“SYARIAT-TARIKAT-HAKIKAT-MAKRIFAT”: METODE ILMIAH DALAM BERAGAMA

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 29 | Maret 2023

“SYARIAT-TARIKAT-HAKIKAT-MAKRIFAT”: METODE ILMIAH DALAM BERAGAMA
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Bapak metode ilmiah moderen adalah seorang ilmuan muslim asal Basrah, Irak. Namanya Ibnu Haitsam (965-1039 M). Nama lengkapnya Abu Ali al-Hasan bin al-Hasan bin al-Haitsam. Atau juga disebut Hasan bin Haitsam. Di barat ia dikenal sebagai “Alhazen”. Ia hidup sezaman dengan Albiruni dan Ibnu Sina. Keilmuannya meliputi bidang filsafat, sains, astronomi, matematika, geometri, mekanik, optik dan pengobatan. Ia meninggal setelah pindah ke pusat keilmuan Islam Dinasti Fatimiah, dekat Kampus Al-Azhar, Kairo.

SYARIAT-TARIKAT-HAKIKAT adalah kerangka ilmiah dalam beragama, yang kemudian oleh Ibnu Haitsam (965-1039 M) diadopsi menjadi metode saintifik moderen.

said muniruddin, “the suficademic”

Dalam langkah studi ilmiah ia memperkenalkan “hypothesis testing and experimentation”. Pemikirannya terkait problem, analysis, experimental science, scientific methodology, visual perception, empirical theory of perception; di kemudian mempengaruhi sejumlah penggagas metode ilmiah barat seperti Roger Bacon, René Descartes, John Peckham dan Witelo. Penelitiannya tentang cahaya (optik) juga mengilhami pemikiran Leonardo da Vinci, Christian Huygens dan Johannes Kepler. Pemikirannya tentang gravitasi juga telah jauh hari mendahului Isaac Newton.

Uniknya, ia juga penulis sejumlah tema-tema agama/sufistik (metafisik). Ia menjelaskan tentang “jiwa”. Baginya, kebenaran itu Satu. Seolah-olah ia ingin menyampaikan tentang absolutisme wujudiyah. Baginya; falsafah tidak bisa dipisahkan dari matematik, sains dan ketuhanan. Menurut beliau, seseorang harus bicara agama sekaligus sains.

Sebelum Ibnu Haitsam, Aristoteles (384-322 M) juga sudah memperkenalkan metode ilmiah di era Yunani kuno, lewat struktur silogisme deduktif dan logika formalnya. Aristoteles juga termasuk tokoh yang menginspirasi Ibnu Haitsam dalam mengembangkan pemikiran ilmiahnya. Ia menulis sekitar 44 karya untuk merespon tentang fisika dan metafisika Aristoteles (Ibn al-Haytham’s scientific method, UNESCO, 2015).

APA ITU ILMIAH?

“Ilmiah” artinya sesuatu yang bersifat ilmiyun (keilmuan), didasarkan pada ilmu pengetahuan, atau memenuhi syarat atau kaidah ilmu pengetahuan (logis/saintifik). Ilmiah adalah “proven” atau “can be proven”. Ilmiah itu bukan sesuatu yang mistik atau gaib. Semua yang mistik/gaib, ketika terungkap, itu sudah “ilmiah”.

“AL-ISLAMU ilmiyun wa ‘amaliyun“. Islam itu ilmiah dan dapat dibuktikan kebenarannya.

HR. Bukhari

Kenapa ada Pengetahuan ilmiah? Karena, manusia itu hayawanun natiq (makhluk berfikir). Manusia berada disebuah alam yang dipenuhi fenomena, gejala, atau “tanda-tanda” (ayat). Baik itu fenomena-fenomena pada tataran alam sosial dan fisik, maupun alam metafisik. Semua ada cerita yang bisa diungkap dibalik semua kejadian/peristiwa.

Manusia dengan akalnya selalu bertanya, membangun konsep, keyakinan atau preposisi; serta berusaha menggali dan mencari jawaban atas segala sesuatu. Jawaban yang diperoleh dari sebuah pencarian, itu disebut “pengetahuan” (kebenaran). Semakin rapi, semakin terstruktur dan sistematis sebuah langkah dalam proses pencarian kebenaran, semakin ilmiah jawaban yang didapatkan. Dan itu tentu semakin memuaskan atau membahagiakan. Sebab, pengetahuan akan membuat hilang rasa penasaran, dugaan atau keraguan.

Manusia akan semakin stress manakala banyak hal yang ia lihat dan rasakan, banyak informasi yang ia dapatkan, namun tidak ada kebenaran jawaban. Semua itu bisa semakin menghantuinya. Karenanya, orang bodoh (jahil) cenderung hidup dalam keadaan was-was. Sebab, pengetahuannya tidak sampai pada level meyakinkan (fundamental/haqq/hakiki). Manusia butuh pengetahuan yang benar untuk memenuhi rasa kemanusiaannya.

Sayangnya, dunia pengetahuan kampus dan sekolah-sekolah kita cenderung terfokus pada metodologi kajian untuk alam fisik/sosial (ontologi kasat atau material). Ini juga dipengaruhi sistem pendidikan barat yang menjadi mainstream kurikulum kita, yang terfokus pada sisi “materialisme”. Kita tidak punya guru metafisik di kampus. Sehingga kampus dianggap sebagai pusat “ilmu-ilmu dunia”. Karena itu, kata “saintifik” lebih banyak digunakan di tingkat universitas (mengkaji dunia materi/sosial/fisik).

Nanti akan kami buktikan, bahwa kajian wujud akhirat (dunia meta, spiritually visual) juga bernilai “saintifik”. Ada metodologi ilmiah untuk pengungkapan objek-objek metafisis. Tuhan, malaikat, akhirat, takdir dan segala sesuatu yang awalnya disebut “gaib”; itu melalui eksperimentasi tertentu dapat dibuktikan wujudnya ada. Bisa dilihat dan dirasa, bisa diajak bicara, sebagaimana pengalaman para nabi dan wali-walinya.

Karenanya, dunia metafisik (“di atas fisik”), itu metodologi risetnya lebih banyak dikembangkan oleh ilmuan ruhani (nabi/sufi). Artinya, rukun metafisika iman yang enam (6) itu, pada awalnya memang “gaib”. Kita disuruh percaya kepada yang gaib-gaib. Itukan sebuah kesadaran awal dalam kerangka ilmiah. Bahwa segala sesuatu dipengaruhi oleh “fenomena”. Tapi, setelah ditempuh serangkaian proses verifikasi/pengujian, maka semua itu terungkap, menjadi ilmiah atau saintifik. Tidak gaib lagi. Bagi para nabi dan walinya, Allah itu mana ada gaib lagi. Sudah pernah mereka jumpai. Sebagaimana kata Nabi SAW: “Al-Islamu ilmiyyun wa ‘amaliyun” (HR. Bukhari). Islam itu ilmiah dan ada metode pembuktiannya. Dalam metode kerja Alhazen, hadis ini ia transform dalam dua langkah saintifik: theory building (ilmiyun/syariah) and experimentation (amaliyun/tariqah).

METODE ILMIAH UNTUK KAJIAN SOSIAL/FISIK

Kalau Anda sudah pernah kuliah, pasti mudah paham. Metode ilmiah itu memiliki paling sedikit tiga komponen: (1) Pendahuluan; (2) Dasar Teori/Hipotesis/Kepercayaan; (3) Metodologi Pengungkapan; (4) Temuan Hasil/Pengalaman; (5) Kesimpulan/Pengetahuan.

METODE ILMIAH dapat disederhanakan menjadi tiga. Pertama, “Dasar-Dasar Teori dan Hipotesis (Kepercayaan)”. Kedua, “Metodologi Pengungkapan”. Ketiga, “Hasil/Temuan”. Dalam terminologi agama, masing-masing ini disebut Syariat, Tarikat dan Hakikat.

said muniruddin, “the suficademic”

BAB 1, “Pendahuluan”. Riset dimulai dari adanya fenomena yang memunculkan rasa penasaran/pertanyaan, dan menarik/krusial untuk ditemukan jawaban. Sehingga lahir konsep, pertanyaan-pertanyaan serta rumusan masalah terkait penelitian. Dibagian ini juga ditentukan tujuan dari penelitian. Tentunya untuk memperoleh pengetahuan. Yaitu ingin mengetahui keterhubungan, kaitan, kesatuan, atau mata rantai pengaruh; antara fenomena (akibat) dengan penyebabnya. Mungkin juga disebutkan bentuk-bentuk manfaat praktis (bernilai aksiologis) dari hasil yang ingin diperoleh.

BAB 2, “Dasar Teori dan Kepercayaan”. Selanjutnya digali berbagai teori/pengetahuan awal untuk mendapat gambaran awal terhadap apa yang terjadi. Untuk memahami konsep-konsep dasar yang baru dibangun, dicari dalil-dalil hukum terdahulu yang mungkin sudah tersedia. Untuk itu dibuat lingkup dan objek selidikan dengan kerangka konsep, aksioma, postulat, definisi, teorema, proposisi, premis atau variabel-variabel untuk menjembatani proses pengujian. Lalu dibangun hipotesis, kepercayaan atau dugaan awal untuk kemudian dibuktikan.

BAB 3, “Metodologi Pengungkapan”. Selanjutnya ditentukan langkah apa yang harus dilakukan. Bagaimana sebuah kepercayaan dapat diverifikasi kebenarannya. Apa langkah, prosedur dan tahapannya. Apakah melalui survey, observasi, ekperimen atau ada teknik lainnya. Seperti apa bentuk data, instrumen pengambilan data, cara pengolahan dan alat analisisnya. Berbagai tindakan selama pengamatan atau pengukuran, apakah mengintervensi proses pengujian atau tidak, juga dirumuskan disini. Dalam hal ini, Alhazen juga memperkenalkan proses hypothesis testing melalui mathematisation of physical problems/phenomenon. Model ini sekarang telah berkembang dalam bentuk-bentuk alat uji statistik yang sangat komplek.

BAB 4, “Hasil/Temuan”. Ini merupakan cara penyajian serta output, outcome, impact ataupun hasil yang diperoleh dari sebuah proses penelitian. Bisa jadi menolak keyakinan yang telah dibangun. Bisa juga memverifikasi kebenaran teori/hipotesis/dalil yang telah ada. Ataupun mengembangkan berbagai pengetahuan yang telah ada sebelumnya, ke dalam sesuatu yang sama sekali baru.

BAB 5, “Kesimpulan”. Bagian ini berisi resume, ringkasan, atau inti dari sebuah temuan. Keseluruhan temuan dipaparkan dalam sejumlah kalimat, konsep, proposisi, atau teori yang menjelaskan sebuah “pengetahuan baru”.

Prosedur metode ilmiah bervariasi dan cenderung spesifik untuk setiap bidang, baik yang bertendensi sosial maupun fisik. Namun proses yang mendasarinya seringkali sama. Yaitu; menerapkan berbagai langkah yang teratur dan sistematis. Terkadang analisis dilakukan lewat kerangka logika filosofis (kualitatif). Lainnya menggunakan metode matematik/statistik (kuantitatif).

METODE ILMIAH UNTUK KAJIAN METAFISIK (ESENSI AGAMA)

Metode ilmiah untuk kajian metafisik, sama persis dengan yang digunakan dalam dunia sosial/fisik. Bahkan Ibnu Haitsam sendiri sebenarnya menggunakan kerangka ilmiah dalam beragama untuk mengkaji dunia fisika. Kerangka (metode) ilmiah metafisika/agama adalah: “tauhid, syariat, tarikat, hakikat, makrifat”. Sesuai sabda Nabi SAW: “Syariat itu adalah perkataanku, tarikat itu adalah perbuatanku, hakikat itu adalah keadaan/penglihatanku, makrifat itu hartaku”.

الشَّرِيْعَةُ أَقْوَالِيْ ، وَالطَّرِيْقَةُ أَفْعَالِيْ ، وَالْحَقِيْقَةُ حَالِيْ ، وَالْمَعْرِفَةُ رَأْسُ مَالِيْ

Syariat adalah perkataanku, tarekat adalah perbuatanku, haqiqat adalah keadaan (batin/penglihatan)-ku, dan makrifat adalah pangkal harta-ku (Kasyf al-Khafa’, juz 2, halaman : 7).

Riset spiritualitas/keagamaan juga diawali dari BAB 1 yang berisi mukaddimah, fenomena, ayat, atau tanda-tanda yang tertangkap dari “alam makro” (semesta fisik/sosial) ataupun “alam mikro” (nafsani/jiwa/metafisik). Tujuannya untuk mengetahui “kesatuan hubungan” (tauhid worldview) antara berbagai variabel sebab dan akibat. BAB 2 berisi “syariat” (teori, dalil, hukum, proposisi, konsep, atau reference). BAB 3 dirumuskan bentuk “tarikat” (jalan, langkah, metode, atau tindakan pembuktian). BAB 4 dipaparkan “hakikat” (temuan-temuan, hal ihwal, pengalaman atau hasil-hasil yang terungkap”. BAB 5 itu konten “makrifat” (kesimpulan, pengetahuan, konsep atau dalil yang baru terbangun).

ISLAM itu menjadi ilmiah setelah melalui tiga tahapan proses. TAUHID, ada sinyalemen “kesatuan hubungan” antara fenomena yang terlihat dengan penyebab/misteri yang belum terungkap. SYARIAT, ada bangunan ontologis/landasan teori/dalil awal untuk memahami hal itu. TARIKAT, ada metodologi pengujian terhadap bangunan kepercayaan/hipotesa. HAKIKAT; ada pengalaman, hasil atau temuan yang bersifat verifikatif. MAKRIFAT; pada akhirnya, semua proses ini bertujuan mengungkap sebuah realitas/pengetahuan baru.

Said muniruddin, “the suficademic”

APA YANG PERLU DI UJI LAGI DALAM ISLAM?

Islam itu berisi “ayat-ayat” (fenomena/tanda) dalam tiga bentuk: “(1) Qauliyah, (2) Kauniyah, dan (3) Nafsaniyah”. Qauliyah adalah teks suci. Kauniyah adalah ufuk alam semesta (alam sosial dan fisika). Nafsaniyah adalah jiwa/ruh (metafisika). Kalau kita memahami bahwa ketiga hal ini adalah satu kesatuan dari Islam, maka ketiganya adalah tanda-tanda (ayat/fenomena/rahasia) yang selalu bisa diuji/ditelusuri secara ilmiah. Teks syariat (Quran dan hadis) bisa diuji. Alam materi bisa dieksaminasi. Alam ruh juga bisa dieksperimentasi.

Kenyataannya, fenomena dalam dunia sosial dan fisika (kauniyah) telah menjadi objek kajian masal para saintis/peneliti. Inilah kerja semua universitas di dunia. Sementara, riset dunia metafisika (nafsaniyah) kurang berkembang ditataran universitas. Penyebabnya, karena pandangan riset kita telah lama teracuni oleh “positivisme barat” (materialisme). Barat tidak begitu mengakui dunia metafisik (ruh/ketuhanan). Sehingga, riset di bidang itu lama tidak tersentuh oleh dunia moderen. Sehingga, agama cenderung dianggap sektor ‘gaib’ (halusinasi yang dihembus kaum agamawan). Kenyataannya, barat tidak punya metodologi untuk menjangkau substansi dari wujud/ontologi agama yang bersifat “immateri”.

Sementara, riset untuk alam qauliyah juga bisa dilakukan. Quran dan hadis (atau kitab apapun), itu dokumen syariat. Isinya dalil, teori, kalam, kumpulan perkataan atau referensi. Kalau kita beragama kepada Quran dan hadis, kita beragama kepada teks/teori. Apakah itu boleh? Boleh! Hanya saja, itu kebenaran yang bersifat teoritis (proposisi). Belum metodologis dan praktis buat Anda; sebelum diuji coba, dialami kebenaran atau dibuktikan mukjizatnya. Mungkin itu benar mukjizat buat orang terdahulu, sudah mereka uji di zaman mereka. Bisa saja itu masih relevan untuk zaman kita. Jika begitu keadaanya, maka hukumnya menjadi “universal”. Jika tidak bisa diuji kembali, Islam bisa turun kadar ilmiah kebenarannya. Ini yang mendasari kenapa banyak orang ‘cerdas’ menjadi ateis. Karena tidak tau bagaimana cara menguji (mengalami secara hakiki) berbagai kebenaran yang tersebut dalam kitab suci.

Disisi lain, dalil dalam beragam (kauniyah) juga bisa berkembang sesuai tempat dan zaman. Bukan hukum-hukum generik (syariat) dalam Quran yang berubah. Tapi dalil/fatwa hukum dibawahnya. Kenyataannya, banyak perspektif hukum/fatwa lahir setelah pengujian teori syariat pada konteks zaman dan tempat yang berbeda. Mazhab/fikih, itu termasuk pemikiran/hukum yang berkembang, setelah diuji pada zaman dan konteks tertentu. Yang namanya pemikiran, tentu sah-sah saja jika terus berkembang. Sejauh dapat diuji kebenarannya (benar secara hakiki).

Masalahnya, bagaimana cara mencapai kebenaran hukum/teori/dalil pada level hakiki. Tidak bisa. Semua dipengaruhi oleh akal. Kecuali Anda telah sampai kepada komunikasi dialogis dengan Allah SWT sebagai satu-satunya pemiliki kebenaran. Seperti dikatakan Al-Hazen, “kebenaran itu satu”. Yang disebut mujtahid mutlak, itu sebenarnya seorang wali Allah. Orang yang sudah mencapai makam tinggi disisi Allah. Sudah mampu memverifikasi kebenaran kepada Allah, tidak lagi lewat teori dan akal perseptifnya.

Apa hal urgent yang perlu diuji lagi dalam “dunia agama” (metafisika)?

Ini pertanyaan yang sama untuk dunia saintifik yang sehari-hari ditekuni para akademisi di kampus. Kita selalu menguji hal yang sama, untuk tempat dan waktu berbeda. Boleh jadi hasilnya sama. Bisa jadi ada perbedaan-perbedaan karena alasan tertentu. Begitulah pengetahuan/teori dibangun secara kontinyu. Saling melengkapi dan menguatkan. Kalau penelitian terdahulu salah, maka temuan baru akan membantah itu. Kalau kajian sebelumnya benar, maka kebenarannya akan semakin bernilai universal. Terkadang sebuah penelitian/ujian dilakukan untuk memperluas/memperdalam aspek-aspek dari objek riset terdahulu.

Untuk objek-objek agama juga begitu. Semua bisa diuji dan diperdalam lagi. Sehingga bisa membongkar kepalsuan dari doktrin-doktrin. Atau memperkuat kebenaran dari sebuah doktrin.

Ada dalil yang mengatakan, Al-islamu/Al-quranu shalihun li kulli zaman wa makan. “Islam/Quran itu sesuai untuk segala zaman dan tempat”. Tapi sudahkah Anda uji kembali teori-teori itu agar nilainya semakin universal? Apakah kejadian-kejadian dalam Quran itu bisa diuji dan dialami kembali dizaman kita? Apakah pengalaman spiritual para nabi sebagaimana diceritakan dalam banyak ayat, itu juga bisa kita alami? Apakah mukjizat Quran, menghidupkan orang sakit, menyembuhkan, membelah laut dan sebagainya itu; bisa kita ulang? – Jika memang kebenaran Islam/Quran itu berlaku sama untuk segala zaman dan tempat.

HAL paling esensial untuk diuji kembali dalam beragama adalah “rukun iman” (fenomena wujud/gaib/misteri).

said muniruddin, “the suficademic”

Pertanyaannya, apa hal esensial yang perlu diteliti/uji lagi dalam Islam? Jawabannya sederhana: itulah hal-hal gaib (rukun iman)! Ketika yang gaib itu bisa diverifikasi, semua pertanyaan di atas akan terjawab. Sebab, semua keajaiban/mukjizat lahir dari kegaiban mutlak. Anda akan paham mekanisme mukjizat, mampu mensimulasikan karamah/mukjizat, kalau sudah sampai kepada esensi gaib (dunia meta).

Hal gaib (rukun iman) adalah “fenomena abadi” dalam kepercayaan agama. Bab terawal dalam beragama adalah membangun kepercayaan terhadap hal-hal ini. Rukun iman (Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir dan takdir) adalah unsur-unsur metafisika yang selalu menguasai pemikiran manusia. Manusia selalu mencari “siapa Tuhannya”. Bukan sekedar mencari, tapi bertemu. Itu hakikat pencarian.

Kisah Ibrahim as mencari Tuhan adalah contoh sempurna dari bentuk riset ilmiah dalam dunia ketuhanan (QS. Al-An’am: 75-79) . Dia melakukan sejumlah langkah ilmiah, dimulai dari menguji hal-hal bersifat empiris-inderawi. Semua hipotesis awal, “inilah Tuhanku”, tertolak. Sampai kemudian ia melakukan pendekatan ilmiah-kejiwaan. Akhirnya ia menemukan Wajah iluminatif Tuhan dibalik semua fenomena ‘berhala’ lahiriah (disimbolkan sebagai matahari, bintang, bulan). Pencapaian pengetahuan hakiki Ibrahim diringkas dalam kalimat: Inni wajjahtu wajhiya lilladzi fataras samawati wal-ardh hanifan wama ana minal musyrikin (QS. Al-An’am: 75). Ini menjadi bacaan dalam shalat kita. Tapi bacaan kita bernilai syariat/teoritis. Sebab, kita tidak pernah berjumpa Allah secara aktual, sebagaimana dialami Ibrahim as.

IBRAHIM AS is the father of research. He employed both scientific and illuminative methods in search of God.

said muniruddin, “the suficademic”

Ibrahim as itu “the father of research”, jauh sebelum Al-Hazen dan Aristoteles. Ibrahim as menguji keberadaan fenomena dari wujud dengan metode inderawi, rasional sekaligus spiritual. Lama ia melakukan itu. Bertahun-tahun. Karena itu, Irak/Mesopotamia bisa dikatakan sebagai salah satu pusat peradaban dunia, the cradle of civilization. Banyak saintis, termasuk nabi semacam Ibrahim as lahir dan besar disana. Peneliti semua mereka.

Dari kisah Ibrahim as ini, sebenarnya ada sesuatu yang menjadi objek selidikan tertinggi oleh semua peneliti. Yaitu, Tuhan (Allah). Kalau ditanya, “apa yang paling misteri di dunia ini?”. Jawabannya, “Tuhan”. Riset tentang Tuhan melahirkan banyak filsafat pemikiran dan agama. Atheis juga lahir dari penolakan terhadap fenomena keberadaan Wujud ini.

Artinya, rasa ketuhanan dalam diri manusia tinggi sekali. Tuhan adalah sesuatu yang harus terus menerus dicari, diuji dan teliti disepanjang zaman dan tempat. Kalau sekelas Ibrahim saja yang pernah membantah ayahnya bahwa patung itu bukan Tuhan, masih juga mencari Tuhan yang asli, kenapa kita tidak? Kita semua secara teoritis/hipotetis percaya kepada adanya Allah dan menolak patung sebagai sesembahan. Tapi kapan kita menempuh langkah riset ala Ibrahim as, sampai ketemu Tuhan yang asli? Secara teoritis, sifat Tuhan banyak. Ada yang mengatakan 20 (“sifat 20”). Silakan saja. Tapi Wujudnya mana? Belum lagi sampai kepada pertanyaan, “Pernah mendengar Dia berbicara?”, dan sebagainya.

Inti riset dan pengetahuan adalah membawa kita dari teori ke pencapaian esensi. Jika pengetahuan tidak membawa kita kepada pertemuan dengan Allah, riset kita belum cukup ilmiah. Kalau riset belum mampu mengantarkan kita kepada puncak mata rantai sebab – yaitu Allah, keberagamaan kita masih parsial, atau belum mencapai level “monoteisme”. Seperti dikatakan Al-hazen: kebenaran itu Satu, satu kesatuan yang tidak terpisah, Ahad. Pandangan keilmuan kita akan menjadi “monoteistik”, tidak lagi sekuler, manakala mampu melihat kesinambungan antara alam skala (materi) dengan alam niskala (immateri). Sehingga, kita mampu merasakan kehadiran atau pengaruh Allah dalam segala eksistensi.

Semua manusia berkompetisi untuk percaya Tuhan. Ada agamawan dan umatnya yang meyakini Tuhan itu sebagai wujud yang berbeda, jauh, transenden, di langit sana. Agamawan lain berkata, Dia itu dekat, imanen, ada dimana-mana. Semua itu teori (kepercayaan). Boleh jadi benar. Bisa jadi salah. Atau mana yang benar? Atau keduanya benar? Atau bagaimana cara kita benarkan yang satu atas yang lain?

Sebagian lain malah ragu atas keberadaan Tuhan. Karena secara empriris tidak pernah ia temui. Banyak orang Islam yang diam-diam telah memilih menjadi ateis. Sekalipun di Arab Saudi, 5 persen warga mengklaim diri sebagai “Man without God” (WIN-Gallup International, survey 2012). Konon lagi yang tidak terdata. Liberalisme yang kini dipromosikan MBS, putra mahkota Saudi, sebenarnya juga gejala ketidakyakinan lagi kepada bentuk-bentuk tauhid yang sangat doktriner. Agama kembali ditantang untuk menunjukkan keilmiahannya pada generasi milenial.

Disisi lain, banyak agamawan dan umatnya meyakini penuh bahwa Tuhan itu sebagai “wujud yang berbeda, jauh transenden, di langit sana”. Agamawan lain berkata, “Dia itu dekat, imanen, ada dimana-mana”. Semua itu teori, kepercayaan atau keyakinan. Boleh jadi benar. Bisa jadi salah. Atau mana yang benar? Atau bagaimana cara kita benarkan yang satu atas yang lain?

Pertanyaannya, apakah keyakinan-keyakinan (teori/hipotesa) itu sudah benar-benar diuji kembali? Apakah dalil dan kebenaran teoritis yang dianut itu sudah diverifikasi secara faktual? Apakah kita sudah menempuh langkah-langkah metodologis untuk membuktikan keberadaan Wujud (Ontologi) ini? Bagaimana cara kita mencapai kebenaran tentang Tuhan, dari level sekedar percaya secara teoritis (ilmul yakin), naik ke level observatif (ainul yakin), sampai ke level pencapaian pengalaman Ahadiyah/Oneness (haqqul yakin)?

Bagaimana cara menguji dalil/hipotesa bahwa Allah itu ada?

Pertama, bisa ditempuh langkah-langkah/metode rasional. Lewat silogisme deduktif atau berbagai hukum argumentasi ilmiah, Tuhan bisa dibuktikan ada. Seperti hukum sebab-akibat, dan lainnya. Tapi lagi-lagi, pembuktiannya hanya bersifat teoritis (filosofis). Dalam kajian ilmiah kampus, ini mirip dengan “kajian literatur”. Kumpulin literatur, lalu gunakan teknik-teknik reasoning untuk menyimpulkan bahwa sesuatu ada. Level kebenaran ini berada pada kategori “ilmul yakin”, secara teoritis (kembali bisa dibuktikan) “ada”. Tuhan masih dalam sebatas realitas ide.

Pertanyaannya, apakah Allah itu ada secara hakiki (dalam realitas absolut)? Bisa dijumpai atau tidak? Bisa dilihat dan rasakan apa tidak, melampaui sekedar teori bahwa Dia itu ada? Ini pertanyaan ilmiah dalam frame positivist/empiric. Wujud baru dikatakan ada, kalau secara empiris bisa dibuktikan ada. Apakah untuk Allah bisa dicapai tingkat pengetahuan ilmiah melalui cara itu?

Jawabannya, kenapa tidak?

Lihat dan baca Qur’an. Isinya menceritakan bagaimana pengalaman para Nabi berjumpa dan berinteraksi dengan berbagai wujud/fenomena gaib. Di Qur’an tergambarkan bagaimana para nabi bercakap-cakap dengan Allah. Bahkan Quran itu buku yang mendokumentasikan semua kejadian “empiris” (pengalaman aktual) para nabi bersama Tuhannya. Para nabi melihat surga dan neraka, sesuatu yang bagi kita hanya ada secara teori. Para nabi mampu membaca tanda-tanda (takdir) yang akan berlaku di akhir zaman. Para nabi mampu menjangkau “kitab” (yang tidak berhuruf dan bersuara), bersua “malaikat” dan lainnya. Semua itu gaib. Tapi bagi nabi, itu nyata. Ilmiah. Empirik.

Pertanyaannya, bagaimana cara sampai ke level pengalaman empiris para nabi, ke level konfirmasi alam ketuhanan yang bersifat Dzati?

Jika menggunakan metode “pemikiran” (argumentasi), Anda tentu tidak akan pernah sampai ke realitas Tuhan. Sebagaimana dikatakan Nabi SAW: “Tafakkaru fi khalqillah, wala tafakkaru fi Dzatillah”. Jangan gunakan fikiran untuk mengakses Dzat Tuhan. Pikiran hanya mampu mengakses fenomena fisik dan sosial kemahklukan. Metode “inderawi” juga tidak bisa digunakan. Sebab, wujud ontologis kita dengan Allah pada dimensi ini beda. Kita ini “materi” (tanah). Allah itu “immateri” murni. Maka sudah pasti alat/instrumen untuk menguji substansi atomic (gejala materi) tidak bisa digunakan.

Satu-satunya metodologi yang bisa membuat manusia bisa “mikraj” (melakukan pembuktian keberadaan Sang Maha Wujud) adalah “metode iluminatif” (cahaya). Manusia, selain berdimensi atomic (materi), juga makhluk berdimensi kuantumik (cahaya, energi). Esensi manusia pada level di bawah atom itu tersusun dari cahaya. Cahaya ini merupakan ruh, gelombang abadi dari energi. Ruh itu bagian dari Allah, atau cahaya Allah. Quran mengatakan, “Allah itu cahaya langit dan bumi” (QS. An-Nur: 35). Ada substansi cahaya-Nya pada semua unit atom di alam semesta (tentang sisi atomik dan kuantumik manusia, BACA: “Min Sulalatin Min Tin: Adam Tercipta dari Tanah, Tanah Tercipta dari Apa?”).

Disini kita punya variabel “cahaya” dalam diri, yang dapat memediasi sekaligus memoderasi perjalanan riset manusia menuju Allah (“Cahaya di atas Cahaya”). Model riset untuk mengolah cahaya dalam diri, sehingga dapat bergerak untuk menjangkau keberadaan sumber dari segala Cahaya, disebut “penelitian iluminatif”. Dalam bahasa agama disebut irfan, tasawuf atau sufisme. Metodenya unik dan prosedurnya juga sangat ketat. Ada laboratorium khusus tempat Anda harus menyepi selama bermalam dan berhari-hari, guna mengurai dan mempertajam kecepatan energi cahaya dalam diri.

Lab pusat inkubasi teknologi cahaya ini kemudian juga disebut “zawiyah” (dayah, pusat spiritual). Berbagai pendekatan dilakukan untuk mencapai pertemuan dengan Dzat, termasuk melalui pendekatan “khalwat” atau “suluk”. Ini yang dilakukan para nabi sehingga terjadi pertemuan iluminatif dengan Cahaya tertinggi, dengan Ruh, dengan Dzat. Karena ini dunia technologically spiritual, halus dan rumit, tentu harus ada “profesor” (supervisor, jibril atau mursyid) yang menuntun. Mereka ini menjadi wasilah (pembimbing) yang membuka jalan bagi seorang peneliti untuk memperoleh Kebenaran.

Proses inilah yang disebut “Tarikat”. Tarikat itu artinya jalan, cara, pendekatan atau metode. Tarikat itu penuh prosedur (adab), amalan (riyadhah), perbuatan atau percobaan-percobaan (spiritual experimentation). Semua dilakukan untuk menyingkap layer demi layer dari tirai misteri. Sehingga jawaban terhadap sebuah fenomena menjadi diketahui. Para nabi memperoleh banyak sekali pencerahan selama pertapaan mereka di ruang-ruang sunyi. Pintu langit terbuka, sehingga sesuatu yang dianggap gaib/misteri menjadi terlihat.

Pengetahuan yang didapat melalui serangkaian prosedur riset metafisik ini disebut “makrifat” (hasil/temuan/ketersingkapan/mukasyafah). Karena hasilnya diperoleh, dialami, dilihat dan dirasakan sendiri; maka disebut “hakikat”. Hakikat adalah misteri yang tersingkap. Hakikat adalah sebuah bentuk pengetahuan yang konfirmatif untuk setiap individu (bukan lagi syariat/doktrin/teori). Hakikat kebenaran adalah sesuatu yang Anda saksikan sendiri melalui pengalaman “syahadah” atau “bashirah” dalam berbagai uji coba spiritual modelling.

Anda dapat menuliskan pengalaman-pengalaman hakikat dalam berbagai bentuk kitab, sebagai tambahan rujukan bagi setiap generasi. Bagi Anda, itu pengalaman hakikat. Bagi pembaca, tulisan Anda sudah kembali menjadi teori untuk dibuktikan dalam kehidupan konteks kehidupan mereka. Itulah agama, “pengalaman untuk diulang-ulang”. Sesuatu yang dapat diulang, itu ilmiah. Apa yang dialami Nabi SAW, itu harus kita “tauladani” (alami, eksperimentasi, ulangi) kembali. Mulai dari sisi lahiriah sampai ke pengalaman batiniah. Dari syariatnya (rumusan teori), sampai ke hakikatnya (olah rasa).

Kalau para nabi memiliki mukjizat; mampu menghidupkan orang mati, membelah laut, menyembuhkan orang sakit dan lainnya; maka Qur’an yang kita miliki juga harus bisa mengulangi hal itu. Tapi, kalau Quran itu hanya pada level teori (teks/bacaan), mukjizat tidak akan terjadi. Sebab, mukjizat itu sudah masuk ranah metodologis. Ayat harus terlebih dahulu diproses/dihidupkan lewat sebuah metode (tarikat) tertentu, sampai memiliki power untuk melakukan perubahan.

Seperti air, kalau tidak dilakukan apapun, ia hanya akan berfungsi sebagai air pemandian kerbau. Tetapi, ketika ada sebuah metode untuk mengolahnya, air bisa berubah bersih untuk diminum. Kalau bisa diolah lagi dengan metode (tarikat) lainnya, bisa berubah menjadi energi listrik (PLTA). Kalau ada metode lebih canggih lagi, malah bisa diubah menjadi bom hidrogen yang mampu meledakkan semuanya. Hanya melalui tarikat (metodologi/teknologi ruhani) sebuah ayat dapat diubah menjadi mukjizat. Disitu kemudian akan terlihat hakikat/esensi kekuatan dari Quran.

Sayangnya, kita cenderung merasa sudah selesai beragama, setelah tamat membaca/menghafal Qur’an dan hadis. Kita merasa sudah makrifat setelah tamat membaca semua kitab. Tidak! Makrifat itu harus dialami (diuji/dirasa) untuk menjadi sebuah teori yang berkekuatan (pengetahuan). Agama, pada hakikatnya adalah pengalaman untuk berjumpa. Agama bukanlah doktrin yang melarang kita untuk melakukan berbagai tindakan pembuktian. Agama ini ilmiah. Ada teori/doktrin (syariat) dan ada langkah pembuktian (tarikat). Kemudian ada hasil/temuan (hakikat). Itulah makna hadis Nabi SAW:

الشَّرِيْعَةُ أَقْوَالِيْ ، وَالطَّرِيْقَةُ أَفْعَالِيْ ، وَالْحَقِيْقَةُ حَالِيْ ، وَالْمَعْرِفَةُ رَأْسُ مَالِيْ

Syariat adalah perkataanku, tarekat adalah perbuatanku, haqiqat adalah keadaan (batin/penglihatan)-ku, dan makrifat adalah pangkal harta-ku (Kasyf al-Khafa’, juz 2, halaman : 7).

Syariat (dalil), tarikat (metode), hakikat (temuan) dan makrifat (pengetahuan) adalah satu kesatuan kerangka ilmiah dalam beragama. Jika satu hal tidak Anda punya, agama menjadi tidak sempurna. Ujung pencapaian dari itu namanya “makrifat”, dan itu menjadi harta (modal) berharga dalam beragama. Melalui makrifat inilah kita menyembah-Nya; baik dalam shalat, puasa dan sebagainya. Ditulisan terdahulu sudah kami jelaskan urgensi beribadah/bersyariat setelah “mengenal” Allah melalui metodologi tarikat (BACA: “Wa Aqimish Shalata Lizikri: Mengenal Dua Bentuk Shalat, Formal dan Supra-Formal”).

Kesimpulan

Kalau dunia kampus ingin menyederhanakan, memformulasikan atau mengislamisasikan kembali bahasa untuk kerangka metode penulisan ilmiah (jurnal, skripsi, thesis atau disertasi), itu dapat diringkas menjadi lima (5) bab:

Bab 1 : Tauhid (mukaddimah, rumusan masalah, melacak kesatuan ontologis antara fenomena dengan realitas wujud penyebabnya)
Bab 2 : Syariat (dasar teori, dalil, konsep, hukum, premis, aksioma, definisi, teorema, proposisi dan sebagainya; serta hipotesa).
Bab 3 : Tarikat (metode pengungkapan)
Bab 4 : Hakikat (kumpulan pengalaman, temuan dan analisis)
Bab 5 : Makrifat (pengetahuan baru).

Metode ilmiah dunia kampus (sains) dengan dunia dayah (spiritual) , itu sama. Sama-sama punya lima tahapan untuk mencapai pengetahuan. Di dunia kampus, kelima tahapan ini masih digunakan. Namun hanya dalam aspek kajian sosial dan fisik. Sementara, dalam dunia keislaman, proses beragama kita rata-rata sudah mengalami kematian pada level syariat (terus berkutat dengan dalil). Tidak tembus ke tarikat (langkah-langkah pembuktian yang bernilai iluminatif) serta hakikat dan makrifat (hasil dan temuan-temuan baru). Itu salah satu alasan mengapa kita semakin ketinggalan zaman. Metode ilmiah kita dalam beragama tinggal 40 persennya. Hanya tersisa syariatnya saja. Tarikat, hakikat dan makrifat sudah kita kesampingkan.

Konon lagi pernah muncul doktrin “pintu ijtihad sudah tertutup’. Semakin mundur kita. Mungkin kita akan maju secara duniawi (sosial/fisik) Tapi ‘kering’ secara ukhrawi (metafisik). Sosok Tuhan yang akrab dan bisa diajak berkomunikasi, itu menurut kita hanya aktual untuk era nabi. Di zaman kita, itu sudah dianggap “gaib”, atau mungkin ‘mati’. Pengalaman berislam zaman para nabi, yang hubungan dengan Allah itu akrab sekali, seolah-olah tidak relevan lagi di zaman kita ini. Semakin hari, kita seperti semakin dijauhkan dari Tuhan. Penyebabnya, metodologi (tarikah) untuk menjangkau-Nya, seperti diharamkan. Dianggap tabu dan bid’ah. Sufisme dinilai aneh. Padahal, Ibnu Hazen sendiri mengatakan, tidak ada pemisahan antara ontologi dunia dengan akhirat. Langkah metodologisnya sama. Sama-sama ilmiah. Sama-sama mampu mengungkap berbagai kegaiban, dalam berbagai bentuk ontologi (materi maupun immateri), selama metodologinya benar.

Periode berseminya pengetahuan dalam dunia Islam, itu adalah periode dimana para ilmuannya menjalani proses ilmiah 5 tahap ini. Mereka bertauhid, mencari hubungan fenomenal antara “realitas luar” (akibat) dengan “realitas dalam” (penyebab). Juga bersyariat, menggunakan dalil-dalil ayat dan hadis sebagai kerangka teori dalam beragama. Lalu diuji dalam proses bertarikat. Sehingga dari mereka lahir banyak sekali pengalaman-pengalaman hakikat serta makrifat, pengetahuan-pengetahuan yang menjadi panduan bagi perkembangan dunia moderen setelahnya. Muslim awal, itu rata-rata ilmuan, sekaligus penempuh jalan spiritual. Mereka menggunakan “otak” (dalil akal dan logika syariat) dan “hati” (metode iluminatif tarikat) sebagai kerangka taktis dalam memecahkan banyak masalah.

Kerangka metodologis: syariat-tarikat-hakikat-makrifat, masih digunakan dalam dunia akademik. Karenanya, sains berkembang pesat. Sementara, tiga framework ilmiah ini seperti ditinggalkan dalam beragama (cenderung terhenti di syariat). Sehingga, islamic beliefs menjadi tertinggal (terkesan terpisah dari ilmu-ilmu dunia).

Dalam makna terminologis, syariat dan tarikat, itu artinya “jalan”. Karena itu, Anda tidak boleh berhenti di jalan. Anda tidak boleh berhenti di syariat ataupun tarikat. Anda baru berhenti kalau sudah sampai di tujuan. Yang dituju itu adalah “hakikat” (terobservasinya sebuah objek selidikan, ainul yakin) dan makrifat (terbangunnya pengetahuan baru yang bersifat konfirmatif, haqqul yakin). Syariat (konsep/dalil) dan tarikat (metode pembuktian), keduanya adalah jalan untuk menuju hakikat dan makrifat (pengalaman dan pengetahuan).

Dari tiga kerangka metode ilmiah ini, Islam itu sebenarnya agama pengetahuan (“agama iqrak”). Agama yang hadir untuk melahirkan ahli-ahli makrifat. Mulai dari ranah “dunia skala” (fisik/sains alam), maupun “dunia niskala” (metafisik/sains spiritual). Seseorang, kalau menguasai metode ilmiah, bisa menjadi ulama/ilmuan di kedua bidang ini. Karena itulah, di era klasik, seorang ilmuan muslim itu biasanya juga seorang sufi. Tidak terpisah. Ilmu dunia dan akhirat, kekeramatan duniawi dan ukhrawi, itu menyatu dalam dirinya. Sebab, mekanisme kerja ilmiahnya sama.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Next Post

KITAB SUCI, "KARYA ILMIAH" PARA NABI

Sat Mar 11 , 2023
“Jurnal […]

Kajian Lainnya