KEPADA SIAPA KITA SELAMA INI BERTUHAN: ALLAH ATAU DIRI SENDIRI?

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 81 | September 2022

KEPADA SIAPA KITA SELAMA INI BERTUHAN: ALLAH ATAU DIRI SENDIRI?
Oleh Said Muniruddin | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Agama itu “kebajikan” (virtue). Namun, cara memutuskan kebajikan/kebaikan, itu beragam. Ada yang dengan mengikuti kebaikan menurut keinginan diri sendiri. Ada juga dengan cara menuruti apa maunya Allah. Yang mengikuti kebaikan menurut maunya Allah disebut “bertuhan kepada Allah”. Yang ikut keinginan diri sendiri, dalam tradisi gnostis disebut sebagai “bertuhan kepada diri sendiri” (berhala diri, riya, fir’aunisme).

Misalnya begini. Tahajud itu baik. Tidak ada yang mengatakan tahajud itu buruk. Lalu, pada suatu malam, anda bangun. Kemudian melaksanakan tahajud. Masalahnya sedikit, itu murni anda lakukan karena keinginan sendiri, karena menganggap itu baik. Mungkin itu anda lakukan akibat pernah membaca di ayat tertentu, bahwa tahajud itu bagus. Walaupun anda sendiri tidak tau, apakah bagus atau tidak untuk melaksanakan tahajud pada malam itu. Konon lagi, banyak orang yang memposting sesuatu ditengah malam untuk sekedar memberitahukan kepada orang-orang kalau dia suka tahajud. Dia anggap itu dakwah. Biar orang tau. Menurut dia itu baik. Menurut Allah, belum tentu. Bisa masuk kategori riya, yang ditegur dengan kalimat: “Celakalah orang-orang yang sholat” (QS. Al-Ma’un: 4-6).

Menurut ahli sufi, beribadah menurut keinginan sendiri disebut sebagai “bertuhan kepada diri sendiri”. Kita tidak tau, jangan-jangan Allah justru menginginkan kita terus tidur pada malam itu, tidak perlu bangun. Karena, apa yang baik menurut kita, belum tentu baik menurut Allah. Apa yang kita benci, terkadang itu yang terbaik menurut Allah (QS. Al-Baqarah: 216). Memang secara teoritis, tahajud bagus. Banyak pahalanya. Tapi, secara praktis, kebaikan juga harus ditempatkan pada waktu dan tempat yang tepat. Harus kontekstual sesuai keinginan Allah. Hanya Allah yang tau, kapan itu secara hakiki baik dan benar. Itu ibadah pada level hakikat/makrifat, efektif dan efisien, confirmed sesuai maunya Allah.

Pada level syariat, orang dididik beribadah untuk menuntaskan kewajiban. Fokusnya adalah kepentingan diri sendiri (self interest). Bahkan untuk menimbun pahala (modus kapitalisme). Ya, sah-sah saja. Mau bagaimana lagi. Agama secara awam memang dimulai dari level ini.

Pada tingkatan makrifat, ibadah dilaksanakan untuk menyenangkan Tuhan. Bukan lagi untuk diri kita sendiri. Kapan saja Allah perintah untuk bangun bertahajud, sejauh Dia senang, kita laksanakan. Kita ikuti saja apa arahan Allah, melampaui keinginan personal kita. Itu namanya tahajud yang diinginkan Allah. Atau paling tidak, ketika kita ingin melaksanakan tahajud, Allah setuju (Ridha) kita melakukan itu. Intinya, ada persetujuan Allah terlebih dahulu. Karena mungkin saja Allah lebih ridha kalau kita tidur sampai subuh, daripada bangun untuk melaksanakan tahajud pada malam itu. Kalau itu maunya Allah, tidur tentu lebih baik daripada tahajud. Justru menjadi bermasalah manakala anda melakukannya tanpa persetujuan Allah. Sebab, yang dicari adalah ridha atau perkenan Allah. Bukan sekedar action untuk memuaskan nafsu kita.

Artinya, dalam hal berbuat baik, dalam perspektif nubuwwah (laduniah), ketahui dulu apa maunya Allah. Sebab, yang disebut baik (secara hakiki) itu adalah baik menurut Allah. Bukan baik menurut akal kita. Juga bukan baik menurut teks suci tertentu, tanpa tau kapan aplikasi kontekstualnya. Apalagi baik menurut iblis. Ini yang gawat. Sebab, iblis juga mengajak kita untuk senantiasa berbuat baik.

Iblis itu makhluk “alim”. Tinggi sekali ilmu agamanya. Rajin ibadahnya. Di dahinya malah ada tanda bahwa ia pernah sujud 6000 tahun. Jelas, ia tidak pernah menyuruh kita untuk berjudi dan minum khamar. Iblis tidak pernah mendorong kita untuk menipu dan berzina. Untuk level orang-orang baik seperti anda, mana mungkin iblis menyuruh berbuat maksiat (merampok, membunuh dsb). Pasti anda tolak. Kerjaan iblis adalah menyuruh kita untuk senantiasa beribadah dan berbuat baik, tapi bukan menurut maunya Allah.

Jangan lupa, iblis itu makhluk paling taat dan paling bertauhid kepada Allah. Tapi dalam perspektifnya sendiri. Bagaimana tidak, ketika Allah menyuruhnya sujud kepada manusia, ia menolak. Sebab, ia tidak mau merusak akidah gara-gara sujud ke manusia. Ia juga merasa lebih alim, lebih senior dan lebih kharismatik dari Adam. Aku tercipta dari “Api”, dia dari “Tanah”. Cara berfikirnya make sense!

Iblis itu adalah anda, saya. Iblis itu adalah unsur terdalam dan terhalus dari diri kita semua, yang senantiasa membisiki kita untuk berbuat baik dan senantiasa menyembah Allah. Tapi menurut maunya kita sendiri. Bukan sebagaimana maunya Allah. Padahal, Allah ingin disembah menurut maunya Dia. Bukan menurut maunya kita. Allah ingin, kepatuhan kita kepada wahyu/ilham lebih diutamakan daripada pengetahuan rasional dan persepsi.

Karena itu, pertempuran abadi dalam diri manusia adalah pertempuran antara iblis dan Allah. Keduanya menyuruh manusia berbuat baik. Keduanya menyuruh manusia untuk sholat, puasa, zakat, haji dan sebagainya. Cuma ya itu, ada yang melakukan itu karena dorongan iblis. Ada yang melaksanakannya secara khalish atas dasar bisikan dari Allah. Secara lahiriah, keduanya terlihat sama. Secara batin, jauh sekali berbeda.

Contoh lain. Makan misalnya, secara teoritis, itu baik. Apalagi yang halal dan bergizi. Banyak dalil agama yang menguatkan itu. Tapi, kita tidak tau, apakah makanan yang kita konsumsi itu ada izin Allah atau tidak. Kalau ada izin, itu sama dengan mendapat jamuan dari Allah. Kalau tidak, bahaya!

Sebab, makan tanpa keridhaan Allah, itu namanya mengkonsumsi “khuldi”. Adam jatuh bukan karena makan babi atau minum tuak. Ia terlempar justru karena makan makanan surga. Di surga apa yang tidak halal. Semua halal. Tapi, ketika tidak ada izin Allah, itu secara sufistik akan bernilai haram. Dunia ini surga, semua halal dan boleh dimakan. Kalau ada izin Allah. Kalau tidak, dosa.

Jadi, tidak semua ibadah yang dikerjakan manusia itu murni dari Allah. Yang murni bisikan Allah, itu bernilai sunnah. Sebagian lainnya justru bisikan iblis. Itu bid’ah. Karena itu, tahap awal dalam beragama adalah “penyucian diri” sampai benar-benar mampu membedakan antara bisikan iblis dengan bisikan Allah. Karena, Allah dan iblis, itu mirip. Karena kemiripan inilah Adam tertipu. Apalagi kita. Kita sering menganggap apa yang baik yang muncul dalam benak kita, itu datang dari Allah. Padahal, itu bisa jadi dari iblis.

Oleh sebab itu, beragama harus melampaui ilmu akal dan ilmu tafsir. Harus sampai kepada kesadaran Ruhiyah, yang berdimensi Haqq. Beragama dengan akal saja, dapat membuat kita tersesat. Sebab, ilmu itu hijab. Seringkali kebaikan dan kebenaran kita qiyas-qiyaskan sesuai naluri dan selera. Padahal, dalam khazanah tasawuf, etik itu sifatnya divinity. Sejatinya, apa yang benar dan baik, itu harus ditanyakan kepada Allah. Harus turun langsung dari sisi Allah. Agama itu wahyu. Kebaikan dan kebenaran, itu murni dari Allah. Alhaqqu min rabbik (QS. Al-Baqarah: 147).

Tulisan ini hanya sekedar menggambarkan, bahwa tujuan perjalanan beragama sesungguhnya adalah untuk mengalami “perjumpaan” atau “sampai” (kembali) kepada Allah sebagai Wujud kebenaran tertinggi. Kalau tidak, level religiusitas kita akan terhenti di level akal ataupun kitab (teks).

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN
RECTOR | The Suficademic
YouTube: 
https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web:
 saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG@saidmuniruddin

Next Post

KAHMI, HMI DAN RODA GIGI YANG TIDAK TERSAMBUNG KE MESIN

Thu Sep 29 , 2022
“Jurnal […]

Kajian Lainnya