“ADAB”, ILMU YANG MELAHIRKAN MALAIKAT

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 15 | Februari 2023

“ADAB”, ILMU YANG MELAHIRKAN MALAIKAT
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Suatu ketika, di awal masa perkuliahan. Kami sudah mempersiapkan dengan baik Rencana Pembelajaran Semester (RPS). E-Learning juga sudah ada untuk 16 kali pertemuan. Lengkap dengan kontraknya. Saya sangat bersemangat untuk menyapa dan ingin sekali mengajar di kelas mahasiswa baru, di kampus saya.

Hari pertama, mulailah saya mengajar. Berapi-api. Penuh energi. Saya mengulas arah materi, relevansi dengan dunia nyata, dan bagaimana kelas akan saya delivery. Saya optimis, mahasiswa juga akan sama bersemangatnya dengan saya untuk menghabiskan waktu bersama.

Mati kita!!

Baru beberapa menit menerangkan, ada mahasiswa yang tertawa bersama temannya. Saya bingung, apa yang lucu. Saya belum membuat hal-hal lucu. Bahkan materi lagi serius-seriusnya. Saya tanya, ada apa, kok tertawa? Si mahasiswa diam saja.

Beberapa saat kemudian, di tengah diskusi, terlihat ada beberapa mahasiswa lain yang sibuk mencorat-coret pinggiran buku. Ia terlihat enggan memperhatikan temannya yang sedang berbicara. Entah apa yang dilukis. Waktu saya periksa, ternyata penuh dengan bahasa-bahasa kuno mirip Sanskerta, yang mungkin Tuhan pun tak paham itu, apalagi dia.

Beberapa waktu kemudian, mahasiswa lain juga terlihat ada yang saling gelitik. Saling bisik. Ada pula yang sembunyi-sembunyi main Hp, buka WA. Tapi anehnya, semua tiba-tiba terfokus dan serius melihat ke slide di depan, seolah-olah dari tadi memang penuh perhatian, ketika saya berbalik arah untuk berinteraksi dengan mereka.

“Sialan. Ini kelas seperti di film-film Korea. Berpenyakit!”, saya membatin. Kok model-model begini ada di kelas saya. Harusnya sudah sembuh sejak saat orientasi penerimaan mahasiswa. Ada sesuatu yang kronis untuk segera diobati, sebelum kuliah dilanjutkan.

Mulailah saya beralih topik, ke akhlak dan etika. Bahkan sampai menyuruh si mahasiswa berceramah, mengulang kembali semua materi yang sudah saya sampaikan. Lalu giliran saya yang tertawa cengengesan, meniru apa yang dia sebelumnya lakukan. Sembari bertanya, “Apa perasaan kamu kalau saya tertawa mengejek saat kamu sedang bicara?”. Dia menunduk, ikut merasakan kepedihan yang sama. Dua sampai tiga kali pertemuan habis untuk materi akhlak dan etika. Harus kita ajarkan dengan keras, melalui contoh-contoh. Tentunya harus sabar dan penuh kasih sayang. Kalau itupun tidak mempan, kita mainkan nilai D.

Curiga saya, mahasiswa sekarang lupa di “ospek” saat awal masuk kampus. Lupa mereka cara menghargai institusi. Lupa ia cara menghargai orang yang sedang berbicara. Lupa ia cara bersikap santun saat sedang belajar. Sebuah sikap yang dalam tradisi sufi, bahkan untuk batuk dan menggaruk sekalipun, saat mendengar guru berbicara, itu haram hukumnya. Apalagi sampai membuat kerusuhan. Mungkin sesekali kita perlu belajar ke negeri kafir, bagaimana orang-orang menahan batuk saat mendengar orkestra.

Intinya, anda tidak bisa mewariskan ilmu kepada orang-orang yang belum beradab. Bereskan dulu adab mereka, juga adab kita, baru kemudian sampaikan ilmunya. Perbaiki adab, untuk menerima ilmu-ilmu (ilham) lebih tinggi dari Tuhan. Allah hadir hanya kepada jiwa yang berakhlak. “Aku tidak diutus melainkan untuk memperbaiki akhlak”, kata Nabi SAW. Adab/akhlak adalah fondasi keilmuan. Fondasi keislaman. Fondasi untuk menyerap pesan-pesan yang lebih tinggi dari Tuhan.

Manusiakah kita?

Anda tidak bisa memberikan ilmu kepada yang bukan manusia. Yang tidak punya adab.

Bayangkan. Kepada seekor anjing, anda wahyukan: “Jangan makan kotoran”. Sudah pasti tidak mau dengar dia, tetap dihabisinya. Kepada sekawanan lembu, anda berkata: “Jangan makan padi orang”. Tidak peduli dia, tetap disikatnya. Kepada kucing-kucing liar, anda berpesan: “Jangan makan ikan di dapur”. Tidak ada urusan bagi kawan itu. Silap kita sedikit, dibawa lari semuanya.

Begitulah. Seringkali kepada suatu kaum Allah berfirman: “Jangan korup”. Kenyataannya, angka korupsi terus naik. Lalu diwahyukan lagi: “Jangan dhalim”. Tapi angka kemungkaran meninggi. Seterusnya diwahyukan: “Jangan suka menebar fitnah”. Tapi hoaks dan pembusukan semakin tajam.

Terkadang kita iseng berpikir, apakah Tuhan telah salah menurunkan wahyu? Kenapa Dia peduli sekali dengan sekelompok ‘hewan’ seperti kita, makhluk yang tidak berakal. Makhluk yang tidak mengetahui baik-buruk atau benar-salah. Makhluk yang hanya mau tau bagaimana cara agar perutnya kenyang dan ambisinya terpuaskan. Mereka yang berbuat kejahatan dan suka menumpahkan darah, itu sebenarnya bukan manusia. Boleh jadi manusia, tapi masih dalam bentuk-bentuk purba, yang belum sepenuhnya berevolusi menjadi insan.

Maka jangan heran, kenapa di daerah yang mungkin saja berstatus “syariah”, ataupun pola bisnis yang boleh jadi mengatasnamakan “syariah”; tapi pelayanannya amburadul. Sektor publiknya terbengkalai. Jalanan berlobang. Angka kemiskinannya tinggi. Korupsinya berantai. Itu mirip Islam yang salah tempat. Islam seharusnya diturunkan kepada manusia. Bukan kepada sekelompok ‘hewan’ liar yang tidak mampu mengemban amanah Tuhan.

Jadi jangan terlalu bersedih hati, ketika negeri anda yang mayoritas penduduknya muslim, bahkan memiliki mazhab yang dijamin masuk surga, tapi perilaku pemerintah dan rakyatnya masih korup. Kalau di scan satu persatu, di zoomkan wujudnya; mungkin sebagian besar bukan orang. Sebagian besar, akalnya belum tumbuh. Kesadarannya belum hidup. Kebetulan saja punya skil seperti burung beo. Sehingga bisa fasih meniru cara baca syahadat, cara sholat, cara puasa, cara bayar zakat dan cara naik haji.

Manusia itu apa?

الانسان حيوان ناطق
al-insan hayawan natiq 

Manusia adalah “makhluk berakal”. Akal itu dimensinya tinggi, karena sudah mampu membedakan baik-buruk dan benar-salah secara “universal”. Benas-salah secara “khusus”, itu hanya bisa diperoleh melalui bisikan/Ilham/wahyu. Akal itu sebuah bentuk “fuad”, kesadaran, yang membawa manusia memahami dimensi-dimensi yang lebih halus. Akal adalah fakultas dalam diri yang membuat kita mengetahui unsur-unsur ontologi yang immateri. Akal adalah perangkat dasar kemanusian yang membuat kita semua menyadari adanya Tuhan. Adanya kebaikan, keindahan dan kesempurnaan. Meskipun tidak mampu melihat dan menjangkau Tuhan, akal telah mampu menyadari keberadaan Tuhan. Akal adalah fondasi ketakwaan.

Karena itulah, agama ini diperuntukkan hanya bagi makhluk yang sudah punya kognisi tinggi. Sudah berakal. Orang berakal adalah orang-orang yang sudah memiliki universal wisdom. Orang berakal tidak lagi suka melakukan kerusuhan. Tidak lagi melakukan penipuan. Tidak lagi melakukan kejahatan-kejahatan yang liar. Orang berakal sudah mulai cenderung kepada kehanifan. Sebab, setiap akan mengambil keputusan, ia akan menguji dirinya: “Apakah ini baik, buruk, benar atau salah?”. Akal akan memberikan arahan-arahan umum kepada kebenaran. Orang berakal pasti akan mengambil jeda sejenak untuk berfikir, sebelum bertindak.

Perilaku tidak mau berfikir, malas berfikir, atau tidak bersedia mencerna konsekwensi yang akan lahir dari sebuah sikap dan tindakan; itu semuanya tabiat hewan. Itulah kenyataan yang sedang kita hadapi. Kita semua beragama Islam. Tidak ada yang bantah itu. Tapi seringkali dalam wujud ‘hewan’. Suka melawan.

Jadi jangan berharap sebuah negara atau provinsi akan maju seketika, hanya gara-gara diberlakukannya syariat Islam. Kalau penduduknya belum menjadi manusia, wahyu tidak akan berguna. Sebab, Islam itu tinggi, dan hanya bisa diusung oleh makhluk berdimensi tinggi. Islam itu wahyu, yang hanya bisa dicerna oleh orang-orang berakal.

Maka, tugas pertama sebelum menerima wahyu, adalah memanusiakan manusia. Mengedukasi diri kita. Perlu waktu yang lama untuk mendidik dan mendisiplinkan masyarakat agar punya kesadaran akal, punya kesadaran ruhani dasar tentang kebenaran. Disinilah kita paham, kenapa ada negara yang mungkin tidak “Islam”, tapi “islami”. Mereka tidak membaca Quran, tapi berperilaku etis. Mereka tidak merujuk ke hadis, tapi berkembang. Sebab, akal universal yang mereka miliki mampu menunjukkan jalan-jalan yang lebih tinggi untuk berkreasi tentang kebaikan. Meskipun juga ada sisi buruk dunia barat yang begitu tendensius dengan belahan dunia lain, yang sebenarnya ini juga bentuk lain dari kegelapan akal mereka.

“Adab/Akhlak”, Memanusiakan Manusia

Tugas memanusiakan manusia adalah tugas-tugas “sufistik”. Tugas-tugas yang melibatkan proses mujahadah. Usulnya manusia adalah binatang (makhluk ego). Makhluk yang mau enaknya saja. Ego ini harus diperas, harus dididik dan didisiplinkan. Di ujung sebuah proses pendisiplinan (ospek) inilah akan lahir Maha Siswa. Tanpa ospek dan bentuk-bentuk self-discipline yang ketat, tidak akan lahir manusia yang sadar dan taat.

Ilmu (dan wahyu), itu hanya cocok diberikan kepada manusia yang telah memiliki kedisiplinan (taat dan beradab). Ilmu yang diberikan kepada orang yang taat dan disiplin, itu akan menjadikannya sebagai “khalifah Tuhan”. Tanpa disiplin dan ketaatan, ilmu hanya akan menjadi alat untuk memperbesar kesombongan. Hanya akan melahirkan setan. Sistem edukasi dan politik kita hari ini, itu seperti cenderung melahirkan iblis, ketimbang manusia. Ilmu terus diperoleh, tapi etika tidak terperbaiki.

Etika itu “kesadaran universal” dari akal. Jadi, sifatnya sangat internal. Etika tidak bisa semata dibangun melalui ceramah dan pengajian. Ceramah dan pengajian, itu untuk mentransfer pengetahuan. Anda tidak bisa mengumpulkan mahasiswa ke masjid untuk diceramahi agama, agar beretika. Etika bukan pengetahuan yang di dikte dari luar. Etika adalah kesadaran ruhani yang seharusnya tumbuh dari dalam. Etika (karakter/akhlak), itu harus dididik lewat pola-pola pendisiplinan yang intensif. Harus dididik dengan cara-cara intensif. Bukan lewat pidato dan ceramah motivasi an sich.

Akhlak dan etika, pada tahap pertama, harus dididik langsung dalam keluarga. Selanjutnya (dalam tradisi Islam), biasanya diteruskan melalui guru-guru spiritual. Usia tujuh tahun, anak harus sudah mulai dididik untuk disiplin sholat oleh orang tuanya. Harus diajak, dibimbing, dipraktikkan. Subuh harus sudah mulai dibangunkan. Ke masjid sudah harus sering dibawa. Mereka harus di-guide secara langsung. Ini bagian dari pendisiplinan. Dikontrol. Diarahkan.

Tidak hanya urusan sholat. Tapi dalam semua bentuk adab keseharian harus dibina. Cara berbicara dengan orang tua, dengan teman dan lainnya. Cara minum, cara makan. Cara duduk, cara jalan. Cara menyapa, cara memperhatikan. Cara peduli dan memberi. Cara menolak dan menarik diri. Cara tidur dan bangun. Cara mandi dan berpakaian, dan lainnya.

Usia 10 tahun, malah sudah boleh “dipukul”, apalagi dimarahi, kalau tidak mau sholat (HR. Abu Dawud). Ini sudah bentuk ospek lebih lanjut. Cara memukul/memarahi saat ospek ini pun ada teknisnya. Ada adabnya. Tidak menyakiti. Tapi mendidik. Tidak perlu dengan suara keras, tapi tegas. Artinya, boleh mendisiplinkan anak dengan cara-cara arif (bukan dengan emosi), kalau anak tidak mau shalat atau tidak mau melaksananakan berbagai kewajiban agama. Tanpa pola-pola yang ketat yang bersifat deontologis (“pemaksaan”) seperti ini, karakter kepatuhan/kesadaran di usia awal anak tidak akan terbentuk.

Tuhan mencari orang-orang “disiplin/pasrah/patuh” (taslim) untuk dititipkan pengetahuan-pengetahuan intuitif (ilham/wahyu). Apa yang dikerjakan Muhammad selama berhari-hari, bermalam-malam, berminggu dan berbulan di Gua Hirak; setiap tahun sejak usia muda hingga dewasa; adalah bentuk lain dari pendisiplinan diri. Ketat memang. Beliau harus menyepi. Berpuasa. Berzikir, dan sebagainya. Itu bentuk latihan membangun rasa, etika, dan spiritualitas terhadap diri, lingkungan dan Tuhannya. Tidak cukup dengan membaca kitab dan mendengar ceramah. Etika, emosi, kesadaran, dan kehalusan rasa adalah sesuatu yang harus dibangun lewat magang dan praktik, lewat mujahadah-mujahadah panjang.

Sering dalam tradisi sufi, seorang murid tidak langsung diberi ilmu oleh sang Guru. Mudah bagi seorang spiritual master untuk “meniupkan” ruh ke dalam ruhani sang murid. Masalahnya, jiwa murid masih bersemayam iblis (ego). Bagaimana mungkin Allah ber-tajalli dalam diri binatang penuh ego. Jiwanya harus terlebih dahulu disucikan (dibersihkan). Karena itu, seorang murid terkadang harus bertahun-tahun bekerja menyapu rumah dan menyikat WC sang Guru, sampai hilang “diri”-nya. Bagi murid yang bebal (penuh setan) mungkin hal ini berat untuk dijalani. Bisa gagal.

Orang-orang yang ego kebinatangannya tidak terjinakkan, kalau diberi amanah memimpin masyarakat, ia pasti tidak akan sungguh-sungguh mengabdi kepada mereka. Ia akan setengah hati melayani manusia. Ia pasti akan jijik dengan permasalahan masyarakatnya. Mengabdi kepada Guru dan orang tuanya saja ia tidak mampu, apalagi berkhitmat kepada Tuhan dan masyarakatnya yang maha luas dan kompleks itu.

Pengabdian kepada orang tua dan kepada Guru, itu pelajaran dasar membangun moral dan etika, dalam upaya berakhlak dan meng-hamba kepada Allah. Semuanya ada dalam bentuk praktik kepatuhan, tatakrama, adab, sopan santun, pola hubungan, model interaksi, cara bersikap dan berperilaku. Ngomong “Ah!” saja tidak boleh (walau dalam hati), sebegitu halusnya. Kalau dasar-dasar keadaban ini sudah terbangun, barulah ilmu bisa ditransfer dalam dirinya. Ketika ego telah pupus, tidak merasa hina dan berat lagi dengan perkhitmatan kepada para kekasih Tuhan, disaat itulah ia sebenarnya telah menjadi “hamba”. Itulah orang yang dicari Tuhan untuk diamanahkan jubah kewalian/kekhalifahan.

Ingat, ilmu yang masuk dalam jiwa yang beradab, itu melahirkan malaikat. Sementara, ilmu yang diajarkan kepada manusia tidak beradab, justru melahirkan iblis. Dari sini kita akan paham. Sebenarnya negeri kita tidak kurang orang cerdas. Jumlah profesor, doktor, jenderal, ulama, ustadz, teknokrat, birokrat, politisi dan profesional semakin bertambah. Kita kekurangan orang yang berakhlak/beretika, yang patuh pada Tuhan. Sebuah alasan, kenapa peradaban di negeri ini belum membaik secara signifikan.

***

Tidak susah mendidik mahasiswa di kelas saya. Ilmu ekonomi dan bisnis, itu gampang cara mengajarinya. Begitu juga dengan anda yang mengajari berbagai mata kuliah lain di aneka fakultas. Ada PowerPoint, kita tinggal bicara. Ada buku, tinggal kita suruh baca. Ada studi kasus, tinggal kita suruh bahas. Ada soal, tinggal kita suruh jawab.

Point untuk disampaikan saat kuliah banyak, bahkan tidak cukup waktu. Yang sulit adalah, bagaimana mentransfer Power (Ruhani) agar ada Tuhan bersama ilmu mereka. Ada adab yang harus terbangun, sehingga mereka menjadi manusia. Syukur kalau jadi malaikat. Karena itu, didiklah adab anda, agar setiap ilmu yang datang menjadi cahaya.

Saya pribadi masih berjuang untuk memperbaiki ini.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

One thought on ““ADAB”, ILMU YANG MELAHIRKAN MALAIKAT

Comments are closed.

Next Post

"PSEUDO-TAUHID": MEMBONGKAR KEPALSUAN AGAMA

Thu Feb 16 , 2023
“Jurnal […]

Kajian Lainnya