HIDUP YANG PENUH RINTANGAN, AZAB ATAU UJIAN?

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 17 | Februari 2023

HIDUP YANG PENUH RINTANGAN, AZAB ATAU UJIAN?
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Hidup untuk mencari kebahagiaan. Mencari ketenangan. Iya!

Tapi, masalahnya, senang dan bahagia itu ada dalam ujian. Tanpa itu, bahagia tidak ada.

Misalnya, kalau mau lulus sekolah untuk menjadi seorang dokter, itu ada serangkaian tugas dan ujian yang harus ditempuh. Berat sekali. Koas-nya minta ampun. Sampai kurang tidur. Makin berat ujian, reward-nya makin tinggi. Prestise yang diperoleh makin besar. Setelah lulus, baru terasa bahagia.

Kalau mau jadi doktor dan profesor juga begitu. Setelah sekolah bertahun-tahun, membuat paper dan disertasi, mengikuti ujian dan sebagainya; setelah lulus baru muncul rasa senang yang luar biasa. Ada kepuasan diujung dari proses itu.

Segala hal berat yang dihadapi manusia, itu adalah ujian kenaikan kelas. Atau ujian untuk memperoleh bahagia. Bahagia ada dalam berbagai bentuk sacrifice yang kita lakukan.

Hidup ini seperti menempuh jalan yang bertingkat-tingkat. Ada “makam” atau leveling-nya. Untuk naik dari satu tingkat ke tingkat lain, itu ada ujiannya. Mungkin karena itulah, surga ke-8 diisi oleh para nabi. Sebab, ujian yang mereka tempuh lebih berat dari yang lain.

Kalau mau berada di surga tertinggi, berarti anda harus menempuh ujian yang berat. Maknanya, ada peran dan tanggungjawab (taklif) yang harus diambil. Ada pengorbanan yang harus kita lakukan untuk diri, keluarga, masyarakat dan Tuhan kita.

Mencari kehidupan yang tenang dan santai, itu manusiawi. Tidak ada yang ingin susah dan serba kekurangan. Tapi, ketika hidup terlalu ‘lurus’ dan hambar, tanpa cobaan, anda harus hati-hati. Boleh jadi, itu pertanda hidup kita sedang tidak bertumbuh. Kalau hidup sudah terlalu tenang, tidak ada lagi tantangan dan misi yang diemban, itu biasanya sudah cukup syarat bagi Tuhan untuk mematikan kita. Dianggap sudah saatnya pensiun dari dunia. Sudah tidak ada guna.

Karena itulah, bagi seorang wali Allah misalnya, ketika tidak ada lagi ujian, biasanya akan gelisah. Mereka curiga, apakah Tuhan tidak lagi ingat kepada mereka? Sebab, normalnya hidup bagi seorang wali, atau seorang nabi, itu memang penuh ujian. Dicaci, dimaki, difitnah, diusir, diperangi dan sebagainya. Namun mereka juga berani menghadapi semua itu. Sehingga ada istilah “ulul azmi”, untuk sejumlah nabi yang dianggap punya ujian lebih berat dari yang lainnya.

Namun ada perbedaan antara kita dengan nabi dalam hal menghadapi ujian. Kita, pada kondisi berat, bisa pesimis dan lari dari Tuhan. Para nabi, mereka justru semakin pasrah untuk mendekat kepada Tuhan. Ibrahim as, apa kurang ujiannya. Berat sekali. Waktu kecil harus meninggalkan anak. Waktu besar, disuruh sembelih anak. Pernah dibakar pula, dan sebagainya. Setelah melewati berbagai ujian, Beliau diangkat Tuhan menjadi “imam” bagi sekalian manusia:

۞ وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهٖمَ رَبُّهٗ بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّ ۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا ۗ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ ۗ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى الظّٰلِمِيْنَ

(Ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai imam bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “(Aku mohon juga) dari sebagian keturunanku.” Allah berfirman, “(Doamu Aku kabulkan, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim” (QS. Al-Baqarah [2]:124)

“Ujian” adalah kesempatan untuk mendekat kepada Tuhan, dalam ikhtiar menyelesaikan sebuah persoalan. Karena itulah, segala bentuk ujian harusnya membawa kita akrab dengan Tuhan. Proses itu sendiri seharusnya menjadi sebuah kebahagiaan. Oleh sebab itu, hati-hati kalau hidup terlalu nyaman. Itu pertanda stagnan. Gerak menuju Tuhan penuh tantangan.

“Islam” adalah jalan (syariah/tariqah) menuju Tuhan, jalan menuju kebahagiaan. Yang namanya “jalan”, itu pasti dinamis. Banyak hal yang akan kita lalui dan hadapi, sebelum sampai di tujuan. Yang akan bahagia hanyalah para salik. Yaitu mereka yang bersedia menempuh jalan, secara ikhlas. Berat memang, tapi itulah jalan (dinamika) menuju bahagia.

***

Yang sulit adalah membedakan antara “ujian”, “kutukan” (azab) dan “kelalaian” (kebodohan). Jangan karena tiba-tiba asam lambung naik, lalu Anda sebut itu ujian. Itu kemungkinan bukan ujian. Itu lebih cocok kita sebut sebagai “azab”, gara-gara terlalu banyak minum sanger. Kalau mau sembuh, segera bertaubat. Jaga pola makan.

Pun kalau tiba-tiba Anda kehilangan kambing dan lembu. Itu belum tentu “ujian”. Bisa jadi karena faktor lalai, lupa mengandangkan mereka. Tapi, kalau sudah maksimal berusaha, sudah menjaga hubungan yang baik dengan Tuhan dan manusia, tapi tiba-tiba mendapat kesulitan; boleh jadi itulah ujiannya. Jadi, kalau Qarun yang kehilangan harta, itu azab. Kalau Ayyub yang jatuh miskin, itu ujian. Anda bisa mencerna, saat mengalami cobaan, ada disisi mana. Apakah sedang durhaka, atau mungkin sedang baik-baiknya dengan Tuhan anda.

Ujian, itu ditujukan kepada orang-orang beriman. Karena itulah, yang paling banyak diuji adalah para nabi dan wali-walinya. Bahkan dikatakan, “tidak beriman sebelum diuji”:

اَحَسِبَ النَّاسُ اَنْ يُّتْرَكُوْٓا اَنْ يَّقُوْلُوْٓا اٰمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُوْنَ

Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan (hanya dengan) berkata, “Kami telah beriman,” sedangkan mereka tidak diuji? (QS. Al-‘Ankabūt [29]: 2)

Oleh karena itu, perlu kecerdasan untuk memahami masalah, musibah atau kesempitan yang kita alami; yang datang silih berganti. Apakah itu ujian, azab atau lalai. Coba periksa, untuk level kita, kemungkinan bukan ujian. Melainkan azab dan cobaan, sebagai efek dari dosa dan lalai kita. Bahkan, tanpa sengaja tertendang batu sampai kaki berdarah, itu terkadang ada hubungan dengan dosa yang baru saja kita perbuat. Belum tentu ujian.

Para sufi biasanya sangat sensitif dan mampu mengaitkan sesuatu yang terjadi dengan asal musababnya. Seperti seorang dokter yang mampu mendiagnosa sebab dari sakit. Mereka mampu membaca “tanda-tanda”. Apakah dikarenakan lalai, dosa atau murni keinginan-Nya.

Jadi, jangan terlalu ge-er merasa sedang diuji. Allah hanya menguji para kekasih-Nya yang sudah tidak lagi melakukan dosa. Untuk orang- orang semacam kita, masalah muncul biasanya karena banyaknya kejahatan dan alpa, baik sengaja atau tidak sengaja. Karena itu, kurangi lalai dan dosa agar hidup stabil lagi. Perbanyak istighfar dan asah akal, agar hidup normal kembali.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Next Post

"QUANTUM TELEPORTATION": TEKNOLOGI ISRAK MIKRAJ

Tue Feb 21 , 2023
“Jurnal […]

Kajian Lainnya