“GELOMBANG BAWAH DAN ATAS SADAR”: KUNCI SUKSES, TENANG DAN BAHAGIA

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 21 | Februari 2023

“GELOMBANG BAWAH DAN ATAS SADAR”: KUNCI SUKSES, TENANG DAN BAHAGIA
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Apa yang kita cari dalam hidup ini?

Salah satu dari banyak jawaban, dan merupakan satu-satunya jawaban yang paling benar adalah: “ketenangan”. Jawaban ini nanti akan kami uraikan, karena merupakan puncak dari pencarian.

Semua orang ingin kaya, ingin maju usahanya, ingin naik jabatannya, ingin selesai sekolahnya, dan sebagainya. Terus, kalau semua capaian itu tidak membuatnya tenang, mau kemana?

Banyak kita lihat orang sukses, yang dalam hidupnya sekilas terlihat sudah memiliki segalanya. Kecuali ketenangan. Berapa banyak artis yang mencapai puncak popularitas, hidupnya mewah, bergelimang uang dan perempuan. Kemudian bunuh diri. Jangan salah, orang miskin juga banyak yang gantung diri. Kaya miskin sama saja, kalau tidak tenang, inginnya mati. Semua pencapaian duniawi akan menjadi beban, manakala tidak diperoleh unsur ketenangan.

Pertanyaan krusial: “Ketika ketenangan tidak bisa diperoleh dari semua pencapaian dunia dan kepemilikan properti, dari mana pula kita bisa mendapatkannya?”

Begini. Ada hal-hal yang bisa kita peroleh dari “dunia luar” (outer world). Ada hal-hal yang hanya bisa kita gapai dari “dunia dalam” (inner world).

Uang yang banyak, jabatan yang tinggi dan istri yang cantik; itu pencapaian dari “dunia luar” (ikhtiar). Silakan bekerja keras untuk mendapatkan semua itu. Sementara kebahagiaan atau ketenangan, itu hasil dari kinerja “dunia dalam” (spiritual). Anda harus masuk ke dalam diri anda sendiri, melakukan “the journey within”, untuk mencapai kebahagiaan dan ketenangan atas semua yang ada.

Karena itu, ada orang yang tidak punya apa-apa secara materi, tapi hidupnya tenang dan bahagia. Sekelompok sufi disinyalir ada pada kategori ini. Mereka telah mampu menggali kebahagiaan dari sumber-sumber terdalam dalam jiwanya, walaupun dalam keadaan faqir. Meskipun ada juga sufi yang kaya raya, sekaligus tenang dan bahagia.

Jadi, “ketenangan” itu sebenarnya apa?

Ketenangan adalah wujud kamil (sempurna) dari spiritualitas kita. Spiritual kita bisa memiliki aneka wujud: bisa dalam bentuk hewan, iblis bahkan malaikat. Bayangkan, sudah dapat istri cantik tapi mata anda masih jelalatan kemana-mana. Masih suka intip yang aneh-aneh. Masih suka cari perempuan lain. Kenapa? Karena jiwa kita masih dalam wujud binatang. Pasti tidak akan pernah tenang, walau disodori 1000 perempuan tercantik di dunia.

Pun, seperti kata hadis, kalau kepada anda diberikan kekayaan berupa emas “sebesar gunung Uhud”, itu juga tidak akan pernah memuaskan. Tidak akan membuat jiwa anda tenang. Sebab, jiwa kita masih dalam kualitas iblis dan binatang. Rakus dan tamak. Bahkan lebih buruk dari itu. “Kal an’am, balhum adhal” (QS. Al-Araf: 179).

Orang-orang yang karakter jiwanya belum dibenahi, setiap memperoleh kesuksesan dunia, itu hanya akan memperburuk kualitas dirinya. Orang pelit, kalau memperoleh harta, itu tidak otomatis membuat ia menjadi dermawan. Bahkan akan semakin pelit. Semakin susah dia dengan semua yang ia miliki. Semakin naik asam lambungnya.

Oleh sebab itu, perjalanan mencari ketenangan atau kebahagiaan adalah perjalanan hakikat. Perjalanan jiwa. Itu wilayah irfan dan tarikat. Wilayah zikir dan khalwat. Wilayah sufistik. Wilayah mujahadah internal dan tazkiyatun nafs. Itu semua merupakan penapakan ruhani menuju kedalaman diri, untuk menemui Tuhan kita.

Semakin dekat dengan Tuhan, semakin tenang dan bahagia kita, secara hakiki. Karena itulah, Quran menggambarkan kondisi ruhani yang tenang ini sebagai “nafsul muthmainnah”, jiwa-jiwa yang dikenal dan dipanggil oleh Tuhan (QS. Al-Fajr: 28-30):

يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ [27] ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ۚ [28] فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْۙ [29] وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ [30]

(27) Wahai jiwa yang tenang; (28) Kembalilah kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai; (29) Lalu, masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku; (30) Dan masuklah ke dalam surga-Ku!” (QS. Al-Fajr [89]: 28-30)

Jiwa yang tenang adalah jiwa yang dekat, atau sudah kembali bersama Allah. Jiwa ini sebenarnya sudah berada di surga. Sudah mampu mencapai rasa tenang dan bahagia. Jiwa ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang sudah ‘mati’ kesadaran materialitasnya. Yang hidup hanya kesadaran ilahiahnya. Inilah jiwa yang ridha, dan diridhai. Ia sudah “nrimo” segala sesuatu yang ia peroleh dari usaha duniawinya. Karena semuanya sudah mampu ia bawa kepada Tuhannya.

Jiwa “muthmainnah” adalah jiwa para ‘abid (‘ibadi, hamba-Ku). Jiwa para pencari Tuhan. Jiwa kaum “khawash”. Bisa jadi ia seorang pekerja keras di dunia, sehingga punya aset dan isi rekening yang berlimpah. Tapi pada saat bersamaan, ia juga seorang “salik”, yang selalu mengisi jiwanya dengan Nurullah (gelombang-gelombang).

Kita boleh saja merasa diri ‘abid, rajin beribadah. Tapi tidak semua ibadah dapat membuat kita mencapai ketenangan. Sebab, sebagian besar ibadah yang kita lakoni, ini justru bermain pada “lapis luar” kesadaran, pada gelombang-gelombang berfrekuensi tegang. Kalau meminjam peta gelombang otak (brainwaves), kita masih sering berkutat pada kesadaran “Beta” (conscious, critical, analytic).

Sementara, untuk masuk ke alam kesadaran ketenangan ilahiyah, paling tidak kita harus membiasakan diri bermain mulai dari gelombang “Alfa” (subsconscious, relaxed reflection), ke “Theta” (superconscious, complete silence and spiritually meditative) sampai ke “Delta” (perjalanan ruh, creative dreaming, spiritual journey). Beruntung jika mampu naik ke gelombang supersadar “Gamma” (spiritually conscious, mukasyafah, bashirah).

Jadi, sekali lagi, jangan anda kira semua orang yang rajin beribadah akan tenang jiwanya. Banyak orang yang melakukan shalat, justru hatinya was-was (yuwaswisufi shudurinnas, QS. Annas: 5). Framework kerja otaknya selalu penuh rasa curiga, sangat kritis dan evaluatif. Yang dicari selalu sisi hitam putih. Yang ditunggu adalah kesalahan orang. Akhirnya jadi ekstrimis. Itu terjadi, kalau ibadah kita terus menerus berada pada level syariat. Sebab, syariat itu sifatnya “pemikiran kritis”. Syariat itu jenis ibadah pada level gelombang “l”Beta”. Penuh kesadaran analitis. Harus logis. Otak kiri. Harus sesuai dengan dalil-dalil sahih yang saya punya.

Bayangkan, ada jamaah shalat, yang sepanjang shalatnya sibuk mengevaluasi bacaan sang imam. Ia memperhatikan secara serius makhraj, tajwid dan fasahah orang yang ada di depannya. Dia kuliti satu persatu ayat yang dibaca imam. Dia mendengar ayat-ayat, hanya untuk menilai apakah tilawahnya benar atau salah. Kerjanya mirip sekali juri saat MTQ. Itu permainan otak semua, pada gelombang “Beta”. Pekerjaan seperti ini hanya akan melahirkan kesimpulan halal haram atau benar salah.

Bukan itu tidak boleh. Boleh. Ada jenis pekerjaan yang memerlukan rasa curiga berlebihan (critical thinking and professional scepticism). Tapi, jika itu digunakan untuk mengakses Dzat Tuhan, justru keliru. Itu akan membuat anda lalai dalam shalat. Shalat, dari seharusnya terfokus kepada Allah sebagai sumber ketenangan, anda justru terjebak dan resah dengan irama bacaan orang. Dari rakaat pertama sampai rakaat terakhir, anda sibuk mengevaluasi orang. Kan kacau itu. Harusnya, kita sibuk mengevaluasi diri sendiri melalui bacaan-bacaan sang imam, yang mungkin saja secara syariat tidak bagus-bagus amat.

Inilah perbedaan antara ahli hakikat dengan ahli syariat. Ahli hakikat sibuk mengoreksi diri. Ahli syariat sibuk mengoreksi orang. Ahli hakikat sudah menegakkan shalat pada level “Alfa”, “Theta”, “Delta” atau bahkan “Gamma”. Ibadah pada level itu sudah memunculkan hormon nikmat dari sebuah amalan. Tidak nampak lagi keburukan dari segala yang ada. Dia sudah ecstatic dengan kondisi yang menyertainya. Dia tidak terpengaruh lagi dengan hal-hal yang sifatnya lahiriah. Dia sudah menemukan kesempurnaan Tuhan pada segala wujud. Para sufi akbar dan ahli irfan, shalatnya seperti itu. Tak ada lagi rasa sakit dalam ibadah. “Tak terasa lagi panah tercabut dari kakinya”. God-consciousnessnya sudah tinggi.

Para Sufi Agung seperti Junaid Baghdadi, Bayazid Bistami, Abu Hamid Al-Ghazali, Jalaluddin Rumi dan lainnya; rata-rata pada awalnya berprofesi sebagai ahli fikih. Hebat-hebat semua. Tapi hidup mereka lama terasa hampa, dengan segala hafalan dan kecerdasannya. Dikemudian hari baru mereka menemukan Allah, setelah belajar turun ke gelombang Alfa, Theta dan Delta. Lalu mengalami kebangkitan diri pada gelombang Gamma. Disini kemudian kecerdasan “supra-rasional”-nya terbangun, sehingga mengalami pencerahan dan ketenangan yang luar biasa.

Bayangkan, jika kesadaran alfa, theta atau gamma ini mampu terus menerus (secara “daim”, QS. Al-Ma’arij: 23) dapat kita hidupkan dalam kesadaran harian. Tidak hanya saat shalat, bahkan dalam seluruh rutinitas pekerjaan. Maka bahagia dan tenang sekali kita. Terasa Allah hadir dimana-mana. Tak ada yang dapat membuat kita susah dan galau.

Karena itu, tenang dan bahagia, adalah sebuah bentuk perbendaharaan tersembunyi (Wujud rahasia Allah) yang ada pada sisi internal kejiwaan kita. Bukan pada prestasi materi. Tenang dan bahagia, itu ada pada bentuk-bentuk gelombang otak yang telah menyentuh ‘arasy, telah mendapat celupan ilahi.

Karena itu, perbaiki diri (jiwa/gelombang otak), maka rasa tenang dan bahagia (peace/taslim) akan hadir. Bahkan, jika jiwa terus menerus diperbaiki (dizikirkan), Allah sendiri yang akan hadir (bertajalli). Sekali Dia hadir, maka bahagia tidak akan pernah pindah. Bentuk enlightenment inilah yang dicari kaum sufi, lewat berbagai mikraj mereka (perjalanan “malam”, berdimensi theta).

Kami teringat bagaimana Abuya Sufimuda, seorang Kutub sufi, berguyon dengan para murid yang sedang dililit utang. “Kalau kalian ingin semua masalah cepat selesai, berzikirlah!”, nasehat Beliau. Semua terdiam, berfikir bahwa utang-utang akan segera terhapus kalau rajin berzikir. Lalu Beliau melanjutkan, “Apakah setelah berzikir semua utang kalian akan lunas?”. Semua terdiam lagi, berharap ada mukjizat akan terjadi hal demikian. Tapi Beliau malah membuat humor, “Tidak! Utang tetap tidak akan lunas dan wajib kalian bayar. Tapi paling tidak, dengan berzikir hidup kalian jadi tenang. Jangan sampai, sudah banyak utang, susah pula hidup kalian”. Semua tertawa.

Memang begitu. Banyak sekali masalah dan tantangan yang kita hadapi dalam hidup. Itu tidak bisa dihapus begitu saja. Harus dihadapi. Tapi zikir dapat membuat jiwa kita “naik” melampaui segala masalah. Sehingga kita menjadi tenang. Tenang inilah yang menjadi modal sukses, modal untuk menghadapi masalah. Dan biasanya banyak solusi hidup akan muncul dari “pintu yang tak kita sangka”, jika kuat zikirnya.

Di Barat, banyak pelatihan yang disediakan untuk memfasilitasi tingkat kesadaran sampai ke maqam “bawah sadar” (Alfa, Theta dan Delta). Bayarannya mahal. Apakah dalam bentuk meditasi (yoga), terapi musik, relaksasi dan lainnya. Dalam Islam, itu semua gratis. Itulah shalat dan zikir, kalau dilakukan secara benar.

Maka carilah guru untuk belajar sholat dan zikir yang dapat membawa anda mencapai kesadaran “bawah sadar” (khusyuk, deep relaxation). Atau bahkan lebih dalam dari itu, bisa meluncur sampai ke maqam “atas sadar” (mengalami penyingkapan batin, muraqabah atau hightened conscious), dimana anda bisa melakukan mikraj untuk mendekati Allah SWT (astral traveling, creative dreaming, visiting other dimension).

“Khusyuk” (bawah dan atas sadar) inilah kunci sukses, menang dan bahagia. Banyak sekali studi yang menjelaskan kaitan kesadaran “subsconsious” and “superconscious” dengan kesuksesan dalam bisnis, politik dan karir lainnya. Banyak studi yang mengungkap bagaimana EQ (alam bawah sadar) dan SQ (alam atas sadar) memberi support lebih pada kesuksesan orang-orang, dibandingkan IQ an sich (alam sadar). Ini sejalan dengan firman Allah, bahwa khusyuk itu senjata sukses orang-orang beriman. Orang “beriman” itu sendiri bermakna orang yang “aman” (tenang). Yaitu orang-orang yang emosi dan ruhaninya sudah diliputi oleh kesadaran intuitive:

قَدْ اَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ ۙ [1] الَّذِيْنَ هُمْ فِيْ صَلَاتِهِمْ خٰشِعُوْنَ [2]

(1) Sungguh, beruntunglah (kesuksesan akan menyertai) orang-orang mukmin; (2) (Yaitu) orang-orang yang khusyuk (terbangun kesadaran alfa dan theta) dalam shalat (dan kesehariannya) (QS. Al-Mu’minūn [23]: 1-2)

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Next Post

SUFISME, IKLAN SANTET DAN OBAT KUAT

Sun Feb 26 , 2023
“Jurnal […]

Kajian Lainnya