“LIQA’ ALLAH”: DUA LEVEL PERJUMPAAN

Jurnal Suficademic | Artikel No. 31 | Maret 2023

“LIQA’ ALLAH”: DUA LEVEL PERJUMPAAN
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Suatu ketika tersiar kabar ke seluruh negeri. Nun jauh disana, katanya, ada seorang putri yang cantik jelita. Tak ada bandingan. Kalau melihatnya, bisa langsung terpesona. Si gadis ini menunggu siapapun yang ingin dekat dengannya, tanpa memandang kasta.

Semua pemuda yang jiwa dan pikirannya masih normal, tertarik ingin menatap wajahnya. Ingin memiliki dan menjadi kekasihnya.

Pertanyaannya, bagaimana cara agar bisa membangun komunikasi, bisa berjumpa, sekaligus memilikinya? Pasalnya, tak ada yang tau alamatnya. Sangat rahasia. Tak ada yang pernah berjumpa dengannya. Kecuali satu orang.

Kebetulan, orang itu adalah orang terbijak di negeri itu. Ia pernah berpetualang ke berbagai penjuru dunia. Dia pernah berjumpa, sekaligus memiliki nomor kontak si gadis nan indah rupanya. Ia juga akrab dengan putri itu.

Tak ayal lagi. Para pemuda datang menjumpainya. Meminta nomor WA sang putri jelita.

Namun, karena adab yang tinggi, si bijak ini tidak begitu saja memberikan nomor kontak sang putri. Apalagi ketika melihat, tidak semua pemuda bagus perangainya. Ia sangat menjaga hubungan baik dengan sang putri. Bahkan bisa dikatakan sebagai salah satu orang kepercayaannya.

Pun kepada para pemuda yang bagus akhlak, tidak serta merta dia berikan juga. Terlebih dahulu ia meminta ijin sang putri, apakah boleh atau tidak memberikan nomor WA dia kepada para pemuda yang ingin membangun hubungan dengannya.

Si putri ini sangat cerdas, sekaligus terbuka. Cantik, tapi tidak sombong. Ia izinkan nomor Hp nya dibagikan. Tapi hanya kepada pemuda yang santun dan baik budinya.

Alhasil, sejumlah pemuda memiliki nomornya. Mulailah mereka membangun komunikasi dengan si jelita. Siang malam, pagi petang. Mereka terus berkomunikasi.

Semua pemuda senang, karena WA mereka dibalasnya. Walaupun mungkin ada satu dua yang diabaikan, bahkan bisa berhari-hari tidak dijawab, karena mungkin dianggap tidak jujur dalam berkata-kata. Ataupun karena si putri menginginkan para pemuda lebih memperbaiki diri mereka untuk mendapat responnya.

Meskipun tidak berjumpa, tidak pernah melihat wajahnya, para pemuda sudah merasa cukup senang bisa mendapat jawaban-jawaban via WA. Setiap mendapat balasan, pasti badan mereka terasa bergetar. Begitulah cinta. Walau jarak masih terpisah, namun terasa kehadirannya.

Pada akhirnya, hanya ada satu pemuda yang benar-benar tulus yang diizinkan berjumpa. Karena lokasinya rahasia, mereka hanya bisa diantar oleh si bijak, orang yang pernah ke tempatnya.

Maka dibawalah pemuda terpilih itu kesana. Diantar oleh sang arif ini sampai ke depan pintunya. Setelah itu, si bijak pamit, sambil berkata: “Silakan masuk dan bertemu sendiri, tugasku sudah selesai dengan mengantarkanmu sampai kesini”.

Setelah itu tidak bisa dijelaskan lagi. Karena itu momen perjumpaan mereka berdua. Pengalaman rahasia. Sesuatu yang sulit dilukiskan kata-kata. Mungkin si pemuda sendiri sudah kehilangan bahasa. Bisa jadi dia pingsan seketika. Sebab, pertemuan adalah puncak bahagia.

Saudara-saudara sekalian, Allah itu Maha Indah, sumber segala keindahan. Mungkin hanya orang gila yang tidak ingin menjumpainya. Ketika Anda mencari kebahagiaan hakiki, apalagi, kalau bukan untuk berjumpa dan diterima oleh-Nya. Perjalanan kita semua adalah perjalanan kembali kepada-Nya. Walau belum tentu diterima.

Allah itu ada. Beritanya sudah menyebar kemana-mana. Ke segala penjuru dunia. Semua ingin terhubung dengan-Nya. Sebab, rasa bahwa Dia memang ada, itu fitrah kita.

Ateis sekalipun, punya pikiran tentang Tuhan. Hanya saja, mereka stres, sebab tak tau metode untuk menjumpai-Nya. Namanya ada. Tapi wujudnya tak diketahui dimana. Akhirnya putus asa mereka. Lalu mengatakan bahwa Tuhan tidak ada. Kesimpulannya sederhana, “Yang tak bisa dilihat, tidak ada”. Padahal ada “mata” yang belum pernah digunakannya.

Tuhan itu bukan konsep baru. Telah berlalu banyak sekali manusia dalam sejarah yang mampu menemui-Nya. Banyak sekali, mencapai 124 ribu. Sebagian pengalaman itu mereka catat dalam berbagai “karya ilmiah” (kitab suci) mereka.

Kalau sudah banyak sekali yang mengalami, berarti probabilitas empiriknya tinggi sekali, bahwa Dia memang ada dan bisa dijumpai berulang kali. Berarti, itu kejadiannya ilmiah. Artinya, pertemuan dengan Dia bisa diulang-ulang. Hanya perlu tau metodologinya. Jangan karena tidak tau metodologi, lalu mengatakan Allah tidak ada. Telusuri dulu, mereka yang disebut nabi, punya metodologi apa untuk mengalami itu.

Sayangnya, orang yang paham metodologi untuk menjumpai Allah itu sangat langka. Namanya juga Allah, itu kan ‘barang berharga’. Pasti sedikit yang tau cara untuk mencapainya. Sementara, yang tau teori tentang Allah, itu banyak sekali. Mungkin mereka punya ribuan buku di lemari rumahnya. Isinya tentang Allah semua. Bahkan mereka berceramah tentang itu kemana-mana. Tapi problemnya satu, mereka tidak tau cara menjumpai-Nya. Menyembah, tapi tidak pernah melihat-Nya.

Untunglah selalu ada orang bijak, yang paham peta langit. Orang-orang arif ini memiliki “sultan”, metode iluminatif-ilmiah untuk menembus petala langit dan bumi, untuk menjumpai Tuhan. Mereka pun sebenarnya diajari juga oleh orang arif sebelumnya, bukan serta merta tau sendiri. Mereka inilah yang tau Allah itu ada dimana dan bagaimana cara menjumpai-Nya. Sejarah menyebut mereka sebagai “nabi”. Ataupun para imam/wali, para pewaris metodologi pencapaian makam Rabbani.

Karena mereka telah mengenal Allah, Allah pun mengangkat mereka sebagai “khalifah”, atau orang kepercayaannya. Sebagai wakil atau penolong/hamba Allah.

Orang-orang ini ada disepanjang zaman. Tapi cenderung silent. Tidak mungkin mereka bicara di podium Jumat, “Saya semalam naik ke langit dan berjumpa Allah”. Bisa dilempar sandal sama jamaah.

Nabi Muhammad SAW juga ditertawain, dianggap gila, gegara menyebutkan bahwa semalam telah melakukan israk mikraj, ke Baitul Maqdis dan Sidratul Muntaha. Semua nabi ditertawain gara-gara menceritakan pengalaman spiritualnya.

Untung ada Keluarga dan sahabat yang percaya. Orang-orang inilah yang kemudian mewarisi ilmu khusus ini. Karenanya, ilmu spiritual (metode perjumpaan dengan Allah, atau tarikatullah) turun dari orang-orang ini kepada generasi seterusnya. Jangan banyak berwacana dalam agama. Anda harus membangun sanad spiritual kepada orang-orang arif tersembunyi ini, para pewaris metodologi “transcendental journey”.

Merekalah yang mampu membawa Anda ke sisi Allah SWT. Mungkin tidak langsung. Pelan-pelan, sesuai wadah dan perkembangan spiritualitas kita.

Pada awalnya, jika Anda sudah mulai bersih jiwa melalui berbagai amalan yang dia anjurkan untuk diamalkan, Anda akan diberikan nomor kontak-Nya. Itu bentuk “perjumpaan level pertama”. Bisa saling WA. Kalam-Nya akan masuk ke Ruhani Anda. Setiap Anda mengingat-Nya, Dia akan merespon, sampai bergetar jiwa Anda. Dalam tasawuf disebut “muraqabah”. Setiap disebut nama-Nya, berbunga-bunga hati Anda. Itu namanya sudah konek, “spiritually connected” (QS. Al-Anfal: 2):

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اٰيٰتُهٗ زَادَتْهُمْ اِيْمَانًا وَّعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَۙ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah mereka yang jika disebut nama Allah, gemetar hatinya dan jika dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhannya mereka bertawakal” (QS. Al-Anfāl [8]: 2)

Indah sekali pengalaman ini. Bisa chatting dengan Allah, walau belum melihat Wajahnya, itu sudah sebuah bentuk pertemuan luar biasa. Bayangkan, jika Anda bisa bertemu dengan-Nya.

Perjumpaan level pertama terjadi di alam cahaya, sebutlah begitu. Sebab, chatting kita dengan-Nya, itu masih menggunakan ‘perangkat WA’. Isinya kan cahaya, atau gelombang cahaya. Artinya, walau sudah terbuka sedikit “tirai”, dalam artian sudah mampu berkomunikasi secara sederhana; namun kita masih terhijab oleh cahaya. Wajah Dia yang lebih hakiki belum bisa dijumpai.

Maka, untuk bisa hadir ke tempatnya, untuk memperoleh bentuk “Perjumpaan pada level kedua”, face to face (inni wajjahtu wajhiya), wadah spiritual kita harus sudah lebih sempurna. Hijab cahaya harus dilewati. Anda harus menempuh perjalanan yang lebih disiplin lagi, untuk sampai ke makam paripurna.

Lagi-lagi, kalau akhlak semakin suci, sang Arif akan membawa Anda sampai ke tempat-Nya. Sampai kesatu titik, dimana sang Arif akan berkata: “Aku hanya bisa sampai disini, masuklah engkau kesana, jumpai Dia”. Atau dalam bahasa lain, sang Arif berkata: “ini adalah engkau, dan itu adalah Tuhanmu”.

Begitulah yang dikatakan Jibril as, mursyid nabi, ketika mengantarkan Muhammad SAW ke sisi Allah SWT. Jibril/mursyid itu “wasilah”. Wasilah bukan perantara. Melainkan pembimbing. Dia membimbing Anda untuk mampu berkomunikasi, atau bahkan berjumpa secara langsung dengan Allah.

Jibril/mursyid adalah sosok yang sudah bolak-balik ke langit. Sudah tau dimana Allah. Itulah jenis guru, yang mampu mempertemukan Anda dengan Allah. Sedangkan jenis guru lainnya, mungkin hanya mampu mengajari Anda cara melafazkan nama Allah. Atau mungkin cara menulis nama Allah.

Lalu apa yang terjadi kalau Anda berjumpa Allah?

Itu terserah Anda. Apakah mau pingsan, seperti yang dialami Musa as (QS. Al-Araf: 143); ataupun tidak, seperti yang dialami Muhammad SAW, itu terserah Anda.

Musa as, pada level pertama perjumpaan, ia mampu berkata-kata dengan Allah. Sehingga, ia dijuluki “Kalamullah”. Bisa nelponan dengan Allah. Level selanjutnya, ketika berbagai gunung hijab telah gugur (“gunung” hancur luluh ketika Allah hadir/menatapnya – Al-‘Araf: 143), ia menjadi lebur, pingsan atau fana bersama Allah. Tidak ada lagi ayat yang melukiskan pengalaman ini. Sebab, ini sudah diluar jangkauan kata-kata. Bahkan mungkin diserahkan kepada Anda untuk mengalaminya sendiri lalu silahkan diungkapkan bagaimana rasanya. Mudah-mudahan tidak disebut gila!

قُلْ اِنَّمَآ اَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوْحٰٓى اِلَيَّ اَنَّمَآ اِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌۚ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَاۤءَ رَبِّهٖ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَّلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهٖٓ اَحَدًا ࣖ

“… Siapa yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya, hendaklah melakukan amal saleh dan tidak melakukan kemusyrikan dalam beribadah kepada Tuhannya” (QS. Al-Kahf [18]: 110)

***

Sayang; kita terlanjur melihat harta, pangkat dan jabatan sebagai “perempuan cantik” dan sumber kebahagiaan. Segala cara kita tempuh untuk memperoleh itu. Pada saat yang sama, kita lupa mencari metodologi untuk menemui Allah.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

5 thoughts on ““LIQA’ ALLAH”: DUA LEVEL PERJUMPAAN

  1. Terimong genaseh Bang Munir. Maaf saya sudah bagikan artikel ini di beberapa tempat di Nusantara ini. Semuanya menyampaikan salut yg luar biasa. Sekali lagi hormat saya. Anak ekonomi manajemen. 2210/78. 🙏🙏🙏

    1. Luar biasa, bahasa yang sangat sederhana namun sangat memikat 🙏 izin membagikan

Comments are closed.

Next Post

"IBLIS", MALAIKAT YANG TERBAKAR API KESOMBONGAN

Mon Mar 13 , 2023
Jurnal […]

Kajian Lainnya