan setiap tahun. Sebab, kalau berpijak pada konsepsi kesatuan wujud, semuanya Satu. Kita semua tercipta dari satu jiwa, yang berada dalam satu Tuhan (nafs wahidah, QS. Al-Araf: 189). Jadi tidak ada yang memisahkan hubungan ruhaniah antar sesama, baik saat hidup maupun setelah mati. Berbeda dengan keimanan kaum secular muslem (religious materialism), yang meyakini keterputusan antar alam. Bahkan manusia dianggap terpisah dari Tuhan.

***

Jadi, mengacu pada gradasi wujud (kesatuan cahaya), kita semua adalah pinjaman bentuk-Nya. Tajalli-Nya. Kita semua bentuk yang tercetak dari patron/citra-Nya dari alam sana. Sebab, mana mungkin kita memiliki bentuk, kalau bukan dari Dia? Kita tidak punya bentuk mandiri. Aneka hal yang maujud dan menzahir di alam ini adalah manifestasi wajah-Nya. Dia menampakkan segala sesuatu dalam rupa-Nya. Semuanya berasal, terpancar atau bertajalli dari diri-Nya. Allah adalah cahaya langit dan bumi. Langit dan bumi adalah penampakan-Nya. Jadi, semuanya terhubung, tidak terputus dengan Dzat asal-Nya. Hanya saja terjadi bentuk emanasi  ke berbagai multiverse.

***

Pun tubuh kita, walaupun tubuh bukanlah jiwa; tapi tubuh adalah penampakan dari wujud arketip (alam mitsal) jiwa kita. Ada banyak alam yang lahir dari-Nya. Sebelum menzahir dalam wujud kita sekarang, kita punya wujud cetakan di alam sebelumnya (alam mitsal/arketip/alam ruh). Kita sekarang adalah wujud hasil pancaran/hembusan/pengembangan dari alam itu. Jadi, alam ini adalah wujud zahir dari arketip yang telah duluan ada, dari DNA atau nafas-Nya.

Kita semua merupakan pancaran yang berasal dari diri-Nya. Pada akhirnya juga akan kembali pada-Nya. Hanya saja, tubuh dan alam material sifatnya temporer, yaitu jenis wujud yang mendiami alam perubahan (mumkin). Oleh sebab itu, tentu akan binasa (fana). Artinya, kita secara “zahir” tidak benar-benar ada. Yang ada dan abadi hanyalah wujud batiniah kita. Artinya, yang benar-benar ada secara hakiki pada diri kita adalah Dia (Ruh) yang Maha Abadi, yang selama ini menyertai wujud lahiriah temporer kita.

***

Muhammad yang zahir adalah Muhammad bin Abdillah. Muhammad yang batin, adalah Allah. Muhammad yang batin adalah wahyu, sunnah, atau kemaksuman Allah. Sedangkan Muhammad yang zahir adalah makhluk biologis (basyariah).

Muhammad itu, zahirnya manusia. Batinnya Allah. Tapi, ingat. Muhammad dalam wujud material itu bukan Allah. Lalu dimana Allah? Allah adalah, yang ngomong melalui lisan Muhammad. Yang melempar dengan tangan Muhammad. Yang membunuh dengan fisik Muhammad.

Ingat. Adam (tanah) bukan Allah. Lalu yang mana Allah? Ya itu, Ruh yang di sujudi malaikat. Tentu malaikat tidak bodoh, mau sujud ke Adam. Malaikat itu makhluk paling pintar. Sujudnya hanya kepada Allah. Tapi dimana Allahnya? Ya, dimana ada Adam, disitulah ada Allah. Adam, dan juga Muhammad, adalah lokus kehadiran Allah. Keberadaan manusia suci adalah salah satu gradasi, wujud dari eksistensi Allah.

Begitulah adanya. Sehingga, nama “Allah” dan nama “Muhammad” selalu muncul bersama. Sebab, dimensi batin dan zahirnya tidak terpisah. Yang Awal dengan Yang Akhir, bertalian silsilah. Walaupun tak sama. Tapi disitu ada Dia.

Di masjid-masjid, nama Allah dan Muhammad selalu disejajarkan. Apa tidak musyrik itu? Ya, itulah sisa-sisa ajaran wujudiyah. Anda tidak bisa memisahkan Yang Awal dengan Yang Akhir. Yang Zahir dengan Yang Batin. Anda tidak bisa memisahkan Dia dalam rupa kekasih-Nya. Dua nama berbeda, yang hakikatnya Satu jua. Ahad adalah Ahmad tanpa “mim”.

“Asyhadu an-laa ilaha illa Allah” (Dia yang Awal/Dia yang azali/Dia yang batin/Dia yang tak serupa dengan apapun). “Wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah (Dia yang Akhir/Dia yang telah diutus ke alam hamba-Nya/Dia yang bertajalli). Islam yang benar adalah yang mampu menyaksikan Allah sekaligus Muhammad, atau Muhammad sekaligus Allah.

Jangan cari Allah yang Awal, tidak bakal ketemu. Karena Maha Misterius. Tidak berbentuk, tidak bertempat. Laitsa kamislihi syai-un. Cari Dia yang Akhir, otomatis anda akan sampai ke yang Awal. Karena yang Akhir adalah Wasilah. Tajalli. Buraq. Cahaya-Nya. Gelombang-Nya. Energi-Nya. Frekuensi-Nya. Dia yang Akhir adalah Dia yang telah hadir ke hadapan manusia. Dia yang engkau telah mampu menghadapkan wajah kepada-Nya.

***

Allah itu sederhana dan dekat sekali. Maha meliputi. Ada dimana-mana. Jangan dibuat rumit dan jauh. Tuhan yang rumit dan jauh adalah Tuhan kaum teolog. Begitu ribet dan misteriusnya Tuhan mereka, sehingga tidak tau mau dijumpai dimana. Tidak tau mau diajak ngobrol dengan cara apa. Tuhan menjadi tak tersentuh. Tak bisa ditemui. Tak bisa dirasa. Sementara, Tuhannya kaum sufi adalah Tuhan yang sederhana. Tuhan yang dekat. Lebih dekat dari urat leher. Mudah dijumpai. Bisa diajak berbicara, seperti yang dialami para nabi.

Bertuhanlah kepada yang bisa dijangkau dan mudah. Jangan bertuhan kepada yang susah-susah. Kehadiran para nabi adalah bukti dari sederhananya agama ini: Allah bisa dijangkau! Lalu kenapa anda membuat agama ini kembali menjadi rumit?

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web:
 saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG@saidmuniruddin

Next Post

MENYOAL KEISLAMAN FIR'AUN

Sun Jul 24 , 2022
Jurnal […]

Kajian Lainnya