“AHSANI TAQWIM, ASFALA SAFILIN”: MANUSIA DALAM DUA WUJUD EKSTRIM

Jurnal Suficademic | Artikel No. 33 | Maret 2023

“AHSANI TAQWIM, ASFALA SAFILIN”: MANUSIA DALAM DUA WUJUD EKSTRIM
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Kali ini kami akan meminjam beberapa ayat dalam surah At-Tin, untuk menjelaskan kembali tentang keunikan makhluk bernama “manusia”. Sebelumnya, melalui Al-Mukminun ayat 12, kami sudah menjelaskan “silsilah” kejadian manusia. Tentang ini dapat di baca dalam artikel berjudul “Min Sulalatin Min Tin: Adam Tercipta dari Tanah, Tanah Tercipta dari Apa?”

Sudah kami terangkan, manusia itu pada wujud asalnya adalah “makhluk cahaya”. Quran sering menerangkan alam metafisik sebagai “cahaya”. Alam semesta tercipta dari cahaya. Allah itu sendiri digambarkan secara sederhana sebagai Cahaya di atas Cahaya (An-Nur: 35).

Keberadaan unsur cahaya melahirkan filsafat “emanasi” (proses penciptaan). Atau juga”iluminasi” (proses kembali kepada Allah). Semua dilukiskan dalam perjalanan cahaya. Sebab, segala sesuatu, pada esensinya adalah cahaya.

Dalam perspektif emanasi (penciptaan), digambarkan, bahwa Allah itu pada awalnya “Ahad” (Ibrani: Ein Sof, Sansekerta: Atma, Tionghoa: Tao). Dia itu tunggal, tidak terbagi. Saat itu belum ada ciptaan. Nama-Nya pun tidak ada. Sebab, nama hanya berguna untuk memperkenalkan diri ketika sudah ada sesuatu yang lain. Nama itu huruf. Huruf itu “makhluk”. Jadi, pada awalnya, Allah itu dalam kesendiriannya, tidak bernama, tidak ada yang tau, tidak terjangkau, maha batiniah, tidak ada dalam rupa apapun (laitsa kamislihi syaiun).

Baru kemudian Dia menciptakan. Maka “lahirlah” segala sesuatu dari diri-Nya. Karena Dia digambarkan sebagai “Cahaya “, maka terjadilah emanasi atau pancaran. Mulai dari pancaran pertama, sampai seterusnya.

Alam semesta tercipta secara bertahap dan terus berkembang (expanded). Proses penciptaan terjadi berulang-ulang, “in a continuous process”. Setiap hari, tidak pernah terhenti. Dia, dan hukum-hukumNya (dalam Quran sering disebut dengan “kami”) terus bekerja.

Dalam gradasi emanasi digambarkan, pada ujung awal, itu ada “Cahaya di atas Cahaya”. Itu adalah Dia, atau entitas awal Dia sendiri (Nurullah, Nur Muhammad). Selanjutnya terus mengalami emanasi, dari satu alam ke alam lain, sampai pada ujungnya terbentuk “materi” (atom). Atom ini merupakan bahan baku dunia kasat material (alam fisika).

Meskipun “materi” (atom) bukanlah Tuhan, tapi keberadaan “materi” (atom) tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Tuhan. Semua tercipta dalam mata rantai proses yang tersambung kepada Allah. Karenanya dikatakan, “semua ada dalam ilmunya Allah”, “Dia maha meliputi”, “Dia ada dimana-mana”, “kemanapun engkau menghadap, disitu ada Dia”. Semua membawa DNA atau jejak keberadaan-Nya.

Para filsuf dan mistikus menyebut proses penciptaan ini sebagai tahapan manifestasi. Allah terus “bertajalli” (memanifestasikan citra diri-Nya) dalam aneka Rupa. Allah “bertanazzul” (turun) dari satu langit ke langit lainnya. Allah hadir dari satu alam ke alam lainnya. Allah ada secara absolut di segala dimensi, baik mikro atau makro. Dia ada sejak di alam azali (complete silence and loneliness), sampai ke alam multiplisitas (heterogen). Allah itu ada “disana”, juga “disini”. Dia itu transenden, juga imanen. Dia itu Wujud asing yang Ahad, sekaligus Ruh yang menempati qalbu sosok populis, Ahmad. “Ana Ahmad bila mim”, kata Nabi SAW. Allah itu jauh, sekaligus dekat.

Ulasan lain bagaimana Dia menghadirkan/memanifestasikan diri dari dimensi Ahadiyah (ketunggalan mutlak) ke dimensi Wahidiyah (aneka alam dan partikularitas), dapat di baca pada artikel “Tauhid: Dari Ahadiyah ke Wahidiyah”.

Manusia, pada wujud esensialnya, ternyata juga mendapat bagian dari pancaran “cahaya” ini. Pada dimensi kuantumik, manusia adalah “makhluk cahaya”. Saintis moderen sudah menemukan, ternyata, manusia tercipta dari cahaya.

Manusia bukan makhluk materi murni. Manusia adalah makhluk immateri. Apa yang dulu disebut sebagai “Atom” -dan dipercaya sebagai unit terkecil dari materi; ternyata tersusun dari proton dan neutron, yang dikelilingi asap elektron. Ketika diteliti lebih lanjut, ternyata, semua elemen pembentuk atom, itu tersusun dari “quark” (pusaran cahaya).

Rupanya, materi (atom) tercipta dari unsur immateri (cahaya). Dengan kata lain, cahaya (kuark) beremenasi membentuk atom. Atom, karena memiliki unsur cahaya yang secara substantif “berkesadaran” (ruhiy) juga terus bergerak dan beremanasi sampai membentuk wujud “tanah” (sel-sel manusia).

Itulah “silsilah” manusia, min sulalatin min tin (Al-Mukminun: 2). Manusia tercipta dari “silsilahnya” tanah. Tanah bersilsilah ke saripati Atom. Atom bersilsilah ke cahaya (kuark). Cahaya terus bersilsilah kepada “Cahaya di Atas Cahaya”.

Artinya, “silsilah” manusia, melalui proses emanasi/iluminasi, itu sampai kepada Allah. Allah tidak menciptakan semua lewat proses “memperanakkan”. Dia tidak beranak dan diperanakkan. Dia menjadikan sesuatu sejak awal tidak melalui mekanisme biologis. Dia menjadikan sesuatu melalui prinsip-prinsip emanasi. Dia mencipta, lewat cahaya yang terus “menjadi” (becoming). Isa as, itu bukan anak biologis Tuhan. Tuhan yang Ahad tidak punya struktur biologis. Isa itu emanasi dari ruh-Nya. Isa itu ruhullah as.

Jadi, manusia adalah “makhluk cahaya”. Sekaligus “materi/atom” (tanah). Inilah makna ayat, bahwa kita pada awalnya telah dijadikan dalam sebaik-baik bentuk. Kita ini pada dasarnya adalah “malaikat” (cahaya), yang dekat sekali usulnya dengan Allah. Kita ini awalnya ada dalam rupa Ruh (cahaya-Nya, bagian-Nya, atau hembusan-Nya). Inilah “ahsanu taqwim” (bentuk terbaik manusia). Dalam wujud cahaya, tentu manusia tidak butuh makan atau minum. Mungkin kebutuhannya hanya bertasbih saja. Sebab, kalau Anda perhatikan karakter “quark”, itu pusaran cahayanya seperti sedang bertasbih, terus berputar (tawaf) ke kiri tanpa pernah berhenti.

Tapi kemudian “cahaya” ini terus membentuk citranya dalam rupa atom sampai menjadi materi yang terindera. Pada titik ini, “cahaya” (ruh/gelombang kesadaran) telah terpenjara dalam dimensi fisik. Fisik punya banyak kelemahan. Karena sudah menempati ruang dan dimensi, kecepatannya melemah. Unsur fisik juga bisa mati/musnah.

Karena “tanah” (materi) berada pada bagian paling ujung dari gradasi penciptaan (emanasi), maka ia disebut sebagai unsur paling “hina” (manusia tercipta dari air yang hina, QS. Al-Mursalat: 20), “lemah” (kami jadikan manusia dalam keadaan lemah, QS. An-Nisa: 28). Semua dosa tercipta pada dimensi ini. Dia bisa berdarah, atau saling menumpahkan darah (QS. A-Baqarah: 30). Dalam wujud materi, manusia butuh makan dan minum.

Semua kekurangan dimensi material ini juga dirangkum kembali dalam At-Tin ayat 5, Tsumma radadnahu asfala safilin. “Kemudian kami kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya”. Unsur bumi/tanah (materi) adalah unsur terendah dalam gradasi penciptaan.

Adam (Bani Adam) dalam dimensi tanah adalah “makhluk terendah”. Makanya, ‘Iblis’ tidak tunduk kepada Adam. Sebab, api pangkatnya lebih tinggi dari tanah. Api lebih duluan terjadi/tercipta daripada tanah. Sementara cahaya lebih dulu ada daripada api. Pangkat cahaya lebih tinggi. “Silsilah” iblis itu begini:

Cahaya (malaikat) >> Gelombang elektromagnetik/listrik (api) >> Atom (tanah)

Jadi, “iblis” (api) itu lahir dari cahaya. Karena itu dikatakan, iblis adalah mantan malaikat. Awalnya ia memang malaikat. Tapi unsur “api” telah membuatnya berbeda. Ketika seseorang dominan unsur amarah, angkuh, takabur dan sombong; itu sudah menjadi “api” (iblis). Sudah “kufur” (unsur cahaya-Nya sudah tertutupi, QS. Al-Baqarah: 34). Hawanya memburuk. Karakternya menjadi panas. Membakar. Bisa rusak semua.

Manusia sebagai “makhluk tanah” (atom/materi) memiliki semua potensi ini. Baik sebagai “makhluk ruh” (malaikat/cahaya), ataupun sebagai “makhluk keblablasan” (iblis/api). Karena keunikan ini, kita dianggap “spesial”. Bisa menjadi makhluk apapun. Disatu sisi kita memang rendah, makanya malaikat (secara metafor) melakukan protes. Tapi Allah lebih tau. Bahwa manusia punya potensi cahaya, untuk menjadi khalifah-Nya (QS. Al-Baqarah: 30).

Melalui metodologi (tarikat) tertentu dalam berbagai praktik tasawuf yang masih asli, manusia bisa dibuat beriluminasi kembali. Dari unsur tanah menjadi cahaya. Martabatnya bisa naik dari “alam jabarut” (material, atomik, devil) ke “alam malakut” (cahaya). Bahkan bisa terus bermikraj sampai ke Pusat Cahaya.

Ketika sudah berada di alam malakut, pangkat manusia sudah lebih tinggi dari iblis/setan. Karena itu, mereka yang berada di level malakut biasanya sudah memiliki “muraqabah”. Karena pangkatnya sudah lebih tinggi dari iblis, makanya mampu mengontrol iblis. Ia (secara ruhaniah) sudah mampu membedakan yang mana iblis, yang mana bukan. Sehingga tidak mudah lagi tertipu. Orang-orang ini sudah memiliki Quran yang “asli” dalam dirinya (QS. Al-Waqiah: 79), sehingga unsur-unsur iblis tidak bisa lagi membohonginya. Ini ilmu/metodologi khas para nabi dan wali-waliNya dalam menjangkau kebenaran-kebenaran tertinggi.

Manusia adalah makhluk ‘diujung semesta’, makhluk yang berada dalam gradasi akhir penciptaan. Tanah, tapi juga punya elemen cahaya. Rendah, tapi juga bisa menjadi malaikat-Nya.

Dengan kata lain, kita ini makhluk dalam dua kutub ekstrim: “sempurna” (ruhiyah/cahaya), tapi “rendah” (tanah/atom). Dalam kondisi ini, hanya satu hal yang bisa mengangkat kita menjadi tinggi dalam posisi sebagai “Khalifah Allah”. Ini dijelaskan di At-Tin ayat 6: “Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, maka mereka akan mendapatkan balasan (ajrun) yang tidak ada putus-putusnya”.

لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ (4) ثُمَّ رَدَدْنٰهُ اَسْفَلَ سٰفِلِيْنَۙ (5) اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَلَهُمْ اَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُوْنٍۗ (6)

“(4) Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya; (5) Kemudian, kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya; (6) Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan. Maka, mereka akan mendapat pahala yang tidak putus-putusnya” (QS. At-Tīn [95]: 6)

BACA JUGA: “Iblis, Malaikat yang Terbakar Api Kesombongan”

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

4 thoughts on ““AHSANI TAQWIM, ASFALA SAFILIN”: MANUSIA DALAM DUA WUJUD EKSTRIM

Comments are closed.

Next Post

"ONTOLOGI TAUHID": MEMBANGUN PARADIGMA SUFISTIK DALAM RISET SAINTIFIK

Wed Mar 15 , 2023
Jurnal […]

Kajian Lainnya