Itulah “silsilah” manusia, min sulalatin min tin (Al-Mukminun: 2). Manusia tercipta dari “silsilahnya” tanah. Tanah bersilsilah ke saripati Atom. Atom bersilsilah ke cahaya (kuark). Cahaya terus bersilsilah kepada “Cahaya di Atas Cahaya”.
Artinya, “silsilah” manusia, melalui proses emanasi/iluminasi, itu sampai kepada Allah. Allah tidak menciptakan semua lewat proses “memperanakkan”. Dia tidak beranak dan diperanakkan. Dia menjadikan sesuatu sejak awal tidak melalui mekanisme biologis. Dia menjadikan sesuatu melalui prinsip-prinsip emanasi. Dia mencipta, lewat cahaya yang terus “menjadi” (becoming). Isa as, itu bukan anak biologis Tuhan. Tuhan yang Ahad tidak punya struktur biologis. Isa itu emanasi dari ruh-Nya. Isa itu ruhullah as.
Jadi, manusia adalah “makhluk cahaya”. Sekaligus “materi/atom” (tanah). Inilah makna ayat, bahwa kita pada awalnya telah dijadikan dalam sebaik-baik bentuk. Kita ini pada dasarnya adalah “malaikat” (cahaya), yang dekat sekali usulnya dengan Allah. Kita ini awalnya ada dalam rupa Ruh (cahaya-Nya, bagian-Nya, atau hembusan-Nya). Inilah “ahsanu taqwim” (bentuk terbaik manusia). Dalam wujud cahaya, tentu manusia tidak butuh makan atau minum. Mungkin kebutuhannya hanya bertasbih saja. Sebab, kalau Anda perhatikan karakter “quark”, itu pusaran cahayanya seperti sedang bertasbih, terus berputar (tawaf) ke kiri tanpa pernah berhenti.
Tapi kemudian “cahaya” ini terus membentuk citranya dalam rupa atom sampai menjadi materi yang terindera. Pada titik ini, “cahaya” (ruh/gelombang kesadaran) telah terpenjara dalam dimensi fisik. Fisik punya banyak kelemahan. Karena sudah menempati ruang dan dimensi, kecepatannya melemah. Unsur fisik juga bisa mati/musnah.
Karena “tanah” (materi) berada pada bagian paling ujung dari gradasi penciptaan (emanasi), maka ia disebut sebagai unsur paling “hina” (manusia tercipta dari air yang hina, QS. Al-Mursalat: 20), “lemah” (kami jadikan manusia dalam keadaan lemah, QS. An-Nisa: 28). Semua dosa tercipta pada dimensi ini. Dia bisa berdarah, atau saling menumpahkan darah (QS. A-Baqarah: 30). Dalam wujud materi, manusia butuh makan dan minum.
Semua kekurangan dimensi material ini juga dirangkum kembali dalam At-Tin ayat 5, Tsumma radadnahu asfala safilin. “Kemudian kami kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya”. Unsur bumi/tanah (materi) adalah unsur terendah dalam gradasi penciptaan.
Adam (Bani Adam) dalam dimensi tanah adalah “makhluk terendah”. Makanya, ‘Iblis’ tidak tunduk kepada Adam. Sebab, api pangkatnya lebih tinggi dari tanah. Api lebih duluan terjadi/tercipta daripada tanah. Sementara cahaya lebih dulu ada daripada api. Pangkat cahaya lebih tinggi. “Silsilah” iblis itu begini:
Cahaya (malaikat) >> Gelombang elektromagnetik/listrik (api) >> Atom (tanah)
Dani
Terima kasih.