“ALASTU BIRABBIKUM”: ALAM DIALOG DAN PENYAKSIAN

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 23 | Februari 2023

ALASTU BIRABBIKUM“: ALAM DIALOG DAN PENYAKSIAN

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Inilah ayat yang menjadi awal, sekaligus akhir tujuan hidup kita, “berjumpa dan berdialog dengan Allah SWT”:

وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا ۛاَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَۙ

“(Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu Adam, keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri mereka sendiri (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami melakukannya) agar pada hari Kiamat kamu (tidak) mengatakan, “Sesungguhnya kami lengah terhadap hal ini,” (QS. Al-A‘rāf [7]: 172).

Alastu birabbikum, qalu bala syahidna. “Apakah Aku ini Tuhanmu? Iya, kami Bersaksi”. Ini bukan ayat imajiner. Dialog dan perjumpaan kita dengan Allah pernah terjadi. Walaupun kita tidak ingat lagi. Tapi ingatan ini dapat dikembalikan, kalau kita menempuh kembali jalan menuju Tuhan.

Al-‘Araf 172. Begitulah kisah perjumpaan dan dialog kita semua dengan Allah, dulu. Sebelum kita lahir ke dunia. Itu terjadi saat kita masih berada di suatu alam (alam ruh/alam rahim) sebelum kita sempurna menjelma menjadi Bani Adam.

Bayangkan, belum lahir, kita sudah bisa berjumpa dan berdialog dengan Tuhan kita. Artinya, kita sejak dulu, sejak sebelum lahir (mendhahir), sudah punya wujud. Dan wujud kita itu mampu menjangkau keberadaan Tuhan kita.

Maka untuk memahami keberadaan wujud kita yang sudah lama ada, yang sudah ada sebelum kita lahir, yang sudah ada sejak jaman azali sampai menempati dimensi jasadi, kita harus membaca “Martabat 7” Ibnu Arabi. Disana ia menjelaskan tentang gradasi wujud dari alam Ahadiyah ke alam Wahidiyah (Baca: “Tauhid, dari Ahadiyah ke Wahidiyah”). Kita sudah punya wujud di alam batin sebelum eksis ke dunia ini. Semua wujud kita, bahkan sampai tercetak ke alam materi, itu bagian dari gradasi penciptaan dari (cahaya) sifat-sifat Ketuhanan (QS. An-Nur: 35).

Hanya saja wujud kita ketika sampai ke alam materi sudah mengalami “kelumpuhan”. Sudah tuli, bisu, dan buta. Sehingga tidak lagi tersambung (rujuk) dengan Allah SWT (QS. Al-Baqarah: 18). Agama pada hakikatnya adalah “jalan” (metodologi) untuk mengembalikan kita ke asal yang suci. Ke wujud asal yang memungkinkan kita untuk kembali berdialog dan menyaksikan rupa Allah SWT.

Wujud fitrah kita adalah ruh. Sebuah wujud yang mengenal Allah. Karena itu, alam yang digambarkan dalam Al-‘Araf 172 adalah sebuah alam ideal (kamil), alam syahadah, alam makrifah, alam hakikah, atau alam ruh (alam wujudiyah sebelum tercetak dalam dimensi/wadah materi). Inilah “alam dialogis”.

Islam sejak awal sudah digambarkan sebagai agama dialogis, bukan meditatif an sich. Ada hubungan interaktif antara Allah dengan hamba-Nya. Maka sejatinya perjalanan kita di dunia adalah perjalanan untuk kembali ke alam “dialog dan penyaksian”. Ini bukan sebuah hal yang utopis (bid’ah atau mengada-ada). Itu adalah sesuatu yang empiris, pernah terjadi, saat kita masih ‘mati’ (belum memperoleh wujud dalam rupa fisikal, masih berupa wujud halus di alam ruh).

Karena itu, perjalanan ini disebut sebagai safar untuk kembali “mati sebelum mati”. Sebenarnya lebih tepat sebagai perjalanan untuk “hidup”. Arti hidup adalah “Hidupnya” Tuhan dalam dimensi kejiwaan kita. Hidupnya qalbu atau ruh. Sehingga kembali dialogis dengan Allah. Para nabi dan urafa, semua mengalami kembali kehidupan seperti ini saat ada di dunia materi (alam dunia).

***

Bagaimana cara kembali ke “alam dialog dan penyaksian”?

Cara kembali ke “alam dialog dan syahadah” adalah dengan menempuh 3 tahapan dalam beragama, yang ketiganya sebenarnya satu kesatuan jalan. Hanya bertingkat-tingkat, atau kedalamannya berbeda: syariat, tariqat, hakikat.

Pertama, “Syariat”.

Syariat adalah “alam syahadat teoritis” (ucapan, lisan). Kata Nabi SAW, “syariat adalah perkataanku”. Syariat adalah dimensi lahiriah dari tariqat. Untuk menjadi makhluk beragama (“Islam”) seseorang memang harus di frame terlebih dahulu dalam identitas. Paling tidak, sekilas sudah terlihat “islami”. Untuk itu, dibuatlah hukum-hukum agar seseorang punya kepatuhan awal terhadap Tuhan (yang Tuhan itu sendiri baginya masih imajiner). Hukum-hukum itu bersifat doktriner dan memaksa.

Itulah syariat, “law for the mass”. Hukum untuk meregulasi masyarakat umum. Yang sudah bersyariat, secara lahiriah sudah dianggap Islam dia. Tapi belum ketemu Tuhan. Tuhan baginya masih berupa sebuah “ilmu” (hipotesa/teori), ilmul yakin. Tuhan masih hanya sebuah nama, yang belum pernah dilihat ataupun dialami keterintegrasian secara langsung (fana/baqa) dengan gelombang-Nya.

Kedua, “Tariqat”.

Tariqat adalah metode untuk mentransform teori (syahadat teoritis) ke hasil yang bersifat konfirmatif (syahadat dialogis). Jadi, tariqat iniberfungsi sebagai metodologi. Tariqat ini adalah mujahadah, cara, teknik dan berbagai bentuk usaha (riyadhah). Kata Nabi, “tariqat adalah perbuatanku”. Tarikat adalah metode, praktik-praktik khusus menuju Tuhan, seperti amalan rahasia di Gua Hirak.

Tariqat adalah batin dari syariat. Tanpa tariqat, syariat menjadi “zombie”. Melalui syariat, agama memang sudah memiliki wujud dan gerak. Tapi hakikatnya mati, tidak ada ruh (ikhlas/jiwa ketuhanan). Tariqatlah yang mengisinya.

Kalau belum betremu Tuhan secara haqq, belum “Islam” kita (secara ruhani). Maka perlu langkah-langkah untuk kembali berjumpa, berdialog dan menyaksikan Tuhan. Langkah-langkah ini disebut “tariqah”, yang artinya “jalan” atau “metode”. Karena itulah, tariqat juga disebut sebagai dimensi lahiriah dari hakikat, atau amalan-amalan sunnah untuk mencapai penyaksian hakiki.

Syariat tidak pernah mampu membawa kita untuk menjumpai Tuhan. Bagi syariat, Tuhan itu “jauh”, “berbeda”, “di langit sana”, “tak serupa”, dan berbagai atribut yang mempersepsikan ketidak mungkinan kita berjumpa Tuhan.

Sementara, Allah itu harus dijumpai. Karena Dia adalah tempat kita kembali. Allah tidak boleh disembah dengan “cek kosong” begitu saja. Penyembahan kita harus “sampai”, harus diterima, harus konfirmatif. Tuhan harus “dilihat” saat disembah. Karena itu, dibutuhkan satu variabel “penghubung” untuk sampai kepada Allah. Variabel itu adalah “tariqah”. Dari syariat tidak bisa langsung lompat ke hakikat/makrifat. Mesti dijembatani, dimoderasi atau dimediasi oleh proses tariqah. Tanpa tariqah, kita mustahil sampai ke Allah. Ilmiahnya begitu.

Karena esensi Tuhan itu bukan dalam wujud lahiriah, maka butuh metode khas untuk mengurai dimensi lahiriah manusia agar menjadi “halus” kembali; seperti wujud asalnya di alam ruh.

Karena itulah tarikat menjadi unik (mungkin juga aneh) karena memiliki kekhasan yang tidak dimiliki oleh syariat. Di syariat, kita cenderung menonjolkan tampilan, bacaan, hafalan, serban, janggut, peci, sarung, celana jingkrang, dan sebagainya itu. Di tariqah, itu pendekatannya sudah agak berbeda. Tariqah metodenya sudah berbentuk iluminatif (memperbaiki unsur-unsur terdalam dari jiwa. Karena itu, tariqat juga disebut sebagai mistisisme Islam. karena sudah berfokus pada penglihatan batin atau “rasa”.

Melalui metode ini, Tuhan mulai dapat disaksikan secara “aini”, ‘ainul yakin. Mata batin anda akan hidup. Anda akan “melihat” atau memiliki firasat-firasat lebih tinggi. Mulai mendapat getaran dan gelombang-gelombang berfrekuensi ilahi (muraqabah). Mulai menangkap sesuatu dengan indera keenam. Tapi belum mampu melihat atau menjumpai Wujud secara “dhahir” atau absolut.

Ketiga, “Hakikat”.

Inilah “syahadat substantif” (penyaksian Dzat, dialogis). Inilah “bashirah”, puncak syahadah. Kata Nabi SAW, “Hakikat adalah penyaksianku”. Karena itu, hakikat adalah batin dari tariqat. Setelah melewati berbagai tahapan (manzilah, maqam atau stations) dalam tariqah, seseorang akan mengalami hal ihwal berupa keterbukaan demi keterbukaan (mukasyafah). Ruhaninya akan kembali mampu melihat dan berbicara dengan Tuhan, sesuai mujahadah yang ia lakukan. Pada tahapan hakikat ini, seseorang mulai mengalami keterjagaan ruhani (yaqazah), datangnya pengawasan (muraqabah) dan senantiasa mendapat panggilan-panggilan dari Tuhan secara langsung.

Di maqam ini, anda sudah mampu berbisik-bisik (berdialog dengan Allah) melalui ragam media tertentu. Tergantung capaian Ruhani masing-masing. Bahkan seorang nabi/imam/wali mampu mengalami tingkat ketersingkapan yang Agung. Firman bisa mengalir secara deras dan langsung (laduni). Tuhan sudah disaksikan secara “Haqq” (Dzati, Esensi). Karena pada hakikatnya sang salik itu sendiri sudah lebur dalam gelombang Ketuhanan.

Jadi, ketika sekelompok orang ada yang begitu kekeh menginginkan kita semua kembali ke “teks” Quran dan Hadis, itu merupakan ajakan kembali ke syariat. Bukan ke tariqat dan hakikat. Silakan, sangat boleh! Tapi jangan sampai kita mati bergelimang teks. Seperti matinya keledai yang tertimbun kitab. Tanpa pernah membawa kita kepada Wajah Tuhan.

Banyak sekali “teks” keagamaan untuk ditafsir dan diikuti. Kalau mau dibaca dan hafal, tak ada habis-habisnya itu. Tapi sayangnya, teks dengan segala tafsirannya itu hanya mendewasakan otak dan akal. Bukan ruh.

Misalnya. Teks tenatng zikir, baik dalam Quran dan hadis, itu berlimpah. Tapi tidak ada pengajaran dalam syariat yang mendidik kita melakukan uzlah dan zikir selama bermalam dan berminggu-minggu seperti Nabi SAW lakukan di Gua Hira (atau nabi-nabi lain lakukan diberbagai tempat rahasia mereka).

Kenapa? Karena amalan di Gua Hira bukan lagi sebatas “perkataan-Ku” (teks syariat). Melainkan sudah masuk dalam kategori “perbuatan-Ku”. Pengalaman gua Hirak adalah implementasi metodologi yang melampaui teks. Bahkan termasuk dalam amalan-amalan yang tidak diurai lewat lisan secara terbuka. Maka jangan cari kumpulan hadis tentang apa spesifiknya amalan Nabi SAW selama bertahun-tahun di kegelapan gua itu.

Karena itu, saudara kita yang Salafi/Wahabi tidak sampai kepada amalan-amalan tariqah seperti ini. Bahkan menolaknya. Karena mereka terkunci pada “perkataan-Ku” (syariat). Mereka terhenti hanya pada catatan/dalil. Tidak masuk ke praktikum khusus untuk memasuki alam-alam yang lebih tinggi.

Karena mereka tidak tau, maka segala sesuatu di luar teks standar yang ada akan disebut “bid’ah”. Padahal, yang diamalkan Nabi SAW di gua Hirak, atau setiap malam di kegelapan kamarnya, juga iktikaf intensif sendirian di rumah saat Ramadhan, yang dengan itu Beliau mampu melakukan “mikraj” ke langit tertinggi, itu juga hadis. Tapi dalam bentuk “perbuatan”, yang dirahasiakan.

Sebenarnya tidak dirahasiakan. Melainkan hanya diajarkan bagi yang sudah siap untuk beragama melampaui teks. Teks dengan praktik itu selalu ada “jarak” (gap). Misalnya, ada teks tentang anjuran “berzikir”. Praktik zikir itu sebenarnya sangat aduhai, tidak sesederhana bunyi teks. Tidak seringkas yang 33 kali setelah shalat itu. Panjang urusannya. Banyak sekali kaifiyat dan kejadian yang dialami yang tidak tercover dalam teks, jika anda menekuni dunia zikir.

Itulah tariqat, jantung dari agama, sisi dalam atau wujud hidup dari teks/Quran/hadis. Bukan untuk dibaca. Tapi untuk dialami, untuk dirasakan getarannya. Karena itulah Khidir melarang Musa as banyak bertanya, saat berguru kepadanya. Karena yang diajar adalah ilmu-ilmu kelanjutan dari syariat. Kalau di syariat membaca itu harus fasih dengan keluar suara. Di tariqat, itu sudah mulai mengobservasi bahasa qalbu, yang ketajaman serta kecepatannya sudah jauh melampaui bahasa syariat. Tuhan hanya bisa diakses dengan bahasa-bahasa kesunyian seperti itu. Bahasa-bahasa yang disounding lewat frekuensi “theta” dan “delta”.

Kasus lain. Ada riwayat yang mengatakan Nabi SAW melaksanakan shalat sampai bengkak kaki. Itu kan “cerita” (syariat/dalil hadis). Terus, apakah anda pernah bengkak kaki gara-gara shalat? Tidak kan? Tarawih 100 rakaat pun tidak akan membuat kaki anda bengkak. Paling-paling membuat jidat sedikit menghitam. Jadi, bagaimana juga untuk mencapai shalat seperti Nabi, yang kakinya sampai bengkak?

Untuk merasakan itu, anda harus menempuh jalan dengan mengamalkan sesuatu yang seperti Nabi SAW lakukan. Bukan sekedar membaca teks. Cari tau dan amalkan, shalat apa yang membuat kaki sampai bengkak dan kapalan. Kebetulan amalan-amalan confidential seperti itu ada dalam khazanah metodologi tariqat (ilmu-ilmu yang mempertajam segala bentuk adab, perbuatan atau amalan Nabi).

Jadi, “ahli syariat” adalah orang-orang yang menghafal apa yang dikatakan Nabi. Sementara “ahli tariqat dan hakikat”, adalah orang-orang yang melakukan apa yang dilakukan Nabi; dan mengalami keajaiban-keajaiban spiritual seperti yang dialami Nabi. Karena itulah dunia sufi penuh keajaiban (mukjizat/miracles).

Agama ini pada puncaknya, seharusnya, adalah “pengalaman”. Bukan lagi hafalan. bukan lagi bacaan. Tapi sudah menjadi “ummi”. Dimensinya sudah penyaksian (perjumpaan ruhani) dan keterbukaan pintu-pintu rahasia. Membaca pun sebenarnya ada tujuan-tujuan praktis. Bukan untuk sekedar tau an sich.

Karenanya, agama itu berjenjang/berkelas. Ada kelas dasar (SD), kelas menengah (SMP) dan kelas advance (SMU/universitas). Syariat itu kelas SD. Tariqat itu kelas SMP. Sedangkan hakikat itu kelas SMU/universitas. Semuanya ada dalam satu kurikulum perjalanan. Tidak terpisah.

Semakin tinggi kelas anda, semakin memperjelas apa yang sudah pernah dibahas di bawahnya, dalam pemahaman dan kegunaan-kegunaan lebih tinggi. Bahkan membongkar apa yang sebelumnya ternyata hanya kulit kacangnya saja. Sebab, semakin ke atas, itu semakin masuk ke inti dari agama. Semakin dekat dengan hakikat dari pengetahuan. Semakin ilmiah, semakin empirik, semakin mengalami, semakin aktual, semakin nyata, dan semakin mencerahkan.

Harapannya, kita tidak terus beragama di level sekolah dasar. Karena, inti pendidikan itu harus tamat 12 tahun (dari SD sampai SMU). Harus sampai ke tingkat hakikat/makrifat. Harus melampaui hafalan sifat 20 yang pernah diajarkan di SD. Harus ketemu Wujudnya, melampaui hafalan-hafalan itu.

Karena itu kita heran, ketika ada orang yang masih terus menerus terkunci di alam syariat. Tidak pernah menempuh jalan para nabi, untuk beragama sampai ke alam hakikat. Kalau ditanya kenapa begitu, mereka menjawab: “Sempurnakan dulu syariat, sebelum belajar tariqat”.

Pertanyaannya, kapan syariat bisa sempurna, kalau tidak diupgrade ke level tariqat dan hakikat? Kapan siswa SD akan sempurna semua ilmu-ilmu dasarnya, kalau tidak mau melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP. Apakah ia ingin terus-menerus di bangku SD sampai tua, agar sempurna ilmu-ilmu SD nya itu? Apakah anda mau sampai mati berada di ruang kelas dasar hanya dengan tujuan untuk menyempurnakan ilmu syariat anda? Ilmunya saja masih tingkat SD, kapan bisa sempurna?

Syariat, tariqat dan hakikat; itu ilmunya satu. Tidak boleh terputus. Harus terus dibangun, diupgrade dan dijalani sampai ke tingkat tertinggi. Tidak boleh mandeg di dasar terus menerus. Ketiganya adalah satu kesatuan kesempurnaan dalam menuju Tuhan. Kurang-kurang sedikit diawal, tidak masalah. Sekolah terus ke tingkat berikutnya. Nanti Allah yang akan sempurnakan.

***

Syariat adalah teks dasar (“perkataan-Ku”). Tariqat adalah metodologi/jalan (“perbuatan-Ku”). Hakikat adalah buah/hasil pencapaian/syahadah (“penglihatan-Ku”). Perkataan (teori), perbuatan (metodologi), dan hasil (outcome); walau wujudnya terkesan berbeda-beda, itu hakikatnya satu kesatuan. Kita harus menempuh ketiganya, untuk menuju “alam dialog dan penyaksian.” Itulah jalan ilmiah untuk menuju Tuhan.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

5 thoughts on ““ALASTU BIRABBIKUM”: ALAM DIALOG DAN PENYAKSIAN

  1. Tak se-indah dulu sekarang artikelnya banyak sampah iklan. Ini kan Sufikomersilisme…atau entah apa lah namanya. Bang Said memang anak Akutansi. Punya hitung-hitungan dan anak Akutansi mestinya beda dengan anak Manajemen dan anak Perisahan yg dihutung laba, kalau Anak Akutannsi katanya nggak pernah cari keuntungan, yang Neraca Rugi Laba. Saya ingat sekali esemsi postingan itu. Tapi buktinya sekarang anak Akutansi sudah mencari keuntungan. Salam No. Mhs 2210/1978
    Sujarwo.

Comments are closed.

Next Post

"SPIRITUAL BRAINWAVES": MENATA GELOMBANG YANG BERKESADARAN ILAHI

Tue Feb 28 , 2023
“Jurnal […]

Kajian Lainnya