“MIN SULALATIN MIN TIN”: ADAM TERCIPTA DARI TANAH, TANAH TERCIPTA DARI APA?

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 27 | Maret 2023

“MIN SULALATIN MIN TIN”: ADAM TERCIPTA DARI TANAH, TANAH TERCIPTA DARI APA?
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

MIN SULALATIN MIN TIN artinya “dari silsilahnya tanah”. Ternyata, tanah itu juga punya saripati/silsilah. Artinya, penciptaan manusia tidak terhenti pada elemen tanah, melainkan ada usul yang lebih dalam dari itu. Inilah yang mau kita bahas!

SAID MUNIRUDDIN, “THE SUFICADEMIC”

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Adam tercipta dari tanah. Tanah tercipta dari apa?

Ini pertanyaan advance untuk melacak eksistensi manusia. Kalau kita menemukan jawaban yang utuh tentang asal usul kita, akan terbangun kesadaran berbeda dalam memahami segala sesuatu.

Proses Penciptaan Manusia, dari Air atau Tanah?

ADA ayat yang mengatakan manusia tercipta dari unsur tanah. Ada juga dari elemen air. Nanti juga akan kita ketahui kita ini berasal dari partikel cahaya. Yang benar yang mana?

SAID MUNIRUDDIN, “THE SUFICADEMIC”

Secara umum, semua sudah paham, manusia tercipta dari “tanah”. Walau secara saintifik, ini masih bisa kita uji.

Coba ingat kembali.

Pertama, saat terjadinya kita. Asalnya kan air mani atau sperma. Namanya saja “air”, bukan tanah. Kita tercipta dari air, bukan dari tanah. Karena itu dikatakan, “Bukankah Kami menciptakanmu dari air yang hina (maa-in Mahin)? QS. Al-Mursalāt: 20. Coba cek unsur kimiawi air (mani/sperma), apakah sama dengan tanah?

Tidak!

Unsur kimiawi air: H2O. Sedangkan air mani atau sperma terdiri dari berbagai senyawa seperti: protein, karbohidrat, lemak, kolesterol, US AKG Kalium, tembaga dan seng. Sedangkan rumus kimia tanah adalah Al2032SiO22H20 dengan perbandingan berat dari unsur-unsurnya; 47% oksida silinium (SiO2), 39% oksida aluminium (Al2O3) dan 14% air (H20).

Kedua, coba lihat bagian tubuh kita, bagian mana yang tanah. Coba sayat kulit, daging atau tulang anda. Lalu bawa sampelnya ke lab kimia. Coba suruh periksa, bagian mana yang unsurnya terbuat dari tanah? Tidak ada. Karena, unsur kimiawi organ manusia beda dengan unsur kimiawi tanah.

Lalu apa maksudnya ketika Quran mengatakan, bahwa manusia diciptakan dari “tanah”? Bukan Qurannya salah ya. Tapi pemikiran kita tentang “tanah” dan proses penciptaan perlu diperdalam lagi. Sebab, tidak ada tanah di tubuh manusia. Kecuali Anda sudah berdebu atau main tanah di sawah. Itu ada tanah yang lengket di tubuh Anda.

Jadi, kalau melihat proses biologis kejadian manusia, itu tidak secara langsung tercipta dari tanah. Tidak ada pabrik yang memproduksi manusia dari tanah liat, seperti proses produksi keramik-keramik dari tanah. Tidak ada tanah yang dimasukkan ke rahim lalu jadi manusia.

Maka kemudian kita bisa berargumen, bahwa yang benar-benar tercipta dari tanah, itu adalah manusia pertama: Adam. Selanjutnya, keturunannya tercipta melalui proses biologis. Melalui “air yang hina” (mani).

Ini juga tidak sepenuhnya benar. Sebab, Quran juga menggambarkan bahwa anak cucu Adam (Bani Adam) juga mengalami penciptaan yang sama dengan Adam, dari tanah. Seolah-olah tercipta langsung dari tanah, seperti imajinasi kita terhadap penciptaan Adam. Ini disebutkan di Aali Imran 59-61: “Isa diciptakan dari Tanah”; Al-Hajj 5: “umat manusia diciptakan dari tanah”; Kahfi 37: “kafir diciptakan dari tanah”; Shaffat: “11 kaum musyrik mekkah diciptakan dari tanah liat”.

Kalau kita berimajinasi bahwa Adam tercipta langsung dari tanah liat, filmnya seperti ini: Allah mengambil tanah dari suatu tempat. Lalu tanah itu ditumbuk-tumbuk. Dibulat-bulatin. Lalu diukir jadi manusia. Ditiup ruh, hidup dia. Persis seperti orang buat patung manusia dari lempung pasir atau tanah liat. Dalam konteks ini, kita juga akan membayangkan bagaimana Tuhan punya tangan untuk langsung mengerjakan hal-hal teknis seperti itu!

Namun kita juga percaya, kalau sampel tubuh Adam kita periksa akan sama seperti kita, tidak ada unsur tanahnya. Kita bisa saja mengklaim bahwa teknologi Tuhan terlalu canggih, di luar jangkauan kita. Sehingga bisa mengolah tanah menjadi sosok Adam yang bukan lagi murni terdiri dari senyawa tanah.

Kita bisa berimajinasi, berspekulasi macam-macam. Tentu Maha Suci Allah dari segala bentuk hayalan kita. Subhana rabbika rabbil ‘izzati ‘amma yasifun (QS. Shaffat: 180-182). Karena tidak berani terlalu jauh menghayal, kita kunci semua proses ini dalam kalimat: Kun, Fayakun!

Kalau sudah memakai kalimat ini, sudah kita tutup semua pintu ijtihad dan pemikiran. Walau sesungguhnya, dibalik kalimat ini, ada sejarah panjang tentang penciptaan, kalau kita mau sedikit saja berfikir. Kenapa harus takut berfikir tentang ciptaan-Nya? Adam adalah bagian dari alam semesta. Adam masuk dalam kategori riset dan pemikiran kita.

Kalau kita ikuti alur sains tentang penciptaan makhluk di bumi, ceritanya akan berbeda. Adam yang kita kenal bukanlah manusia pertama. Ada banyak adam atau spesies makhluk yang sebelumnya telah diciptakan Allah. Karena itu kita kenal ada berbagai manusia purba seperti Homo Neanderthal dan lainnya sebelum muncul Homo Sapiens (Adam). Tapi sudah punah semua. Alquran menggambarkan makhluk sebelum Adam ini sebagai suka “menumpahkan darah” (QS. Al-Baqarah: 30). Tentang ini, baca kajian sufistik kita terdahulu: “Adam (bukan) Manusia Pertama”.

Kalau merujuk ke sains, kita juga akan diberikan informasi-informasi menarik. Bumi sudah tercipta milyaran tahun lalu. Kemunculan makhluk terjadi sesuai hukum-hukum Tuhan yang berlaku di alam. Asal usul makhluk, itu dari “air”. Semua makhluk yang melata dimuka bumi, itu berevolusi dari unsur air. Mulai dari yang selnya sederhana sampai berkembang menjadi sangat kompleks.

اَوَلَمْ يَرَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَنَّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنٰهُمَاۗ وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاۤءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّۗ اَفَلَا يُؤْمِنُوْنَ

“Apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi, keduanya, dahulu menyatu, kemudian Kami memisahkan keduanya dan Kami menjadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air? Maka, tidakkah mereka beriman?” (QS. Al-Anbiyā’ [21]: 30)

Quran juga mengatakan bahwa semua “makhluk melata” (dabbah) dimuka bumi tercipta dari “air”:

وَاللّٰهُ خَلَقَ كُلَّ دَاۤبَّةٍ مِّنْ مَّاۤءٍۚ فَمِنْهُمْ مَّنْ يَّمْشِيْ عَلٰى بَطْنِهٖۚ وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّمْشِيْ عَلٰى رِجْلَيْنِۚ وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّمْشِيْ عَلٰٓى اَرْبَعٍۗ يَخْلُقُ اللّٰهُ مَا يَشَاۤءُۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

“Allah menciptakan semua jenis makhluk dari air. Sebagian berjalan dengan perutnya, sebagian berjalan dengan dua kaki, dan sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. An-Nūr [24]: 45)

Kelihatannya, Quran berbicara “Teori Penciptaan” dalam berbagai perspektif. Dari “tanah”, “air” dan nanti juga akan kita temukan elemen lainnya seperti “cahaya”. Disinilah kita harus mampu memecahkan berbagai petunjuk itu secara baik. Akan sangat sulit bagi kita untuk memahami asal kejadian dalam perspektif sains jika sudah terkotak dalam pemikiran keagamaan yang rigid.

Kita tidak bisa menolak sains mentah-mentah. Kalau itu kita lakukan, jadi penganut agama kuno kita. Kristen pernah mengalami kemunduran, karena menolak sains yang dianggap berlawanan dengan doktrin gereja/Injil. Apakah kita akan mengulang hal yang sama? Namun kita juga tidak menerima sains secara absolute. Sebab bangunan sains juga dibangun secara bertahap.

Kita juga tidak menolak Quran, yang boleh jadi sekilas ada ayat-ayatnya yang berlawanan dengan sains. Sebenarnya tidak berlawanan. Seringkali bahasa Quran terlalu tinggi. Pemahaman kosa katanya bisa sangat beragam. Makna dan kandungan Quran juga ditangkap secara berbeda, sesuai kapasitas ilmu di masing zaman. Pun yang intelegensinya rendah (basyariah) akan memahami Quran secara tekstual. Yang kesadarannya sudah lebih tinggi (insaniyah), mungkin lebih mampu menjangkau pesan-pesan tersembunyi dari Kalam Tuhan.

Mata Rantai Kejadian Manusia: Perspektif Material (Atomik)

DALAM perspektif “The Atomic Adam”, manusia tercipta dari tanah.

SAID MUNIRUDDIN, “THE SUFICADEMIC”

Quran, selain bicara penciptaan manusia (seolah-olah langsung) dari tanah, juga menyajikan fakta saintifik mata rantai sulalatin, silsilah, asal usul atau kekadian manusia. Misalnya di surah Al-Mukminun 12-14:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ (12) ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ (13) ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ ۚ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ (14)

[12] “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari saripati (silsilah/asal usul) dari tanah; [13] Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim); [14] Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik” (QS. Al-Mukminun: 12-14)

Tiga ayat di surah Al-mukminun ini membuka sedikit informasi tentang “mata rantai” biologis kejadian manusia. Disini jelas, proses penciptaan bukan langsung dari tanah. Tapi ada prosesnya:

Dari saripati dari tanah (min sulalatin min thin) >> air mani (nutfah) >> segumpal darah (‘alaqah) >> segumpal daging (mudgah) >> tulang belulang (‘idhaman) >> dibungkus daging (lahman) >> makhluk selanjutnya (khalaqan akhar)

Meskipun disebut di banyak ayat tercipta dari tanah, ayat 12-14 Al-Mukminun sedikit melembutkan redaksinya. Asal manusia bukan murni tanah. Melainkan dari “saripati” dari tanah (min sulalatin min thin).

Tapi, karena saripati ini berasal dari tanah, maka disederhanakan sebagai “tanah”. Kebanyakan kita menafsirkan, semua yang kita makan berasal dari unsur yang tumbuh dan hidup di tanah. Karenanya, kita semua adalah berasal dari tanah. Walaupun itu sebenarnya bukanlah tanah.

Ada catatan penting dari 3 ayat ini. Al-mukminun ayat 14 diakhiri dengan kata-kata “makhluk yang lain” (khalaqan akhar). Artinya, proses kejadian manusia masih berlanjut; sampai lahir bahkan menjadi manusia dewasa yang sempurna secara fisik. Bahkan dilanjutkan ke ayat 15 dan 16. Manusia dikatakan terus berevolusi sampai mati dan kemudian wujudnya akan mengalami kebangkitan lagi:

ثُمَّ اِنَّكُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ لَمَيِّتُوْنَ ۗ (15) ثُمَّ اِنَّكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ تُبْعَثُوْنَ (16)

(15) “Kemudian, sesungguhnya kamu setelah itu benar-benar akan mati; (16) Kemudian, sesungguhnya kamu pada hari Kiamat akan dibangkitkan” (QS. Al-Mu’minūn [23]: 15-16)

Ada catatan penting lainnya dari Al-Mukminun ayat 12. Ayat ini menceritakan kejadian manusia dimulai dari kata-kata “dari saripati dari tanah” (min sulalatin min tin). Sekilas, ayat ini meneguhkan unsur “tanah” dalam penciptaan manusia. Manusia adalah makhluk materi. Ini seakan menjadi perspektif “materialisme” dari Quran terhadap wujud manusia. Manusia adalah tanah.

Ternyata, tanah itu punya “saripati”. Bahasa arabnya adalah “sulalatin”. Sulalah juga berarti silsilah atau asal usul. Min sulalatin min tin juga berarti “dari silsilah/asal usul dari tanah”. Tanah juga ada silsilahnya. Eksistensi unsur tanah masih bisa dilacak/diurai ke partikel-partikel (saripati) terkecil yang membentuknya. Tanah yang merupakan salah satu dari wujud materi, sebagaimana kemudian dibuktikan oleh para fisikawan, itu tersusun atau bersilsilah kepada unsur-unsur “atom”.

“Atom adalah unit terkecil, atau saripati dari materi”, begitu kata ilmuan. Itu tidak terbantahkan. Itu pengetahuan universal sejak era Yunani, yang dikonfirmasi oleh sains moderen. Apa yang dalam bahasa Yunani disebut “atom/atomos”, bermiripan dengan yang dikatakan Quran sebagai “al-tin”. Tin atau altin adalah “atom”. Saripati tanah, itulah “atom” (al-tin). Tanah tersusun dari unsur-unsur “atom” (al-tin), partikel terkecil dari materi.

Jadi, dalam perspektif materi, manusia tercipta dari “atom”. Atom merupakan saripati tanah, elemen terkecil dari materi.

Mata Rantai Kejadian Manusia: Perspektif Cahaya (Kuantumik)

DALAM perspektif “The Quantumic Adam”, manusia bersilsilah kepada elemen cahaya.

SAID MUNIRUDDIn, “THE SUFICADEMIC”

Baik. Sekarang kita bedah lebih dalam.

Manusia tercipta dari unsur materi, “tanah” atau atom. Terus, tanah (atom) tercipta/tersusun dari apa? Apakah atom masih punya “saripati”, atau masih bisa diurai kepada elemen/silsilah lebih kecil?

Kalau ini dijadikan bahan penelitian lebih lanjut, akan terungkap informasi baru. Awalnya, selama satu milenium, sejak zaman Yunani kuno (era Leucippus dan Democritus, 450 SM) sampai era fisika klasik (sejak Newton sampai ke Dalton, Thomson, Rutherford, Bohr), bahwa ide atom sebagai partikel terkecil dari materi yang tidak dapat terbagi lagi, tidak terbantahkan. Baru kemudian diawal 1900, setelah serangkaian penelitian oleh Heisenberg, Schrodinger, Max Planck ataupun Albert Einstein, muncul gebrakan baru yang mampu membongkar struktur subatom. Sehingga memunculkan fakta baru sains materi. Teori ini kemudian memudahkan kita memahami kandungan-kandungan terdalam dari Quran ketika berbicara tentang cahaya, sesuatu yang belum dapat dijelaskan secara baik oleh ulama dan para penafsir sebelumnya.

Ternyata atom punya inti; yang tersusun dari proton, neutron dan awan elektron. Proton dan neutron tersusun lagi dari unsur hadron. Hadron ini terbentuk dari kumpulan cahaya, yang disebut “kuark” (quark). Kuark ini adalah gelombang listrik (elektromagnetik) atau cahaya. Cahaya bukanlah materi. Justru cahayalah yang membentuk/menyusun materi (atom/tanah).

Menurut fisika kuantum, kita ini sebenarnya tercipta dari “cahaya”. Kita ini bukan materi, apalagi tanah. Sebab, unsur terkecil dari materi itu adalah atom. Dan atom bukan “tanah”. Atom tersusun dari unsur-unsur sub-atomik, yaitu kuark (pusaran cahaya). Pusaran cahaya memberi pancaran ke dunia lebih luar, sampai membentuk materi. Tanah (materi) tercipta dari cahaya (non-materi).

Manusia adalah makhluk yang tercipta dari “cahaya”. Karena itulah Quran banyak bicara ayat tentang cahaya. Setiap berbicara substansi manusia, Quran akan bicara “cahaya”. Alam semesta, semua yang ada, itu tercipta dari “cahaya”. Dan Allah adalah sumber dari cahaya itu.

Artinya, kalau kita telusuri asal usul (silsilah/saripati) cahaya, ujung mata rantainya akan sampai kepada Allah. Kita semua berasal dari Allah. Gradasi kejadian, asal usul kita, itu adalah Allah, “Cahaya di atas Cahaya” (QS. An-Nur: 35):

۞ اَللّٰهُ نُوْرُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ مَثَلُ نُوْرِهٖ كَمِشْكٰوةٍ فِيْهَا مِصْبَاحٌۗ اَلْمِصْبَاحُ فِيْ زُجَاجَةٍۗ اَلزُّجَاجَةُ كَاَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُّوْقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُّبٰرَكَةٍ زَيْتُوْنَةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَّلَا غَرْبِيَّةٍۙ يَّكَادُ زَيْتُهَا يُضِيْۤءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌۗ نُوْرٌ عَلٰى نُوْرٍۗ يَهْدِى اللّٰهُ لِنُوْرِهٖ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَيَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَمْثَالَ لِلنَّاسِۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ۙ

“Allah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya seperti sebuah lubang yang tidak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang (yang berkilauan seperti) mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). Allah memberi petunjuk menuju cahaya-Nya kepada orang yang Dia kehendaki. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. An-Nūr [24]:35)

Kita ini sebenarnya bagian dari dimensi yang “Ahad”. Kita memiliki kesatuan dengan Asal Usul kita. Tidak ada ruang kosong, atau hubungan yang terputus dengan-Nya. Dia bahkan “lebih dekat dari urat leher” (QS. Qaf: 16). Hanya saja penampakan lahiriahnya berbeda, seolah-olah ada ruang kosong atau sekat antara kita dengan Allah. Dimensi kita dengan Allah, seolah-olah berbeda. Kita ini seolah-olah makhluk materi (jasad atomik/tanah), yang tidak memiliki DNA yang sama dengan Tuhan kita.

Pada dimensi kasar (partikular) kita memang “wujud atomik” (tanah/materi). Kita tidak sadar, pada sublevel materi, kita adalah “wujud energi” (cahaya). Mata rantai gelombang energi ini tersambung sampai kepada Allah SWT:

PROSES TERJADI:
Allah >> Cahaya >> Atom/Tanah >> Manusia

PROSES KEMBALI:
Manusia >> Atom/Tanah >> Cahaya >> Allah

Manusia (Adam) adalah Makhluk Sempurna

MANUSIA (adam) adalah makhluk berakal (hayawanun natiq) dan berdimensi tinggi (ahsanu taqwim). Karena itu mereka punya freewill, bisa memilih; menjadi iblis atau malaikat.

SAID MUNIRUDDIn, “THE SUFICADEMIC”

Manusia adalah makhluk sempurna, tecipta dari berbagai elemen (laqad khalaqnal insana fi ahsani taqwim, QS. At-Tin: 4). Baik elemen ruhiyah/cahaya, maupun elemen dasar alam (i.e., tanah, air, angin dan api). Dengan kata lain, silsilah kita ada dua: “Silsilah kuantumik” (sulalatin min nur) dan “silsilah atomik” (sulalatin min tin), Pada wujud hakiki, kita ini makhluk yang tercipta dari “cahaya”, yang berasal dari Allah. Lalu cahaya ini berevolusi menjadi atom (“tanah”/materi). Kita pada asal yang lebih tinggi adalah makhluk immateri (the quantumic adam). Pada asal yang rendah, kita telah mengalami materialisasi (the atomic adam).

Adam, pada satu sisi, itu makhluk rendah. Tanah dia. Manusia biasa. Maka jangan pernah menghormati tanah pada wujud lahiriahnya, bisa sesat Anda. Tapi, ketika Anda menyadari bahwa Adam adalah cahaya, dan telah tersambung dengan keseluruhan Asma-Nya, Anda harus sujud kepadanya. Sebab, ada mata rantai Ruhani (cahaya) dalam dirinya yang wushul (tersambung) kepada Allah SWT. Karena itulah, Adam diangkat jadi khalifah (QS. Al-Baqarah: 30). Karena pada maqam kuantumik (insaniyah), ia merupakan wujud tajalli, jaringan/pancaran energi dari Allah.

Memahami diri, siapa Anda, itu pekerjaan kompleks dalam beragama. Pemahaman bahwa kita adalah tanah, itu pengetahuan klasik. Itu pemahaman pada level dasar syariat. Pada konteks syariat, pemahaman thaharah sekalipun, itu diarahkan pada bentuk-bentuk penyucian badan (unsur fisik/materi/tanah). Kalau kita sudah sampai pada kesadaran kuantumik, proses thaharah ditujukan untuk penyucian unsur-unsur Ruhani (cahaya). Karena itu unsur yang punya kecepatan tinggi untuk membawa kita dan amalan-amalan kita kesisi Allah SWT. Ikhlas misalnya, itu unsur yang sangat batiniah, berada pada level kuantumik (cahaya).

Kalau anda berada pada level kesadaran sebagai “makhluk atomik” (tanah/basyar/biologis), Anda akan merasakan kebutuhan untuk makan, minum dan tidur. Begitu kesadaran Anda naik ke level kuantumik, Anda akan menjadi makhluk yang kebutuhannya hanya bertasbih/berzikir kepada Allah SWT. Bagi yang sudah mengalami iluminasi jiwa, asupan gizinya sudah berbeda. Ciri-ciri makhluk cahaya, itu sudah hilang kesadaran materialnya (fana), sudah terkurangi bahkan hilang kebutuhan makan dan tidurnya. Sering berpuasa pada siangnya, dan selalu terjaga untuk beribadah pada malamnya.

Dari sini Anda akan sadar, sebenarnya “malaikat” itu siapa. Malaikat itu apanya Anda. Malaikat itu ada dibagian mananya Anda. Kalau malaikat masih gaib bagi kita, Allah pasti lebih pasti gaib. Kalau malaikat belum bisa kita temui, belum bisa kita saksikan dan rasakan; Allah sudah pasti lebih sulit lagi untuk dijangkau. Saksikan dulu unsur-unsur malakut (cahaya) dalam diri kita, supaya kita mampu bermikraj (terbang/tersambung) ke hadirat Allah SWT.

Karena itu, ada petunjuk khusus dalam tradisi sufisme (irfan/tariqah): “Man ‘arafa nafsahu, ‘arafa rabbahu“. Siapa yang mengenal dirinya, akan kenal Tuhannya. Perjalanan untuk mengenal Allah adalah proses “internal search”, perjalanan untuk mengenal diri; dari kesadaran atomik ke kesadaran kuantumik. Melalui bimbingan para wali (master spiritual), melalui suluk dan zikir, pelan-pelan kesadaran lahiriah (atomik) kita akan diliputi oleh berbagai kesadaran bashirah (kuantumik). Pada tulisan terdahulu, kami menyebut proses perbaikan cahaya dalam diri sebagai perjalanan untuk memperbaiki gelombang elektromagnetik otak/Ruhani (Baca: “Spiritual Brainwaves: Menata Gelombang yang Berkesadaran Ilahi”).

Jadi, manusia itu hakikatnya adalah “makhluk cahaya”, makhluk yang terlahir dalam keadaan fitrah (suci). Tapi perjalanan hidup yang materialistik, telah membuat kita ingkar dan tidak patuh kepada Allah. Maka kita pun menjadi iblis. Karena itu jangan susah-susah mencari iblis ke luar sana. Tidak perlu mistis-mistis sekali untuk memahami iblis. Karena iblis itu adalah kita semua, para malaikat yang takabur kepada Allah.

Karena itulah dikatakan, manusia dengan kemampuan inteleknya (hayawanun natiq) adalah makhluk diantara iblis dan malaikat. Manusia adalah makhluk yang berada ditempat yang tinggi (al-‘araf), makhluk diantara tepian surga dan neraka (Baca: “Sapiens, Makhluk Diantara Dinding Surga dan Neraka”). Kalau unsur tanah cenderung didominasi oleh unsur “api” (panas), jadi iblis kita. Sebaliknya, kalau gelombang kesadaran cahaya menguat dalam jiwa, jadi malaikat kita. Kita bisa memilih, kita punya freewill, untuk menjadi iblis ataupun menjadi malaikat. Menjadi ingkar atau sebaliknya, patuh/pasrah secara total (taslim) kepada Allah, dan siapapun imam/khalifah yang ditunjuk-Nya!

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

8 thoughts on ““MIN SULALATIN MIN TIN”: ADAM TERCIPTA DARI TANAH, TANAH TERCIPTA DARI APA?

Comments are closed.

Next Post

"WA AQIMISH SHALATA LIZIKRI": MENGENAL DUA BENTUK SHALAT, FORMAL DAN SUPRA-FORMAL

Mon Mar 6 , 2023
“Jurnal […]

Kajian Lainnya