FARWIZA FARHAN, IDENTITAS ACEH DAN SYARIAT ISLAM

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 88 | Oktober 2022

FARWIZA FARHAN, IDENTITAS ACEH DAN SYARIAT ISLAM
Oleh Said Muniruddin | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Tiba-tiba publik Aceh terkejut, walau senyap. Ada sosok yang disebut-sebut sebagai perempuan Aceh, masuk “TIME100 Next 2022”. Adalah majalah ternama, yang setiap tahun mempublikasi figur yang dianggap inspiratif dari berbagai pelosok dunia. Di cover majalah, ada foto utuhnya. Cerita tentangnya diulas oleh Jane Goodall.

Namanya Farwiza Farhan (36Th). Ketua Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA). Ia dielu-elukan sebagai “leader” karena kontribusinya sebagai tokoh lingkungan dan konservasionis ekosistem Leuser.

Rakyat Aceh mungkin bingung. Ini betulan Aceh, apa bukan? Sebab, sejak Aceh mendapat hadiah “Syariat Islam” dari Jakarta pada 2001, Islam tidaknya seseorang, atau Aceh tidaknya seseorang, itu diukur dari berjilbab atau tidaknya orang itu.

Alhasil, Farwiza mirip-mirip tidak diakui sebagai Aceh. Dalam artian, tidak ada gegap gempita untuk menyebut prestasi perempuan Aceh ini sebagai “tokoh dunia”. Ada sih yang mengucapkan selamat. Banyak juga. Tetapi tidak viral untuk ukuran medsos dan berita lokal. Mungkin akan lain ceritanya, jika ada sosok “berjilbab” dari Aceh diakui perannya oleh dunia. Pasti lebih heboh bagi Aceh. Tapi ukuran leadership di muka global kan tidak pada identitas agama atau jilbab.

Namun, ketokohan seseorang juga bisa lahir dari dua dorongan. Pertama, bottom-up. Leader lahir dan populer di level grassroot. Kedua, top-down. Leader dimunculkan oleh donor. Pada kasus Farwiza, saya curiga ia tidak dikenal oleh publik awam Aceh. Kecuali pegiat kehutanan. Tapi yang jelas, untuk menjadi leader, anda tidak selalu harus dikenal. Terkadang anda harus bekerja dalam kesunyian. Tapi kerja nyata anda suatu waktu dapat memberi pengaruh besar bagi yang lain.


Beberapa aktifis luar Aceh sempat bertanya. Aneh juga, kenapa keberhasilan Farwiza tidak mendapat applause memadai dari orang Aceh. “Ah, mungkin orang Aceh sudah terlalu berat dengan urusan ekonomi, tak cukup waktu mengapresiasi orang sukses”, kami berseloroh.

Aktifis lainnya juga menggugat, sebenarnya seperti apa sih yang disebut sebagai “Aceh”. Identitas seperti apa yang akan diakui sebagai “Aceh”. Ujung pertanyaannya: “Apakah harus berjilbab untuk diakui sebagai Aceh? Tapi kenapa foto pejuang perempuan Aceh dulu banyak yang tidak berjilbab dan sangat diakui sebagai Aceh?”

Berat pertanyaannya. Karena terkait bagaimana posisi jilbab dalam hukum Islam dan sejarah identitas Aceh.


Menjawab ini, kami harus mengurai kembali 2 mazhab pemikiran tentang jilbab dalam Islam. Kedua pemikiran ini mempengaruhi dinamika jilbab di Aceh dari masa ke masa.

PERTAMA, jilbab dipahami sebagai baju kurung. Bentuknya longgar, sopan memanjang dari leher ke kaki. Setengah ke bawah juga sering tertutup rapi dengan sarung. Bagian kepala sering terbuka. Paling memakai selendang saja. Itupun rambutnya masih kelihatan.

Aceh dulu, punya pemahaman seperti itu. Paling tidak, itulah fashion masyarakatnya waktu itu. Makanya, foto-foto pejuangnya terlihat banyak begitu. Orang tua dan nenek-nenek kita di Aceh juga banyak yang begitu. Bukan karena mereka dan ulama-ulama masa itu tidak paham Islam. Tapi itulah pemahaman keislaman terbaik mereka dulu.

Dulu tidak ada cerita tentang perempuan yang dirazia, ditangkap dan dicukur rambutnya gegara tidak memakai kerudung. Dulu terlihat bebas-bebas saja. Dalam artian, sopan. Tidak mengedepankan fashion berlebihan, atau buka-bukaan.

Kalaupun pada masa itu ada yang menutup kepala secara utuh, itu dianggap lebih mulia dan terhormat. Ada ditemukan foto-foto orang Aceh tempo dulu yang keseluruhan fisiknya “terbungkus” kain dengan rapi. Itu masuk dalam simbol-simbol kesucian. Semacam sosok “Bunda Maria” atau istri-istri Nabi lainnya, yang memang diperintahkan untuk seperti itu.

KEDUA, jilbab dipahami sebagai WAJIB menutup kepala, tanpa terlihat sehelai rambut pun. Ini menguat sejak 2001, saat formalitas syariat Islam diberlakukan. Pelan-pelan, model ini menjadi semacam “pemaksaan” oleh pemerintah yang telah memutuskan masuk dalam pemahaman model keagamaan tertentu. Sehingga seolah-olah itu satu-satunya model berpakaian dalam Islam.

Di beberapa kampus, perempuannya malah tidak dibolehkan bercelana. Harus memakai rok. Di kabupaten tertentu, pernah perempuan dilarang mengangkang saat boncengan di kendaraan bermotor. Semua ini tidak terlepas dari “penafsiran” terhadap syariat untuk menjadi produk hukum dari kelompok kekuasaan tertentu. Sampai kaku begitu. Dalam hal “jilbab”, memang perempuan yang jadi objek sasaran.


Kita tidak tau, apakah cara berpakaian perempuan di Aceh akan tetap diregulasi seperti itu, atau akan menguat kepada bentuk “burqa” (jilbab) yang hanya terlihat matanya saja. Seperti di Afghanistan atau belahan Arab lainnya. Atau justru akan ikut Arab Saudi yang mulai liberal dan terbuka. Itu tergantung siapa yang berkuasa, jenis pemahaman agama dan visi yang diusungnya.

Dalil jilbab memang ada. Disebut dalam teks suci dan hadis-hadis Nabi. Tapi definisi dan batasannya dipahami beragam. Sama halnya dengan pemahaman “aurat” yang juga berbeda antar mazhab dalam Islam. Pemahaman historis dan sosiologis jilbab juga begitu. Dinamis memang.

Tapi, dalam kondisi zaman yang pemikiran tentang jilbab sedang mengalami “radikalisasi”, anda tidak mudah menentangnya. Sosok ahli tafsir ternama semacam Quraish Shihab pun bisa kena bully, dituduh liberal, karena sempat memaparkan pandangan lunaknya terkait jilbab. Pandangan beliau adalah seperti poin pertama di atas terkait pemahaman jilbab. Seperti yang diamalkan oleh masyarakat Aceh dulu.

Radikalisasi dalam dunia Islam sebenarnya juga bukan sesuatu yang tidak beralasan. Ada yang percaya itu sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni barat yang dianggap suka melakukan “komersialisasi” terhadap perempuan, dalam isu kebebasan. Budaya barat suka buka-bukaan. Boleh ketat. Boleh sexy bahkan telanjang. Perempuan dilacurkan untuk mengiklankan barang. Lalu ditubruk dengan “jilbab” yang dianggap sebagai bentuk penindasan. Terjadilah perang budaya.

Dari sini, mungkin lahir jenis pemikiran yang “MEWAJIBKAN” perempuan menutup seluruh tubuh dan kepalanya. Sehingga tidak ada ruang bagi agenda kapitalisme untuk merongrong bentuk-bentuk kearifan dan kesopanan lokal Islam. Sebab, Aceh juga pernah dilanda gelombang “keterbukaan” ini. Pernah mengidap pelacuran terbuka di simpang-simpang jalan. Sehingga, ‘radikalisasi’ syariat dianggap perlu oleh kelompok keagamaan tertentu guna melawan arus seks bebas, feminisme dan hedonisme fashion.

Kami melihat, bentuk dan pemahaman tentang jilbab ikut mengalami perubahan sesuai konteks zaman. Untuk kasus Aceh, dulu “terbuka”. Sekarang “tertutup”. Di Saudi, dulu “tertutup”. Sekarang mulai “terbuka”. Banyak negara Islam mengalami hal serupa.

Kalau ditanyakan, apakah ada hubungan jilbab dengan tingkat religiusitas seseorang? Jawabannya, bisa iya. Bisa tidak. Ada orang yang setelah rasa beragamanya meningkat, dia memilih berjilbab. Banyak orang berjilbab yang akhlaknya terpuji. Ada juga yang selalu berjilbab, tapi perilakunya seperti orang yang tidak beragama. Jilbab itu hanya jenis pakaian. Isi dalam (akhlak) beda-beda.

Yang tidak berjilbab juga begitu. Banyak sekali yang baik hati dan bagus kerjanya. Ada juga yang tidak berjilbab dan sangat terbuka dan buka-bukaan. Karena memang tidak tau mau ditampilkan apa, selain lekuk tubuhnya. Mungkin artis banyak yang begitu.

***

Ya, begitulah Farwiza. Sosok Aceh berpenampilan klasik dan berprestasi. Kebetulan hidup di era Aceh yang sedang giat dengan formalisasi syariat. Kalau lupa tutup kepala, bisa dicurigai sebagai bagian dari feminisme radikal kita. Bisa dianggap kurang nilai ke-Aceh-an kita. Anyway, selamat atas prestasinya. Terus beribadah. Terus berkarya dengan apapun pakaian yang anda punya. Dengan atau tanpa jilbab. Semoga lingkungan dan ekosistem Leuser tetap lestari adanya. Semoga kita mewarisi Aceh yang semakin baik untuk anak cucu kita.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

___________________
SAID MUNIRUDDIN
RECTOR | The Suficademic
YouTube: 
https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web:
 saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG@saidmuniruddin

Next Post

Raihan Ariatama, LK-II HMI dan Sanger Ulee Kareng

Thu Oct 20 , 2022
BANDA […]

Kajian Lainnya