“WA AQIMISH SHALATA LIZIKRI”: MENGENAL DUA BENTUK SHALAT, FORMAL DAN SUPRA-FORMAL

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 28 | Maret 2023

“WA AQIMISH SHALATA LIZIKRI”: MENGENAL DUA BENTUK SHALAT, FORMAL DAN SUPRA-FORMAL
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Shalat ada dua bentuk: formal dan supra-formal.

SHALAT ada dua bentuk: formal dan supra-formal.

SAID MUNIRUDDIn, “THe suficademic”

Shalat Formal

Shalat formal adalah shalat yang biasa kita lakukan pada 5 waktu: subuh, dhuhur, ashar, magrib dan isya. Biasanya, 5-10 selesai kita kerjakan itu. Tidak lama. Singkat sekali.

Shalat ini bentuknya sangat “statis”. Tidak ada pengalaman Ruhani yang berarti yang anda dapatkan, bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Sebab, waktunya sangat singkat. Selain itu, kita cenderung melakukan ibadah ini dalam keadaan “sadar”, dalam gelombang kesadaran “Beta” (BACA: “Spiritual Brainwaves, Menata Gelombang yang Berkesadaran Ilahi”).

SHALAT FORMAL adalah shalat fardhu, atau zikir statis yang disyariatkan pada 5 waktu.

said muniruddin, “The suficademic”

Apalagi kalau jadi imam, anda harus fokus pada keindahan bacaan karena di dengar banyak orang. Harus ingat ayat demi ayat agar tidak ditegur orang. Harus dihitung sudah rakaat ke berapa agar tidak salah. Semua proses, mulai dari gerak sampai bacaan, itu dilakukan dalam frekuensi otak yang tinggi (Beta). Fokus memang, tapi dalam bentuk “logical awareness”. Karenanya, kondisi “fana fillah” (khusyuk) sulit terpenuhi.

Lalu, apa yang kita dapatkan dari shalat yang singkat itu? Ya, tidak ada yang kita harapkan, selain gugur kewajiban, dapat pahala dan tidak masuk neraka. Spekulatif sekali. Karena itu, ibadah formal ini sering digambarkan sebagai “trading”, ibadah pedagang. Karena itu ada anjuran untuk melaksanakan shalat sunat qabla dan bakda, untuk melengkapi shalat fardhu. Tapi tetap saja, semua amalan ini terkonsentrasi pada gelombang “Beta” (otak kiri). Walau sedikit tidaknya juga masuk ke kesadaran Alfa, karena pengaruh wudhuk dan sikap diam selama pelaksanaan shalat ini.

Untuk itulah, agama mengarahkan kita untuk menyempurnakan shalat ini dengan menaikkannya ke level supra-formal.

Shalat Supra-Formal

Shalat supra-formal adalah shalat yang dikerjakan untuk menyempurnakan yang formal. Itulah “zikir”, yang dianjurkan untuk dikerjakan setelah setiap selesai shalat. Bahkan sebelum shalat dikerjakan. Banyak sekali ayat tentang zikir dalam Quran. menandakan, ini amalan krusial untuk dikerjakan.

Sebenarnya sudah ada arahan dari Nabi, bagaimana kita harus membaca istighfar, subhanallah dan lainnya setelah shalat. Tapi, kalau cuma 33 kali, ya tidak ada efek berarti. Jumlah 33 kali itu sebenarnya arahan minimal, bahwa ada kesadaran lain yang perlu dibangun setelah shalat formal. Sesibuk-sibuknya kita, beberapa zikir singkat setelah shalat mesti dikerjakan. Itu pesan Nabi SAW. Jika ingin hasil yang lebih dahsyat, amalan zikir harus ditingkatkan dalam berbagai macam amalan zikir dan tawajuh.

Dalam bentuk shalat formal, bacaan dipadukan dengan gerakan, sehingga membuat kesadaran kita tetap kritis. Maka, dalam bentuk supra-formalnya (zikir) shalat dilakukan dalam keadaan diam (“still and silence”). Ini bertujuan agar kesadaran kita turun jauh ke dalam lautan keheningan (deep meditation).

Bagi para urafa (ahli sufi), zikir menjadi fokus penting dalam penyempurnaan ibadah. Mereka bisa duduk selama berjam-jam, bahkan semalaman, untuk melatih kesadaran jiwa yang sempurna. Bahkan Nabi SAW sampai bengkak kakinya gara-gara melaksanakan shalat supra-formal ini. Shalat fardhu tentu tidak pernah membuat kaki kita bengkak. Tarawih yang 20an rakaat, atau bahkan 100 rakaat, juga tidak akan membuat kaki kita bengkak.

Jika shalat formal dilakukan pada waktu “terbatas” dan sudah “ditentukan”, shalat supra-formal dapat dilanjutkan pada setiap waktu yang tidak terbatas. Namun jangan dikira ini tidak formal. Zikir bahkan punya aturan khusus. Sangat ketat. Hanya saja, ia punya energi lebih hidup, mampu membawa kesadaran kita ke alam supra-rasional. Zikir yang dibimbing para guru ruhani inilah yang mampu meng-islamkan ruhani kita.

SHALAT SUPRA-FORMAL adalah zikir untuk menyembah dan mengingat Allah yang di-daim-kan secara dinamis disepanjang waktu.

said muniruddin, “the suficademic”

“Shalat itu zikir, zikir itu shalat”. Dalam shalat kita mengingat Allah. Dalam zikir kita juga menyembah. Karena itu, makna “shalat” dalam Quran juga bisa bermakna zikir, atau sebaliknya.

Karena itu, shalat formal menjadi shalat dalam fokus pengajaran syariat. Itu basic bagi identitas keislaman seseorang. Sementara, zikir yang menyertai itu, yang dapat dilakukan sepanjang waktu menjadi bentuk “daim” dari shalat yang menjadi fokus amalan tradisi tariqat. Disebut “daim”, karena dimensi ingat kepada Allah dilakukan lebih panjang daripada yang dilakukan dalam shalat formal. Dilakukan disepanjang waktu. Shalatnya dilakukan disepanjang waktu, atau digambarkan dalam peristiwa mikraj sebagai “50 waktu”. Berat memang. Tidak mampu dikerjakan oleh orang malas dan sibuk dengan urusan dunia. Tapi efeknya sangat dahsyat (BACA: “Daa-Imuun”, Shalat Terus Menerus, pada 50 Waktu).

Karena zikir ini sangat panjang dan berketerusan, tidak hanya khusus sambil duduk, tapi juga bisa seraya berbaring, maka disini sering terjadi keajaiban. Nabi Muhammad SAW mengalami banyak kejadian dalam zikir panjangnya. Di Gua Hira, dan dimana-mana. Shalat supra-formal merupakan bentuk shalat yang “dinamis”. Sebab, ia mampu “memperjalankan” kesadaran manusia dari satu ‘langit’ kesadaran kepada langit kesadaran lainnya. Shalat “in complete silence” ini mampu mengaktivasi berbagai gelombang ruhaniah manusia; mulai dari Alfa, Theta sampai kepada kedalaman Delta.

Karenanya, shalat supra-formal ini mampu menyembuhkan dan menyelesaikan berbagai persoalan. Di shalat supra-formal inilah Sayyidina Ali kwh bisa dicabut panah dari kaki, tanpa rasa sakit. Sebab, pada level shalat ini, Anda sudah mengalami indepth relaxation and loss of bodily awareness.

Di level ini pula seseorang mampu melakukan “astral traveling” (mikraj) dan memperoleh banyak ilham dan ilmu-ilmu laduni (wahyu, creative vision). Sebab, gelombang kesadarannya sudah membumbung naik ke ‘arasy ilahi. Ia sudah beriluminasi menjadi makhluk spiritual, sudah fana dalam kesadaran cahaya, bukan lagi makhluk material murni. Disinilah terjadi pengalaman batiniah dan terkonfirmasi kebenaran hadis Nabi SAW: “As-shalatu mikrajul mukminin”. Shalat itu mikrajnya orang beriman.

Pada level shalat formal, pengalaman ruhaniah ini tidak didapatkan. Bahkan kelompok-kelompok yang terlalu formal dalam beragama dan cenderung menolak sisi batiniah, akan menganggap hadis semacam ini palsu. Sebab, mereka tidak pernah mengalami hal itu. Mereka cenderung bermain pada level kesadaran lahiriah dari ibadah. Juga cenderung berkutat di hafalan (dimensi otak, conscious mind, atau “Beta”), bukan dipengalaman ruhani (subconscious mind, “Theta/Delta”). Padahal, Nabi SAW sendiri mengalami hal-hal menakjubkan ketika mengamalkan agama. Melalui shalat, ia mampu wushul/bertemu Tuhannya.

Maka akan lebih dahsyat lagi, kalau shalat formal, itu dipraktikkan setelah memiliki keahlian supra-formal. Melalui amalan supra-formal, Anda akan dibimbing oleh seorang “Jibril as” (Guru/Imam/Mursyid) untuk sampai kepada Allah. Shalat supra-formal ini yang membuat orang “makrifat” atau mengenal Allah. Amalan supra-formal inilah yang dilakoni Muhammad SAW dan para nabi di ruang-ruang sunyi, sehingga terhubung dengan berbagai gelombang malakut/wahyu.

Ketika jiwa Anda (kesadaran otak/ruhaniah) sudah “wushul” dengan Allah, barulah kemudian, kalau Anda melaksanakan shalat formal pun akan mengalami vibrasi luar biasa. Shalat formal itu dilakukan secara sadar (conscious). Tapi, kalau Anda sudah punya pengalaman bermain di alam subsconsious dibawah bimbingan para wali, dalam diri Anda akan muncul gelombang “Gamma” (hightened awareness) saat melaksanakan shalat fardhu. Kesadaran Anda akan ber-tajalli pada alam supersadar/suprasadar (superconscious state). Artinya, walaupun Anda sadar, mata terbuka, tapi Anda mampu mengalami musyahadah. Muraqabah Anda hidup dan juga mengalami berbagai pengungkapan batiniah (bashirah). Saat shalat fardhu, Anda mampu melakukan komunikasi secara “langsung” dengan Allah (dialogis), bukan sekedar komat-kamit pura-pura (meditatif).

Ada perbedaan antara shalat formal dan supra-formal. Dalam shalat formal, Anda ‘terjebak’ dalam gerak dan bacaan. Salah bacaan, tidak fasih, keliru tajwid, keseleo makhraj; bisa dihukum berdosa. Makanya, fikih shalat rumit dan rigid sekali. Sedangkan shalat supra-formal, pada maqam tertentu, Anda bisa kehilangan kata-kata. Bisa menatap Allah saja, itu sudah mewakili segala bacaan dan bahasa. Bisa ecstatic Anda kalau sudah masuk dalam dimensi cinta dan rasa.

Sholat adalah Media untuk Mengingat Allah, Tuhan yang telah Dikenal

Jadi, shalat fardhu (shalat formal) yang singkat, hanya 5-10 menit itu, idealnya menjadi sarana untuk melakukan “reuni” dengan Allah. Dengan syarat, Anda sudah sudah “mengenal” (makrifat) dan pernah “berjumpa” (rujuk) dengan Allah. Fungsi shalat formal adalah media untuk mengingat atau menghadapkan wajah (inni wajjahtu wajhiya) kepada Tuhan yang sudah pernah dijumpai. Kalau belum pernah dijumpai, maka menjadi pertanyaan, itu Tuhan mana yang kita sembah/ingat?

اِنَّنِيْٓ اَنَا اللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدْنِيْۙ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ لِذِكْرِيْ

“Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku. Maka, sembahlah Aku dan tegakkanlah salat untuk mengingat-Ku” (QS. Ṭāhā [20]: 14)

Perhatikan ayat di atas. Awal kalimat berbunyi, “Sesungguhnya Aku adalah Allah”. Baru kemudian, “Sembahlah Aku dan tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku”. Kita beribadah atau menyembah Allah setelah mengenal Allah. Kita mengenal Allah, setelah Allah bersedia memperkenalkan diri-Nya (“sesungguhnya Aku adalah Allah”). Maka harus ditempuh jalan, yang memungkinkan bagi Allah memperkenalkan diri-Nya.

Kalau kita telusuri lebih lanjut, ayat ini berkenaan dengan kisah Musa as. Ayat 9-14 di Surah Taha menceritakan perjalanan spiritual Musa as mencari Allah dan mengambil perintah shalat. Di ayat 9-13 diulas, Musa as menjalani tariqah, meninggalkan keluarga, pergi menyepi untuk mencari “api” (cahaya/petunjuk dari Allah). Dalam proses itu, ia meninggalkan segala bentuk kekotoran diri (“terompah”) dan masuk dalam proses penyucian jiwa (“lembah suci”, Thuwa). Disitulah ia mengenal Allah. Setelah itu, ia diperintahkan untuk melaksanakan shalat guna mengingat-Nya.

وَهَلْ اَتٰىكَ حَدِيْثُ مُوْسٰى ۘ ٩ اِذْ رَاٰ نَارًا فَقَالَ لِاَهْلِهِ امْكُثُوْٓا اِنِّيْٓ اٰنَسْتُ نَارًا لَّعَلِّيْٓ اٰتِيْكُمْ مِّنْهَا بِقَبَسٍ اَوْ اَجِدُ عَلَى النَّارِ هُدًى ١٠ فَلَمَّآ اَتٰىهَا نُوْدِيَ يٰمُوْسٰٓى ۙ ١١ اِنِّيْٓ اَنَا۠ رَبُّكَ فَاخْلَعْ نَعْلَيْكَۚ اِنَّكَ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى ۗ ١٢ وَاَنَا اخْتَرْتُكَ فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوْحٰى ١٣ اِنَّنِيْٓ اَنَا اللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدْنِيْۙ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ لِذِكْرِيْ ١٤

(9) Apakah telah sampai kepadamu (Nabi Muhammad) kisah Musa?; (10) (Ingatlah) ketika dia (Musa) melihat api, lalu berkata kepada keluarganya, “Tinggallah (di sini)! Sesungguhnya aku melihat api. Mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit nyala api kepadamu atau mendapat petunjuk di tempat api itu”; (11) Ketika mendatanginya (tempat api), dia (Musa) dipanggil, “Wahai Musa; (12) Sesungguhnya Aku adalah Tuhanmu. Lepaskanlah kedua terompahmu karena sesungguhnya engkau berada di lembah yang suci, yaitu Tuwa; (13) Aku telah memilihmu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu); (14) Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku. Maka, sembahlah Aku dan tegakkanlah salat untuk mengingat-Ku (QS. Ṭāhā [20]: 9-14)

Cerita serupa juga terjadi dengan Muhammad SAW. Perintah shalat baru turun setelah Beliau berjumpa Allah (peristiwa mikraj). Artinya, kita juga harus menjumpai Dia terlebih dahulu melalui teknik-teknik supra-formal, sebelum kembali ke dunia untuk melaksanakan shalat, guna mengingat-Nya secara formal. Sholat fardhu tidak bisa membuat kita berjumpa Allah, kecuali sebelumnya telah dilatih lewat riyadhah supra-formal.

Karena itulah, perintah shalat baru turun menjelang atau saat awal Nabi SAW hijrah ke Madinah. Sementara jauh hari, bertahun-tahun sebelumnya, Nabi sudah duluan mampu berjumpa Allah dan para malaikat-Nya melalui metode zikir (shalat supra-formal). Wahyu sudah turun, jauh sebelum perintah shalat turun. Nabi SAW sudah mampu berkomunikasi dengan Allah, jauh sebelum perintah shalat fardhu turun.

Dari uraian ini, kita bisa melihat. Umat Islam kelihatannya sangat rajin shalat (formal). Tapi kurang dalam metode berzikir (supra-formal). Kita rajin meniru bentuk-bentuk sholat kemudian dari Nabi SAW. Bukan meniru jalan sunyi bagaimana Nabi SAW mampu mencapai tingkatan Ruhani yang tinggi dalam shalatnya.

Untuk itu, perlu diasah kembali keahlian kita dalam melaksanakan shalat supra-formal (zikrullah). Karena itu jalan atau metode (tariqah) untuk mengenal Allah. Elemen inilah yang membuat ibadah kita diterima, karena sudah memiliki “power” (Ruhani). Tanpa ini, shalat formal bisa jatuh dalam kualitas menyembah “berhala”. Ibadah kita bisa dilipat dan dirobek-robek, lalu dilempar kembali ke muka kita. Karena kesadaran ruhaniah kita masih “kosong” (lalai), sehingga tidak tersambung dengan Allah SWT.

Penutup

Pertanyaannya: “Apakah kita harus berjumpa Allah terlebih dahulu, baru kemudian mendirikan shalat formal (fardhu)?”

Jawabannya, untuk anak- anak, shalat harus dilatih mulai dari bentuk formal. Setelah cukup umur, baru “dibelah dada” (diajarkan zikir/metodologi) untuk mengenal Allah; agar shalatnya menjadi sempurna. Bagi kita yang sudah dewasa, belum terlambat untuk menempuh jalan supra-formal agar tersambung dengan Allah. Sehingga shalat kita menjadi sempurna, atau tidak terus menerus berada di level anak-anak. Tariqat itu menyempurnakan syariat. Tanpa tariqat, syariat tidak akan pernah sempurna. Syariat, tariqat dan hakikat; itu satu kesatuan jalan untuk kesempurnaan Islam (BACA: “Alastu Birabbikum”, Alam Dialog dan Penyaksian).

Karena urgensi inilah, tasawuf/tariqah/zikir hukumnya menjadi WAJIB. Sebab, ia menjadi faktor penentu kesempurnaan shalat (syariat) kita. Ruhani yang tersambung dengan Allah menjadi penentu diterima atau tidaknya ibadah kita.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

2 thoughts on ““WA AQIMISH SHALATA LIZIKRI”: MENGENAL DUA BENTUK SHALAT, FORMAL DAN SUPRA-FORMAL

Comments are closed.

Next Post

"SYARIAT-TARIKAT-HAKIKAT-MAKRIFAT": METODE ILMIAH DALAM BERAGAMA

Wed Mar 8 , 2023
“Jurnal […]

Kajian Lainnya