KITAB SUCI, “KARYA ILMIAH” PARA NABI

“Jurnal Suficademic” | Artikel No. 30 | Maret 2023

KITAB SUCI, “KARYA ILMIAH” PARA NABI
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Sejak kapan Nabi Muhammad SAW beragama Islam?

Ini pertanyaan bodoh. Tapi tidak bodoh-bodoh amat. Justru ini sebenarnya pertanyaan cerdas. Kenapa ada pertanyaan seperti ini?

Sebab, kita sering menganggap, Islam itu turun di Gua Hira pada usia Nabi ke 40. Orang-orang mengira, Nabi Muhammad SAW menerima Islam pada usia dewasa. Jadi, sebelum itu, Beliau beragama apa? Mau menuduh Beliau kafir?

Nanti kita akan jelaskan, bahwa Nabi Muhammad SAW itu sejak kecil/muda, itu sudah Islam (hanif/bertauhid). Tapi secara teoritis. Maksudnya, sejak awal ia sudah mengikuti dalil agama dan praktik-praktik keyakinan nenek moyangnya, yang bersambung ke Ismail as dan Ibrahim as.

Baru kemudian, setelah terus menerus melakukan pengujian melalui metodologi iluminatif yang ia praktikkan di Gua Hirak, maka sejak usia 40, Beliau mendapat konfirmasi dan pencerahan-pencerahan atas apa yang selama ini diyakininya. Wahyu merupakan pengalaman hakikat dalam memperoleh pengetahuan (makrifat) atas semua kegelisahan dan kepercayaan (research questions and hypothesis) yang selama ini ia bangun.

Jadi, tidak mungkin Muhammad menjadi nabi “out of nothingness”. Bukan tiba-tiba menjadi nabi dari kekosongan jiwa. Derajat kenabian, itu akumulasi dari “riset spiritual” sejak usia belia. Pangkat kenabian adalah akumulasi keislaman sejak kecil. Bukan tiba-tiba dari kafir jadi nabi. Bukan gara-gara minum kopi, tiba-tiba jadi nabi.

Dengan demikian, Nabi sejak kecil sudah beragama Islam (agama tauhid/hanif), warisan orang tuanya. Artinya, orang tua nabi adalah Islam, orang hanif/bertauhid. Maka keliru kalau ada yang mengatakan, orang tua Nabi itu kafir.

MUHAMMAD SAW is a learnt man. He studied and practiced the previous religious teaching inherited from his family and gurus. At the same time, he examined all those things in a scientific and illuminative research processes.

said muniruddin, “the suficademic”

***

Bisa saja kita mengatakan: “iya, Islam sudah ada sejak sebelum Muhammad lahir. Tapi Islam sebelum Nabi Muhammad SAW bukan Islam yang sempurna. Sempurnanya Islam setelah Muhammad SAW menerima wahyu”.

Islam itu sempurna. Sejak zaman Adam, Islam sudah sempurna, untuk masing zamannya. Kalaupun ada nabi yang datang lagi, sebenarnya itu bukanlah untuk menyempurnakan “kecacatan” Islam sebelumnya. Islam (agama tauhid) yang turun disetiap zaman tidak pernah cacat. Kalau dikatakan menyempurnakan, iya juga. Yaitu menyempurnakan kekurangan (memperbaiki) dalil dan perilaku orang-orang yang sudah melenceng dari keaslian ajaran.

Paska Adam as sampai Muhammad SAW, nabi terus bermunculan. Tujuannya untuk mengkonfirmasi kebenaran-kebenaran yang telah turun sebelumnya. Sekaligus untuk menguji kembali dalil-dalil terdahulu, guna diperoleh kebenaran-kebenaran dalam perspektif baru. Sekaligus mengoreksi kesalahan-kesalahan yang sudah terjadi. Karenanya ada pembaharuan-pembaharuan sesuai konteks zaman. Juga untuk mengikis kebohongan-kebohongan (hoaks/dalil palsu) yang telah disebar para agamawan.

Atas dasar ini, Islam Muhammad disebut-sebut hadir untuk “menyempurnakan” agama-agama terdahulu. Karenanya, Islam disebut “agama ilmiah”. Agama yang dibangun untuk terus menyempurna (becoming), dari satu tahap kesempurnaan ke tahap kesempurnaan lainnya. Sampai kamil mukammil.

Tradisi ilmiah bertujuan membangun teori dan praktik dari fondasi yang telah ada. Islam hadir untuk memberi peneguhan terhadap dalil-dalil terdahulu. Sekaligus melalui metode pengujian (tarikat) tertentu, akan mengisi celah (gap) serta mengungkap kebenaran-kebenaran baru. Sehingga, struktur peradaban semakin kontekstual.

Begitulah bangunan ilmiah dari agama. Islam, sejak Nabi Adam as terus berkembang. Terus lahir riset-riset ilmiah dari para nabi, yang hasilnya terpublikasi dalam kitab, suhuf, relik-relik, ataupun tradisi oral mereka.

Satu kitab dirasa tidak cukup. Misalnya Zabur saja. Tidak memadai. Ilmu harus terus diuji dan direplika dalam berbagai konteks zaman oleh para ahlinya. Sehingga kebenarannya terkonfirmasi kembali dalam laporan-laporan selanjutnya, dalam kitab-kitab kemudian. Sehingga kemudian lahir Taurat, Injil dan Quran. Disamping banyak sekali fragmen/manuskrip relijius lainnya.

Maka, jika ada yang mengatakan, Quran itu banyak mengutip Injil, itu benar. Semua kitab samawi punya kemiripan. Tidak mungkin Quran tersaji tanpa landasan teori sebelumnya. Sudah pasti banyak berisi argumen, dalil, konsep, teori, preposisi atau syariat dari penelitian para nabi terdahulu. Disamping banyak sekali temuan-temuan, perspektif orisinal, atau kebenaran-kebenaran baru (unsur-unsur novelty) yang dipresentasikan Muhammad SAW kepada generasinya.

***

BERAGAMA, pengalaman spiritual-empiris dalam beragama, harus terus di update melalui riset sepanjang masa. Salah satunya adalah, melalui metodologi iluminatif (tarikatullah) yang telah diwariskan kepada kita. Kalau ini terhenti, Islam akan menjadi agama tahayul dan khurafat. Akan menjadi agama “gaib” selamanya.

said muniruddin, “The suficademic”

Begitulah mekanisme kerja agama. Harus ilmiah. Harus terus di-update. Harus terus direplika bentuk-bentuk penelitian yang dilakukan oleh para nabi sebelumnya. Sampai kiamat, pekerjaan ilmiah ini tidak boleh berhenti. Kalau berhenti, Islam menjadi agama khurafat dan takhayul. Meyakini sesuatu yang tidak ada pembuktian atau tidak bisa dibuktikan, itu membuat Islam kehilangan nilai ilmiah yang menjadi unsur fundamental sebuah agama pengetahuan (iqrak).

Jadi, yang diperoleh Nabi SAW di Gua Hirak sejak usia 40, itu adalah efek dari kerja-kerja metodologis (tarikat). Kerja menyepi, menyendiri dan meriset segala bentuk fenomena dan wujud. Sejak usia 40, Beliau mulai memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru, yang biasa disebut “makrifat”. Ayat yang terus turun kepada Beliau sejak usia 40, itu adalah proposisi, konsep, teori atau dalil-dalil confirmatory yang lahir dari proses “pencarian”, “pengujian”, “penelusuran” dan “pembuktian”.

Sejak muda sampai dengan usia 40, Beliau melakukan berbagai bentuk riset dengan metodologi yang sangat ketat. Selama berhari, bermalam, berminggu dan berbulan menyepi dipusat inkubasi spiritual, di laboratorium pengujian, di Universitas Hirak dan mungkin juga di pusat-pusat spiritualitas lainnya saat berdagang ke Syams. Mungkin juga Beliau pernah mondok di Petra, Yordania. Apa yang Beliau uji?

Beliau menguji semua keyakinan atau kepercayaan yang telah dimiliki, atau telah diwarisi dari orang tua ataupun guru-guru terdahulu. Jadi, Muhammad SAW itu bukan seorang yang ummi dalam pengertian “illiterate“. Cerdas sekali Beliau itu. Tokoh jenius ilmiah. Sejak kecil sudah mewarisi dalil agama dari orang tuanya yang Hanif. Bahkan sudah berdiskusi agama dengan Pendeta Buhaira, juga Waraqah bin Naufal. Sejak awal sudah bertauhid. Sejak kecil sudah terjaga. Namun butuh proses untuk menguji semua keyakinannya, seiring pertumbuhan spiritualitasnya.

Sebagai manusia yang berakal, beliau tentu punya “keresahan”. Dibenaknya bermunculan banyak konsep dan pertanyaan. Ada skeptisisme dalam dirinya terhadap wujud alam dan kondisi sosial, dan ia berminat untuk menemukan jawaban hakiki, sebagaimana Ibrahim as mencari Tuhan (QS. Al-An’am: 75-79).

Semua pertanyaan, keresahan, kecurigaan dan keyakinannya (hipotesis); Beliau bawa ke ruang kerjanya di gua Hirak, untuk uji dan refleksikan melalui langkah-langkah metodologis. Ada profesor pembimbing (sebutlah inisialnya “Jibril as”). Prosesnya lama. Tidak bisa sehari atau dua hari. Bertahun-tahun. Seorang mahasiswa doktoral saja butuh 3-4 tahun untuk memperoleh makrifat (esensi pengetahuan/hakikat) dari sebuah research question.

Maka tidak heran, Muhammad SAW butuh waktu studi cukup lama untuk memperoleh jawaban menyeluruh untuk berbagai permasalahan, yang meliputi segenap alam ontologis (multiple perspectives; fisika dan metafisika). Risetnya puluhan tahun. Tapi terungkap pelan-pelan. Lahir ayat demi ayat, dalil demi dalil, makrifat demi makrifat sepanjang usia.

Pada akhirnya; dia sendiri sudah menjadi dalil (syariat), sudah menjadi alat dan metode (tarikat), sekaligus sebagai hasil (hakikat) dan kesimpulan (makrifat). Beliau telah menjadi Quran berjalan. Beliau itu teks, sekaligus perbuatan dan hasilnya. Karena itu Beliau berkata:

الشَّرِيْعَةُ أَقْوَالِيْ ، وَالطَّرِيْقَةُ أَفْعَالِيْ ، وَالْحَقِيْقَةُ حَالِيْ ، وَالْمَعْرِفَةُ رَأْسُ مَالِيْ

“Syariat adalah perkataanku, tarekat adalah perbuatanku, haqiqat adalah keadaan (batin/penglihatan)-ku, dan makrifat adalah pangkal harta-ku (Kasyf al-Khafa’, juz 2, halaman : 7).

Apakah Islam sekarang masih perlu “di-update?”

Kalau tidak mau ketinggalan zaman, iya. Kalau Islam ingin dikatakan sebagai “agama universal”, maka dalil Quran dan Sunnah; semua doktrin dan dogma agama harus bisa diuji di setiap tempat dan waktu. Harus relevan untuk setiap zaman.

PARA NABi adalah mujaddid, pembaharu atau prominent researchers; yang mampu membuktikan keberadaan ontologi yang lebih tinggi dari “dunia bawah” (dunia fisika). Kecerdasan intelektual para saintis alam itu berada dibawah kecerdasan iluminatif para nabi. Sebab, kecerdasan iluminatif mampu membuktikan secara objektif (empirically spiritual) keberadaan “dunia atas” (metafisika).

said muniruddin, “the suficademic”

Karena itu ada namanya “pembaharu” (mujaddid, prominent researcher), yang katanya, setiap 100 tahun sekali akan muncul untuk memperbaharui “rasa” dalam beragama. Para nabi, itu mujaddid. Ulama para pewaris nabi juga disebut mujaddid. Sejauh menguasai metodologi ilmiah para nabi, atau mampu membuktikan berbagai fenomena, khususnya hal-hal gaib (dunia niskala).

Sebab, hal gaib (rukun iman) merupakan fenomena puncak dari kepercayaan. Enam hal inilah yang harus dibuat ilmiah, bisa diuji, diobservasi atau di eksperimentasi. Sehingga agama berkembang dari hipotesa (kepercayaan) menjadi ilmiah (terungkap). Para mujaddid mampu membuat Tuhan yang gaib (sirr) menjadi terungkap. Tuhan yang jauh (transcendent), bisa dibawa mendekat (immanent). Tuhan yang batiniah bisa diobservasi dalam citra dhahir. Tuhan yang tidak serupa dengan apapun, bisa termanifestasikan dalam Wajah.

Itulah puncak beragama, kembali mengalami apa yang dialami para nabi. Khususnya pengalaman empiris (ilmiah) berjumpa dengan Allah. Agama adalah pengalaman perjumpaan dengan Tuhan, yang berulang-ulang. Apa yang dialami Adam as, dialami semua nabi sampai kepada Muhammad SAW, sesuai konteks zaman. Pun, apa yang dialami Muhammad SAW dalam berbagai bentuk pengalaman spiritual, juga dialami oleh pengikutnya disepanjang zaman.

Untuk mencapai “universalitas pengalaman” (walaupun sifatnya personal), yang perlu diperbaiki dalam beragama adalah metodologi pembuktian, jalan pengujian, prosedur ilmiah, langkah pembuktian, atau yang dalam terminologi agama disebut “tarikah”.

AGAMA yang ilmiah adalah, pengalaman perjumpaan dengan Allah secara berulang-ulang. Disetiap tempat dan zaman. Ketika ini tidak bisa dialami lagi, Islam akan menjadi agama dongeng dan dogma.

SAID MUNIRUDDIN, “THE SUFICADEMIC”

Ketika Anda punya metodologi untuk bisa membuktikan Tuhan, baik secara teoritis maupun esensial (melalui pengalaman perjumpaan), Anda akan memiliki berbagai kemampuan untuk membuktikan aneka wujud (ontologi) yang lebih rendah dari Tuhan. Karenanya, Nabi SAW itu genius. Mirip-mirip tau semua hal. Sebab, diberitau oleh Allah. Hanya saja, Beliau lebih fokus pada riset “alam metafisik”, ketimbang memilih menjadi saintis alam fisika (menjadi penemu teknologi tertentu). Sebab, bagi Beliau, ontologi metafisis (ruh/nafs) itu hirarkinya lebih tinggi. Variabel itulah yang dapat membawa manusia kepada Allah. Walau demikian, banyak sekali hasil riset Beliau dalam berbagai proposisi ayat yang mengandung pengetahuan tentang sosial kemasyarakatan dan hukum-hukum alam fisika.

Nabi SAW (sebagaimana umumnya nabi) memilih fokus pada pengayaan ruhani. Sebab, kita ketahui, ilmuan ruhani sangat langka dan sulit dilahirkan. Kecerdasan mereka sebenarnya lebih tinggi dari ilmuan positivist. Kalau menurut Hawkins (Power vs. Force, 2012), kecerdasan intelektual seorang saintis itu maksimal ada pada angka kredit 499. Albert Einstein, salah satunya, diyakini ada pada level itu.

Tapi, untuk menjadi seorang nabi, anda harus memulai pencapaian kredit dari angka 500-1000. Kecerdasan ini sudah bernilai iluminatif. Kemampuannya mengakses pengetahuan sudah di atas pencapaian intelek. Kecerdasan para nabi sudah mampu menembusi ujung petala langit dan bumi (kepada Allah), bukan lagi sekedar menghitungnya. Ketika sudah sampai ke ujung langit (ke Tuhan), Anda akan punya kecerdasan berlipat untuk menjawab berbagai fenomena yang meliputi segala alam.

Karena itu, puncak pencarian kita yang sebenarnya adalah Allah (Al-Haq/Hakikat/The Absolute). Kalau itu didapat, yang lain beres semua. Semua kebenaran partikular (biasa disebut kebenaran yang “heterogen” atau “subjektif”), sebenarnya ada dalam dimensi Tunggal (Ahad). Semua persepsi kebenaran, itu sesungguhnya ada dalam yang Satu itu.

Ketika artikel ini berjudul “Kitab Suci: Karya Ilmiah Para Nabi”, itu tidak berarti kitab suci adalah murni karya para nabi. Itu Kalam/Pengetahuan yang objektif berasal dari Tuhan. Murni, tida ada intervensi, unsur qiyas atau akal-akalan para nabi.

Ciri karya ilmiah adalah “objektif”. Makna objektif adalah “kebenaran mengungkapkan dirinya sendiri”, tanpa direkayasa. Kebenaran bukanlah sesuatu yang kita ada-adakan. Kebenaran memperlihat dirinya sendiri. Kebenaran “turun” (tanazzul) atas kemauannya sendiri. Itu namanya objektif. Oleh karena, Quran menjadi sebuah “karya” paling objektif di muka bumi. Bukan dibuat-buat. Tapi sesuatu yang turun sendiri.

Namun, pengetahuan itu tidak akan diperoleh, seandainya para nabi tidak “bertarikat” (punya langkah metodologis) untuk memperolehnya. Ada alat dan fasilitas, ada langkah dan aktifitas. Untuk mencapai itu, mereka harus mampu melihat dan menangkap persoalan umat, dan mengujinya lewat sebuah “spiritual modeling” (illuminative regression). Pada titik tertentu, kecerdasan “Gamma” hadir. Gelombang pemikiran suprasadar ini mampu menjangkau alam pikiran Tuhan. Sehingga, pengetahuan-pengetahuan hakikat mampu terungkap dan diorasikan kepada umat, sesuai tradisi masa itu. Sebagian tercatat dalam fragmen batu, kulit dan tulang. Beberapa periode kemudian baru dikumpul dan tuliskan.

BACA: “Spiritual Brainwaves, Menata Gelombang yang Berkesadaran Ilahi”

Itulah yang dimaksud kitab suci sebagai “karya ilmiah” para nabi. Mungkin lebih tepat kalau kita sebut sebagai karya “supra-ilmiah”. Bukan karya nabi. Tapi karya yang lahir dari sebuah mekanisme yang sangat metodologis. Untuk melahirkan itu ada langkah sistematis dan sangat rapi. Tentu dimulai dari proses penyucian diri. Sehingga isinya benar-benar objektif, tidak dimanipulasi. Kerja-kerja ilmiah harus seperti itu, trustworthy, bisa dipercaya. Al-Amin.

PARA NABI punya ‘karya’ berupa kitab, suhuf, atau mungkin fragmen-fragmen suci yang berisi “makrifat”: pengetahuan hakiki, yang didapat melalui serangkaian proses ilmiah yang metodologis, objektif, rapi, sistematis dan teratur.

Anda juga bisa terus menulis melalui kerja-kerja ilmiah yang metodologis (bertarikat). Tujuannya untuk membenarkan, mengembangkan atau melahirkan konsep, dalil, proposisi, teori, jurnal atau kitab-kitab baru. Juga membongkar kepalsuan yang mungkin sudah berkembang selama ratusan, atau mungkin ribuan tahun. Mungkin tidak lagi disebut “kitab suci”. Sebab, untuk mencapai karya seagung Quran, itu kelihatannya hanya Muhammad SAW yang mampu. Kalau Anda mampu, coba saja. Saya curiga, wadah kita tidak memadai.

BACA JUGA: “Syariat-Tarikat-Hakikat, Metode Ilmiah dalam Islam”

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Next Post

"LIQA' ALLAH": DUA LEVEL PERJUMPAAN

Sun Mar 12 , 2023
Jurnal […]

Kajian Lainnya