MAKAM BERKUBAH, BID’AH ATAU SUNNAH?

Jurnal Suficademic”| Artikel No. 7 | Januari 2023

MAKAM BERKUBAH, BID’AH ATAU SUNNAH?
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Hanya melalui sebuah narasi dan interpretasi tertentu terhadap hadist, sebuah dinasti yang menguasai Hijaz sejak tahun 1925 mulai bekerja untuk menghancurkan seluruh bangunan makam berkubah yang sudah lama ada di negeri itu. Khususnya di Jannatul Baqi Madinah; tempat dimakamkan para Keluarga, sahabat dan auliya sejak zaman Nabi SAW. Hal serupa juga terjadi di Jannatul Ma’la Mekkah. Makam leluhur Baginda SAW, istri pertamanya Khadijah, juga para sahabat dan auliya dibuldozer semua. Mirip-mirip hilang jejak dan rata dengan tanah. Raib semua identitas.

Komplek makam Jannatul Baqi, dengan view Masjid Nabawi di kejauhan (Madinah, 2022)

Pertanyaannya, bolehkah sebuah makam, khususnya makam nabi ataupun seorang auliya, dibuat dalam bentuk “kubah”. Atau malah bisa dibuat masjid di atasnya?

Kubah punya beberapa makna. Pertama, bisa bermakna “struktur kerucut” yang sering ditemukan di puncak masjid. Kedua, bisa juga berarti bangunan “petak/kotak” (kubik/kakbah). Makam itu sendiri sering disebut sebagai “kubah”, ketika berbentuk sebuah kotak bangunan tertutup.

Realitasnya, ketika Rasulullah SAW wafat, Beliau dimakamkan di dalam rumah. Malah di kamarnya. Rumah itu sekarang sudah menjadi bagian dari Masjid Nabawi. Letaknya ada disamping posisi imam dalam bagian masjid lama, tepat di bawah kubah hijau. Makam Beliau pun cukup mewah. Berdinding kokoh. Penuh ornamen, khath dan ukiran. Makam di dalamnya juga ditinggikan. Pun dengan makam Abubakar dan Umar yang berdampingan.

Artinya, sejak wafat, Nabi sudah dimakamkan dalam sebuah bangunan tertutup, yang beratap dan berdinding (kubah). Apakah bid’ah kalau membuat kuburan di dalam sebuah bangunan, seperti dalam rumah? Apakah para sahabat tidak mengerti agama, sampai berani melakukan hal itu? Apakah para sahabat lupa kalau ada hadist yang melarang meninggikan dan menempatkan makam dalam bangunan?

Memang, makam Nabi awalnya tidak berada dalam masjid. Tapi, rumah Nabi dan masjid itu bersambung melalui sebuah pintu khusus. Terkoneksi. Setelah pelebaran Masjid Nabawi, bagian rumah Nabi ataupun makamnya sudah menjadi bagian dari masjid. Karena itu, suatu ketika pernah muncul ide dari Albani, agar jasad Nabi dibongkar. Ia ingin makam Nabi dipindahkan ke luar, agar tidak lagi berada dalam masjid.

Beberapa ulama seperti Muhammad bin Abdul Wahhab, Albani, bin Baz, Ibnu Usaimin dan lainnya yang berideologi Kharijiyah (Najdiyah/Wahabiyah) sangat kontra dengan keberadaan makam berbangunan, ataupun makam dalam masjid. Belakangan, kelompok-kelompok militan semacam ini juga melakukan pengeboman terhadap makam-makam berbangunan. Seperti yang dilakukan ISIS terhadap makam Nabi Yunus as di sebelah timur kota Mosul, Irak, pada 2014. Ibnu Taimiyah sendiri, walau dianggap guru dari mereka semua, termasuk beruntung. Makamnya yang tinggi, yang terletak di Damaskus Suriah, tidak diratakan dengan tanah.

Bagaimana dengan keberadaan makam dalam masjid? Ini juga menjadi konsern pelarangan dari kelompok-kelompok ekstrim salafi. Walau sebenarnya ditemukan banyak makam auliya dan juga para nabi berada dalam masjid. Nabi Ismail as misalnya, itu makamnya ada di dalam Masjidil Haram. Bahkan orang-orang berebut sholat di Hijir beliau. Ibu Beliau, Siti Hajar, juga dimakamkan di lokasi itu. Banyak nabi dan auliya dimakamkan di seputaran Kakbah atau dipelataran bagian dalam Masjidil Haram. Karena itulah tanahnya disebut “suci”.

Bukan hanya dalam masjid banyak dimakamkan orang-orang shaleh, bahkan bangunan masjid pun Sunnah untuk dibangun di atas makam mereka. Alquran menyebutkan bagaimana Allah memerintahkan pendirian sebuah bangunan suci (masjid) di atas pusara Ashabul Kahfi:

وَكَذٰلِكَ اَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوْٓا اَنَّ وَعْدَ اللّٰهِ حَقٌّ وَّاَنَّ السَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيْهَاۚ اِذْ يَتَنَازَعُوْنَ بَيْنَهُمْ اَمْرَهُمْ فَقَالُوا ابْنُوْا عَلَيْهِمْ بُنْيَانًاۗ رَبُّهُمْ اَعْلَمُ بِهِمْۗ قَالَ الَّذِيْنَ غَلَبُوْا عَلٰٓى اَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَّسْجِدًا

Demikian (pula) Kami perlihatkan (penduduk negeri) kepada mereka agar mengetahui bahwa janji Allah benar dan bahwa (kedatangan) hari Kiamat tidak ada keraguan padanya. (Hal itu terjadi) ketika mereka (penduduk negeri) berselisih tentang urusan (penghuni gua). Kemudian mereka berkata, “Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua itu). Tuhannya lebih mengetahui (keadaan) mereka (penghuni gua).” Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata, “Kami pasti akan mendirikan sebuah masjid di atasnya.” (QS. Al-Kahfi [18]: 21)

***

Jadi, praktik meninggikan makam, membuat bangunan di sekeliling makam, mendirikan masjid di lokasi makam; itu sudah lama ada. Sejak sebelum, semasa, sampai setelah Nabi SAW, itu sudah ada. Maka ketika ada pihak tertentu yang berfikiran berbeda, perlu didialogkan kembali cara memahami hadits-hadits terkait itu semua. Sehingga tidak lagi terjadi salah penggunaan. Jangan sampai, hadis yang notabenenya ditujukan untuk menghancurkan kuburan Kristen dan Yahudi (yang dipenuhi patung) malah digunakan untuk menghancur ratakan kuburan orang Islam sendiri, yang memang disuruh “tinggikan” dengan gundukan seperti “punuk unta” (camel’s hump).

Juga perlu dipahami dengan baik, antara makna membangun tepat di atas (“on”) dengan disekeliling (“over”) makam. Itu sama-sama bermakna “di atas”. Kalau tepat di atas makam dibuat bangunan, atau diduduki persis di atas makam, ya tidak sopan itu. Kalau dibuat bangunan yang menutupi dan mengelilingi makam, ya seperti itulah makam Nabi. Bahkan diriwayatkan, makam Usman bin Maz’un, orang yang pertama dimakamkan oleh Nabi di Jannatul Baqi, itu makamnya cukup tinggi. Pada masa Usman bin Affan, makam ini sering dijadikan oleh sejumlah anak- anak nakal sebagai tempat latihan siapa yang kuat melompat (Sahih Bukhari, Kitab Al-Janaiz, Babul Jarid ‘alal Qabr, Hadis 1280 & 1281).

Maka, kalau di Nusantara anda menemukan masih banyak makam para wali dan shalihin (point of references) yang ditempatkan dalam bentuk bangunan berkubah, bahkan menyatu dengan masjid, itu bukanlah sebuah hal baru. Itu sesuatu yang punya nash dari Qur’an sekaligus petunjuk Sunnah bagaimana Nabi ketika wafat juga diperlakukan seperti itu. Namun tidak ada kewajiban bagi kita untuk membuat semua makam menjadi seperti itu.

Pun kalau ada penghancuran makam dan situs-situs sejarah seperti yang dilakukan oleh Wangsa Sa’ud di tanah Hijaz, itupun sebenarnya bukan sepenuhnya bagian dari gerakan “pemurnian agama”. Makam dan situs-situs sejarah di Mekkah/Madinah yang punya arti emosional bagi peziarah dari seluruh dunia, itu bukanlah bagian dari kebesaran identitas dinasti bin Sa’ud asal Nejad. Sehingga, pembersihan memang sesuatu yang secara politis sudah sepatutnya dilakukan. Terlebih setelah mendapat justifikasi dari ideologi Wahabisme yang mulai berafiliasi dalam panggung kerajaan Sa’ud sejak tahun 1744, saat dinasti ini masih membangun kekuatan di wilayah Dir’iyah (Riyadh).

Konon lagi, situs-situs sejarah ini lebih mengglorifikasi keberadaan kontestan politik yang berhasil mereka kudeta melalui bantuan Inggris pada 19 Desember 1925. Yaitu klan Syarif Mekkah atau Syarif Hijaz (keturunan Nabi SAW dari jalur Sayyidina Hasan), yang sejak era Abbasiyah sampai Ottoman telah ditunjuk menjadi penguasa di provinsi Hijaz. Jadi, agama dimana-mana memang sering dimainkan sebagai alat untuk kepentingan politik.

Kini, setelah 100 tahun menguasai jazirah Arabia, dinasti ini tidak lagi fokus pada penghancuran makam dan isu-isu purifikasi tauhid. Melainkan, sudah bergerak ke arah liberalisasi dan keterbukaan ekonomi. Yang dibangun sekarang ada tempat-tempat berjudi dan panggung hura-hura. Artinya, agama tidak lagi menjadi isu utama. Ruh wahabisme yang kaku dan keras dianggap tidak begitu relevan lagi dengan visi dan ide-ide pembaharuan Muhammad bin Salam (MBS). Namun mereka masih menjaga ‘kesucian’ dua haram di tanah Hijaz (Makkah dan Madinah). Karena itu pasar bagi jamaah yang ingin mencari nuansa spiritual. Sementara, yang ingin mencicipi hedonisme dunia, itu dipersilakan untuk melancong ke wilayah Nejad, Riyadh.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

One thought on “MAKAM BERKUBAH, BID’AH ATAU SUNNAH?

  1. At the beginning, I was still puzzled. Since I read your article, I have been very impressed. It has provided a lot of innovative ideas for my thesis related to gate.io. Thank u. But I still have some doubts, can you help me? Thanks.

Comments are closed.

Next Post

PENYEBAB BANJIR: KONSER MUSIK, ZIKIR AKBAR, AURAT PEREMPUAN ATAU HUTAN YANG GUNDUL?

Thu Jan 26 , 2023
“Jurnal […]

Kajian Lainnya