“SPIRITUAL WRITING”: 7 TIPS!

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 85 | Oktober 2022

“SPIRITUAL WRITING”: 7 TIPS!
Oleh Said Muniruddin | Rector | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Menulis adalah proses menuangkan ide, “bisikan” atau lintasan pengetahuan (khatir) ke dalam tulisan. Ide (khatir) bisa berasal dari berbagai sumber. Bisa dari alam iblis, dari nafsu pribadi, dari teks yang pernah kita baca, dari pendapat yang pernah kita dengar, ataupun dari alam akal murni. Yang tertinggi adalah dari alam Tuhan. Semakin rendah sumber ide (dari iblis), semakin bermasalah tulisan kita. Semakin tinggi sumber ide (dari tuhan), semakin “suci” nilainya, walau idenya terlihat sederhana. Seperti Quran. Isinya ada yang kompleks, ada juga yang simple. Tapi dari Allah semua.

Oleh karena itu, secara umum, ada dua cara menulis. Pertama, dengan gaya “konvensional”. Kedua, dengan metode “spiritual”. Dalam tradisi konvensional, lokus kesadaran adalah si penulis itu sendiri. Egonya yang menulis. Sedangkan dalam metode spiritual, lokus kesadaran si penulis harus terlebih dahulu terkoneksi dengan Qalam ‘Ala (Nurullah/Nur Muhammadiyah). Yang mengajar manusia dengan perantaraan “Kalam/Pena”, QS. Al-Ala: 4. Menulis dalam pola spiritual adalah bentuk “tarian” pena dan ketikan, yang dimainkan bersama Tuhan. Spiritual writing adalah Tuhan, yang menulis lewat tangan manusia.

Spiritual writing adalah Tuhan, yang menulis lewat tangan manusia.

SAID MUNIRUDDIN, “The Suficademic”

Berikut 7 tips dalam spiritual writing:

PERTAMA, CARI DAN IKUTI GURU. Semua ilmu ada gurunya. Kita sekolah, sejak kecil sampai dewasa, itu usaha mencari guru dalam aneka bidang ilmu dan spesialisasi. Menulis juga begitu, harus berguru. Guru akan mentransfer pengetahuan-pengetahuan, sehingga kita punya kesadaran dan kecakapan-kecakapan yang tidak kita miliki sebelumnya. Tidak bisa otodidak. Otodidak boleh, tapi setelah ada sentuhan guru (orang yang sudah duluan profesional) semua akan jadi berbeda.

Dalam tradisi spiritual juga begitu. Fungsi Guru sentral sekali. Guru adalah orang yang biasanya paham, punya keahlian dan berpengalaman dalam khazanah pengetahuan ruhani. Tujuannya membawa murid untuk mengenal Allah (makrifah). Hubungan kita dengan Allah dibangun melalui hubungan kita dengan seorang Guru (wali/ulil amri) yang mewarisi Ruhani Rasulullah. Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan Ulil Amri di antara kamu.. (QS. An-Nisa: 59). Pada ayat lain dikatakan: Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (QS. Aali Imran: 31).

Itulah wasilah. Bangun hubungan dengan Guru. Cintai guru. Sering-seringlah berziarah ke tempat Guru. Seorang ulama sufi adalah seorang wali, burak atau khizir yang mampu memperbaiki gelombang energi dalam diri. Sehingga ruhani kita menjadi kuat dan mampu “terbang” tinggi untuk menangkap pesan-pesan tersembunyi dari alam semesta ini.

KEDUA, TEMPUH TRAINING RUHANI. Dibawah bimbingan seorang guru atau supervisor yang ahli (wali), lakukan suluk/khalwat selama paling kurang 40 hari. Dalam ordo spiritual tertentu, ini bisa dicapai dalam 3-4 kali suluk. Seperti Musa as yang menempuh jalan ini di madrasah Sinai. Kami telah menjanjikan Musa (untuk memberikan kitab Taurat setelah bermunajat selama) tiga puluh malam. Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi). Maka, lengkaplah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam (QS. Al-Araf: 142). 

Ada leveling (makam) ruhaniah yang diupgrade pada masing fase itu. Mulai dari alam jabarut, malakut sampai rabbani. Pada fase jabarut, jiwa kita dibersihkan dari ide-ide (khatir) berdimensi iblis. Pada fase malakut, jiwa kita disambungkan dengan gelombang-gelombang pengetahuan yang lebih murni. Pada fase rabbani, dimensi ilham dan kehadiran pengetahuan Ilahi menjadi semakin kuat. Pendidikan ruhani, pada level tetentu, memungkinkan bagi seseorang untuk merasakan kehadiran Allah secara langsung. Seperti Musa as, yang “pingsan” (lebur/fana), luluh semua “gunung” ego dan kesadaran materialnya. Ia larut dalam dimensi Ilahi pada saat Allah bertajalli. “Maka, ketika Tuhannya menampakkan (diri-Nya) pada gunung itu, gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan” (QS. Al-Araf: 143).

KETIGA, BIARKAN ALLAH YANG MENULIS. Ketika anda sudah mengikuti jalan para nabi/wali, dan telah mencapai “pengetahuan kehadiran” (ilmu hudhuri), jangan lagi menulis apa yang anda inginkan. Tulislah apa yang Allah inginkan. Jangan menulis apa yang ada di kepala kita. Kosongkan saja pikiran anda. Biar Allah sendiri yang isi materi yang sepatutnya kita dakwahkan. Para nabi begitu, tidak menyampaikan sesuatu kecuali itu ilham dari Allah. Dan tiadalah apa yang disampaikannya menurut kemauan hawa nafsunya. Ia tidak lain adalah wahyu yang diberikan kepadanya (QS. An-Najm: 3-4).

Ilmu itu, kalau datangnya bukan dari Allah (walau terlihat baik sekalipun) itu pasti dari iblis, dari ego nafsu, atau dari akal kita sendiri. Jika sumber inspirasinya dari nafsu dan iblis, tentu berbahaya sekali. Bisa mengotori jiwa pembaca. Juga jiwa penulisnya sendiri. Kita hebat sekali kalau mampu menulis berdasarkan sumber akal, sejauh akal itu sudah “lurus” (objektif/logis/netral/tidak tendensius). Apalagi kalau sampai mampu menulis dengan merujuk atau mendownload pada sumber-sumber ilham/ilahi. Itu istimewa sekali.

KEEMPAT, MINTA IZIN ALLAH DAN RASULULLAH. Kalaupun kita punya ego atau keinginan untuk menulis, itu manusiawi. Boleh saja. Tapi, “ketuk” dulu pintu Rumah-Nya. Agar Dia memberi izin untuk menulis. Mintalah izin kepada Rasulullah sebelum menulis. Jika turun izin, menulislah. Jika tidak, bersabarlah. Sesungguhnya, ilmu itu milik Allah dan Rasulullah. Ini penting, supaya keinginan kita sejalan dengan keinginan Allah. Nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku (QS. Yusuf: 53). Tanpa izin Allah, jangan memaksa ego anda. Sekalipun itu anda anggap baik. Sebab, apa yang baik menurut kita, belum tentu baik menurut Allah. Boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu (QS. Al-Baqarah: 216).

Maka, waktu terbaik untuk menulis adalah ketika turun “Nur” dijari. Melalui perangkat-perangkat ruhaniah, seperti muraqabah, biasakan berkomunikasi dengan Allah dan Rasulullah. Minta selalu petunjuknya. Agar apa yang kita tuangkan sejalan dengan cita-cita mereka. Dalam tradisi ruhaniah, semua tindakan harus atas izin Allah. Jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, “Aku pasti melakukan hal itu besok,” kecuali (dengan mengatakan), “Insyaallah.” Ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah, “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini.” (QS. Al-Kahfi: 24-24).

Terkait metode spiritual writing ini, Al-Ghazali berkata, “Tidak satupun hadis yang aku tulis dalam karya ini, tanpa terlebih dahulu aku konfirmasi kebenarannya kepada Rasulullah”. Al-Ghazali adalah sufi yang melahirkan karya-karya yang relatif “soft” terkait sufisme. Sementara Ibnu Arabi, terkait karyanya yang cukup membuat banyak orang “pusing” seperti Fushush al-Hikam dan Futuhat al-Makiyyah, dalam bahasa yang sama juga berkata, “Tidak aku tulis kitab ini melainkan dengan cara didikte langsung oleh Rasulullah dalam berbagai pengalaman epifani”.

Bagaimana mungkin Al-Ghazali maupun Ibnu Arabi berkomunikasi dengan Rasul. Padahal, baik Al-Ghazali (1058-1111 M) maupun Ibnu Arabi (1165-1240 M) itu hidup 400 dan 600 ratus tahun setelah Rasul tiada (570-632 M). Tapi, dalam lintas matrix spiritual, itu tidak ada jarak antara Nabi dengan setiap umatnya. Bisa selalu dijumpai. Karena ruhnya hidup dan meliputi segala masa.

KELIMA, PERBAIKI HUBUNGAN DAN JAGA KESUCIAN. Perbaiki terus hubungan kita dengan Allah dan Rasulullah. Agar arus informasi senantiasa mengalir. Berzikirlah pada waktu-waktu khusus, pada titik-titik dimana “pintu langit” mudah terbuka. Misalnya sebelum subuh, dan lainnya. Hubungan kita dengan Allah seperti sinyal Hp. Bisa rendah, bisa tinggi. Tergantung kemampuan kita untuk mendekati-Nya. Tergantung kemampuan kita dalam menjaga adab dengan para Kekasih-Nya. Ketika kita dicintai-Nya, banyak informasi yang akan diberikan-Nya.

Kesucian harus tetap dijaga. Baik dengan melazimkan wudhuk dan istighfar. Kita tidak tau, terkadang Dia menitip ilmunya pada waktu-waktu yang tidak kita sangka. Tidak hanya saat sedang beribadah. Bisa saja saat sedang minum kopi, saat sedang berkendaraan, saat sedang mandi, dan sebagainya. Sejauh jiwa dan indera kita dalam keadaan suci, kita akan mampu menangkap pesan-pesan itu pada setiap waktu. Ide-ide “kreatif dan tinggi” lahir dalam keadaan suci. Pun menuliskannya, harus dalam kondisi suci. Tidak ada yang menyentuhnya, kecuali para hamba yang disucikan” (QS. Al-Waqiah: 79).

KEENAM, AKUI KEBODOHAN DAN BERSYUKUR ATAS SETIAP ILMU YANG DIBERIKAN. Akui kebodohan kita, niscaya akan bertambah kasih sayang-Nya. Bersyukurlah setiap kali memperoleh ilmu. Sholat dan bersedekahlah setiap selesai menulis. Kalau pandai bersyukur, akan ditambah lagi pengetahuan, kemampuan dan kekuatan untuk menulis. Kalau tidak, semua kecerdasan iluminatif akan hilang pelan-pelan. “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras” (QS. Ibrahim: 7).

KETUJUH, GUNAKAN ATURAN MENULIS KONVENSIONAL LAINNYA. Selebihnya, gunakan aturan-aturan menulis konvensional untuk memperhalus tulisan. Seperti penggunaan EYD (jika perlu), re-read, proof reading, editing, formatting, dan berbagai skill yang anda peroleh dari pelatihan-pelatihan jurnalistik.

***

Menulis itu sebuah pengalaman berat, kalau kita memaksa diri. Tapi akan menjadi ringan, manakala tersambung dengan Allah. Kuncinya adalah per-“tali”-an hubungan dengan Allah dan Rasulullah (bersanad secara ruhaniah). Berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (sanad) Allah, janganlah bercerai berai (QS. Aali Imran: 103). Jadilah bagian dari “Nun” (wadah dan tinta pengetahuan semesta, yaitu Ruhani Rasulullah). Sehingga mudah untuk menulis apa saja. Nun, demi kalam, dan apa yang mereka tulis (QS. Al-Qalam: 1).

Pada kondisi ini, semua mengalir begitu saja. Tidak cukup tinta dan pena untuk menuliskannya. Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan (lagi) setelah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat-kalimat Allah.. (QS. Lukman: 27). Karena hakikatnya bukan kita lagi yang menulis. Tapi Dia, yang menuliskan ilmu-Nya sendiri.

Pada saat tercerahkan seperti ini (mengalami momen “Aha!”), anda seperti menemukan ide-ide yang melampaui diri anda sendiri. Imajinasi anda akan bermain-main di atas media secara kreatif, terus melahirkan “ayat” dan “kalimat” sesuai konteks sosial dan zaman. Anda memang menulis. Tapi sesungguhnya, Dialah yang menulis. Anda memang berfikir. Tapi sebenarnya, Dialah yang berfikir. Mungkin tulisan anda seperti sedang ‘membunuh’ dan ‘melempar’ orang-orang. Tapi bukan anda yang melakukan itu, melainkan Allah. Bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah yang membunuh mereka dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, melainkan Allah yang melempar (QS. Al-Anfal: 17).

Terakhir. Tidak semua orang punya bakat menulis. Tapi, bagi yang hobi dan berprofesi sebagai penulis, saya kira patut mengupgrade kecerdasan menulisnya; dari metode “rasional tekstual”, ke jenjang “iluminatif eksperensial”. Setiap kita punya keahlian dalam bidang tertentu. Dengan “pertolongan Allah” anda bisa mengungkap dan menuliskan hal-hal baru terkait bidang ilmu anda.

Pengetahuan tidak hanya bisa digali lewat cara-cara observatif, empiris dan rasional. Tapi juga melalui bentuk-bentuk intuitif dan “ketersingkapan jiwa”. Para ilmuan muslim klasik yang telah mengharubirukan dunia dengan berbagai temuan kreatif dan karya-karya monumental, itu bukan hanya para saintis. Tapi juga spiritualis. Hubungan dengan Tuhan mereka kuat sekali. Sufisme itu memberi bobot lebih tinggi pada bentuk-bentuk kecerdasan yang sudah mereka punya.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
saidmuniruddin.com, “The Suficademic”

3 thoughts on ““SPIRITUAL WRITING”: 7 TIPS!

Comments are closed.

Next Post

Dr. Syukriy Abdullah dan Dr. Mulia Saputra, di Negeri Tak Terjangkau Akal dan Nafsu

Fri Oct 7 , 2022
Disebuah […]

Kajian Lainnya