Jadi, “iblis” (api) itu lahir dari cahaya. Karena itu dikatakan, iblis adalah mantan malaikat. Awalnya ia memang malaikat. Tapi unsur “api” telah membuatnya berbeda. Ketika seseorang dominan unsur amarah, angkuh, takabur dan sombong; itu sudah menjadi “api” (iblis). Sudah “kufur” (unsur cahaya-Nya sudah tertutupi, QS. Al-Baqarah: 34). Hawanya memburuk. Karakternya menjadi panas. Membakar. Bisa rusak semua.
Manusia sebagai “makhluk tanah” (atom/materi) memiliki semua potensi ini. Baik sebagai “makhluk ruh” (malaikat/cahaya), ataupun sebagai “makhluk keblablasan” (iblis/api). Karena keunikan ini, kita dianggap “spesial”. Bisa menjadi makhluk apapun. Disatu sisi kita memang rendah, makanya malaikat (secara metafor) melakukan protes. Tapi Allah lebih tau. Bahwa manusia punya potensi cahaya, untuk menjadi khalifah-Nya (QS. Al-Baqarah: 30).
Melalui metodologi (tarikat) tertentu dalam berbagai praktik tasawuf yang masih asli, manusia bisa dibuat beriluminasi kembali. Dari unsur tanah menjadi cahaya. Martabatnya bisa naik dari “alam jabarut” (material, atomik, devil) ke “alam malakut” (cahaya). Bahkan bisa terus bermikraj sampai ke Pusat Cahaya.
Ketika sudah berada di alam malakut, pangkat manusia sudah lebih tinggi dari iblis/setan. Karena itu, mereka yang berada di level malakut biasanya sudah memiliki “muraqabah”. Karena pangkatnya sudah lebih tinggi dari iblis, makanya mampu mengontrol iblis. Ia (secara ruhaniah) sudah mampu membedakan yang mana iblis, yang mana bukan. Sehingga tidak mudah lagi tertipu. Orang-orang ini sudah memiliki Quran yang “asli” dalam dirinya (QS. Al-Waqiah: 79), sehingga unsur-unsur iblis tidak bisa lagi membohonginya. Ini ilmu/metodologi khas para nabi dan wali-waliNya dalam menjangkau kebenaran-kebenaran tertinggi.
Manusia adalah makhluk ‘diujung semesta’, makhluk yang berada dalam gradasi akhir penciptaan. Tanah, tapi juga punya elemen cahaya. Rendah, tapi juga bisa menjadi malaikat-Nya.
Dengan kata lain, kita ini makhluk dalam dua kutub ekstrim: “sempurna” (ruhiyah/cahaya), tapi “rendah” (tanah/atom). Dalam kondisi ini, hanya satu hal yang bisa mengangkat kita menjadi tinggi dalam posisi sebagai “Khalifah Allah”. Ini dijelaskan di At-Tin ayat 6: “Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, maka mereka akan mendapatkan balasan (ajrun) yang tidak ada putus-putusnya”.
لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ (4) ثُمَّ رَدَدْنٰهُ اَسْفَلَ سٰفِلِيْنَۙ (5) اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَلَهُمْ اَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُوْنٍۗ (6)
“(4) Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya; (5) Kemudian, kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya; (6) Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan. Maka, mereka akan mendapat pahala yang tidak putus-putusnya” (QS. At-Tīn [95]: 6)
BACA JUGA: “Iblis, Malaikat yang Terbakar Api Kesombongan”
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.
#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US:
saidmuniruddin.com, “The Suficademic”
Dani
Terima kasih.