TIGA HIRARKI PENGETAHUAN


“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 63 | Agustus 2022


TIGA HIRARKI PENGETAHUAN 
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Setiap agama punya approach (pendekatan) dalam mencapai pencerahan. Spiritualitas penganut dibangun melalui aspek tertentu. Kristen misalnya, itu agama “kasih”. Kaum Nasrani mengaitkan diri dengan Isa (Yesus) melalui “jalan kasih” atau “jalan cinta”. Tema-tema gereja dan gerakan kekristenan dibangun dalam kerangka ini. Bagi suku Sioux, spiritualitas dibangun dengan jalan “pengingkaran diri”. Sementara Hindu dan Buddha, untuk mencapai pencerahan, menggunakan metode “pengosongan diri”. Bagaimana dengan Islam?

Islam menekankan spiritualitasnya pada jalan “pengetahuan” (makrifat). Islam adalah agama pengetahuan. Ayat terawal yang diterima Nabi SAW menekankan hal ini. “Iqra” adalah jalan makrifat. Jalan (metodologi) menuju bentuk-bentuk pengetahuan yang mencerahkan.

“Iqra” bukan sekedar perintah membaca sesuatu yang tertulis (tekstual an sich). Sebab, tidak ada hal tertulis yang dibaca Nabi SAW saat menerima Surah Al-‘Alaq. Bahkan lebih jauh, “iqra” merupakan isyarah ragam metodologi yang harus dimiliki dalam pencapaian pengetahuan. “Iqra” adalah arahan untuk: (1) membangun hipotesis dan kerangka teori/konseptual, (2) mengobservasi wujud objek, (3) mengalami iluminasi/lebur dalam objek itu sendiri.

Aneka entitas yang ada di dunia fisika merupakan objek pengetahuan (ontologi) terendah dalam hirarki wujud. Sementara objek tertinggi ada pada wilayah alam metafisika (yang puncaknya adalah wujud Allah itu sendiri). Semua wujud, baik fisika maupun metafisika, menjadi objek riset dan pengetahuan dalam khazanah Islam. Melalui 3 metodologi pencapaian pencerahan (iqra) di atas, diharapkan dapat tercapai tiga bentuk keyakinan, pengetahuan atau makrifat.

Pertama, “Makrifat Ilmi”. Atau disebut juga “ilmul yaqin”. Yaitu pengetahuan yang meyakinkan, atau pengetahuan teoritis tentang sebuah wujud. Ini metodologi rasional-filosofis, yang mencoba mencerap sesuatu melalui nalar dan logika. Kebenaran hanya sebatas definisi-definisi, bahkan bersifat dugaan atau hipotesa. Kalau anda hafal nama-nama Tuhan, atau sifat-sifat Tuhan misalnya; itu sebuah bentuk “makrifat asma” (makrifat nama-nama, konseptual). Melalui makrifat ini, anda belum menemukan Tuhan. Melainkan mengetahuinya hanya pada level nama dan hafalan (otak/kognitif/akal/perseptual).

Kalau kita ibaratkan “api” sebagai kebenaran; maka pada tahap ini, anda hanya sekedar mendengar atau diberi tau bahwa api itu sifatnya panas, warnanya merah, kadar panasnya bisa mencapai angka tertentu, dan berbagai uraian teoritikal lainnya. Ini kebenaran (makrifat/pengetahuan) kelas “basic”. Begitulah pekerjaan mengaji dan menghafal berbagai kitab, sehingga anda tau banyak hal secara teoritis, itu levelnya sangat dasar. Harus di upgrade ke level selanjutnya.

Kedua, “Makrifat Syuhudi/Aini”. Pada level intermediate, kebenaran itu sudah harus dapat “dilihat” (observed). Anda bukan hanya lagi membaca dan mendengar ceramah tentang “api”. Tapi sudah harus melihatnya. Kalaupun wujudnya tak kasat, anda juga harus mampu menemukan gelombangnya. Level keyakinan naik ke ainul yaqin (penglihatan yang meyakinkan). Ini bentuk “makrifat penyaksian”. Syuhudi. Sudah lebih empirik. Namun, antara anda dengan objek wujud yang terlihat masih ada jarak. Artinya, selama masih berjarak, anda belum seratus persen mengetahui dan merasakan kebenaran itu.

Dalam hal ini; mengetahui cerita nasi goreng tentu sangat berbeda pemahamannya dengan orang yang pernah melihat nasi goreng. Sudah mampu melihat “cahaya”, itu juga jauh beda dengan orang-orang yang hanya sekedar berteori tentang cahaya. Tapi, cahaya itu juga hijab. Anda tidak sepenuhnya tau “cahaya” sebelum anda terbakar, masuk ke dalam atau menjadi cahaya itu sendiri. Anda tidak benar-benar tau nasi goreng, sebelum keseluruhan diri anda merasakan wujud itu. Anda harus mengkonsumsinya. Sehingga hadir “rasa” yang merupakan esensi dari wujud itu. Perumpamaan dengan Allah juga begitu. Selama masih ada jarak, dan Wujud itu belum lebih dekat dari urat leher anda, anda belum sampai kepada kebenaran yang meyakinkan. Ini membawa kita pada pengetahuan level ketiga.

Ketiga, “Makrifat Dzati”. Artinya, pada level advanced, kebenaran itu berbentuk “pasti” (haqqul yaqin, kebenaran yang meyakinkan). Anda sudah terbakar dengan api. Rasa makanan tercicipi, dan rasa enaknya hadir dalam tubuh. Anda tidak hanya lagi tau teori panas, teori nyala cahaya dan sebagainya. Anda sudah merasakan dan mengalami secara langsung dari keberadaan sebuah Wujud.

Pada level tertinggi, pengetahuan itu sifatnya “hudhuri”; telah hadir dalam diri, menyatu, terintegrasi, dan bahkan anda sendiri adalah pengetahuan itu. Tidak ada lagi jarak antara objek dengan subjek. Keduanya sudah lebur. Esensi wujud, getaran energi dan gelombangnya sudah ada dalam diri anda. Antara Qur’an dengan Muhammad, pada tahap ini, tidak lagi terpisahkan. Muhammad itu Qur’an. Qur’an itu Muhammad. Muhammad itu cahaya. Cahaya itu Muhammad. Lebih ektrim lagi dikatakan: “Allah adalah Ahmad tanpa mim”. Keduanya menyatu. Saling mengisi. Yang satu adalah bayang, ruh atau tajalli dari yang lain. Muhammad telah lebur dan kekal dalam Objek Pengetahuan. Ahad. Sehingga, Ia sendiri telah menjadi Pengetahuan. Apa yang ia katakan dan lakukan adalah seluruhnya Kebenaran (Haq). Tidak ada kesalahan apapun pada semua yang ia kerjakan dan katakan. Semuanya hukum. Kalam Tuhan. Hadis. Maksum.

***

Jadi, sekali lagi, Islam itu adalah agama dengan approach pada iqra, pada jalan/metodologi pengetahuan (makrifat). Sehingga dikatakan, awaluddin makrifatullah. Awal agama adalah pengetahuan (makrifat).

Namun, pengetahuan ini pun bertingkat: basic, intermediate dan advance. Dari sekedar tau lewat akal teoritis (ilmul yaqin), sampai menyaksikan dengan segenap potensi kemanusiaan (ainul yaqin), dan terakhir bahkan anda sendiri menjadi bagian dari wujud/kebenaran itu sendiri (haqqul yaqin). Dua metodologi pertama (ilmu dan ainul yaqin), itu umum digunakan oleh kelompok filsuf, teolog, fuqaha, mufassir dan ilmuan teoritis lainnya. Sedangkan metode haqqul yaqin (rabithah/penyatuan jiwa/iluminasi wujud), itu khas kaum sufi.

Untuk lebih jelasnya, kita ambil “suci” sebagai sebuah objek pengetahuan. Kalau “suci” itu hanya sebuah konsep di luar diri anda (eksternal), sebuah cerita khayali semata, maka “suci” itu hanya menjadi sebuah kebenaran yang bersifat teoritis (ilmu). Abstrak. Tidak terjangkau. Tidak aktual. Hanya ada di akal atau imajinasi Qur’an saja. Tidak ada wujudnya.

Jika anda sudah menemukan “orang suci”, anda baru sadar, ternyata wujud suci, itu ada. Bukan lagi cerita atau dongeng belaka. Kalau sudah pada level penemuan seperti itu, anda sudah berada di makam “ainul yaqin”. Suci itu bukan sekedar konsep. Melainkan, secara empirik ada wujudnya.

Nah, kalau anda semua telah menjadi “orang-orang yang telah disucikan -menjadi orang “suci” (QS. Al-Waqiah: 79);  itu bermakna, konsep suci telah terintegrasi dalam wujud kehadiran. “Suci” bukan lagi sebuah konsep atau teks ideal dalam Qur’an. Tapi telah memiliki Wujud. “Suci” telah terinternalisasi dalam diri, telah memiliki wadah untuk aktual. Manusia (atau Adam) merupakan wadah tempat aktualnya seluruh sifat atau “Nama”.

Disinilah letak “karamah” (mukjizat). Karamah itu wujud dari kehadiran Pengetahuan Ilahi. Artinya, manusia yang seperti ini telah menjadi wadah untuk bersemayamnya nilai-nilai yang agung dan luhur, yang turun langsung dari sisi Tuhan (laduniah). Al-Qur’an itu mukjizat, iya. Tapi coba perhatikan, yang memiliki/membawa mukjizat bukan kitabnya. Yang membawa mukjizat itu orangnya, orang yang dalam dirinya ada Alkitab. Jadi, yang dimaksud “mukjizat Alquran” adalah orang: para nabi, para imam, para wali (Alquran yang hidup dan berjalan). Mereka ini orang-orang yang telah mencapai pengetahuan level 3 (haqqul yaqin). Kebenaran (Allah, Kalimah, Firman, ataupun Asma-Nya) telah hadir dalam dirinya. Alquran yang maha batiniah (Ruh Al-Ilahi) telah menyatu pada sisi kesadaran ruhaniah mereka.

Untuk orang- orang ini Nabi berkata, “Kutinggalkan kepada kalian dua perkara, Alquran dan ithrahku. Keduanya terintegrasi, tidak akan berpisah sampai kiamat nanti” (HR. Ahmad, Muslim, Tirmidzi dan lainnya). Ini menandakan, kesatuan wujud antara Qur’an (objek) dan orang (subjek) itu ada. Orang-orang seperti ini dapat ditemukan baik pada ithrah biologis Nabi yang bertaqwa; maupun pada ithrah ideologis (guru-guru spiritual) yang ikut mewarisi Nur-nya.

PENUTUP. Jumlah profesor, doktor dan jenderal meningkat pesat. Orang alim dan tau kebenaran semakin banyak. Tapi tidak manunggal dengan kebenaran yang mereka ketahui. Semua perilaku jahat, zalim dan korup terjadi manakala tidak terintegrasinya objek dengan subjek pengetahuan. “Jujur” itu hanya teori eksternal belaka, tidak akan pernah mewujud dalam diri kita, selama objek kajian dengan si subjek yang mengkaji itu masih mengalami keterpisahan. Semua kejahatan terjadi ketika spiritualitas agama mengalami “separasi” antara subjek dengan objeknya. Alih-alih “integrasi”, Allah telah kita jadikan sebagai sosok Dewa yang sedang duduk di singgasana, jauh di langit sana. Bukan lagi sesuatu yang immanent dalam diri kita. Sehingga akhlak-Nya tidak pernah menzahir dalam perilaku berbangsa dan bernegara.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

💥 powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Suficademic
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web:
 saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG@saidmuniruddin

Next Post

UNIVERSALITAS SUFI

Tue Aug 23 , 2022
“Jurnal […]

Kajian Lainnya