Articles

“ONTOLOGI TAUHID”: MEMBANGUN PARADIGMA SUFISTIK DALAM RISET SAINTIFIK

Konsekuensi Tauhid

Tauhid, pada hakikatnya, ingin membawa kesadaran kita kepada “kesatuan wujud”. Memang, disisi lahiriah, kita memiliki persepsi bahwa semuanya berbilang dan terpisah. Begitulah cara kesadaran perseptif inderawi bekerja. Melihat segala sesuatu sebagai berbeda dan terpisah. Tauhid bertugas merangkai kembali ini semua. Semuanya terkait, satu. Islam hadir untuk meminimalisir dikotomi pengetahuan, sehingga terangkai menjadi satu kesatuan.

TAUHID, pada hakikatnya, ingin membawa kesadaran kita kepada sebuah bentuk kausalitas hubungan, atau “kesatuan wujud”.

SAID MUNIRUDDIN, “THE SUFICADEMIC”

Pun ketika Allah dibagi dalam konsep Dzat, Asma, Af’al dan Sifat; sulit bagi kita untuk menyatukannya. Sebab, secara konsepsi, sudah terbagi. Tugas kesadaran tauhid berusaha menyatukan kembali semua ini. Realitas hakikinya, itu memang satu.

Lebih jauh lagi, tugas tauhid adalah menyatukan kembali antara khalik dan makhluk. Allah harus dihadirkan dalam diri. Bagaimana bisa dikatakan bertauhid, kalau Dia tidak menyatu dengan qalbu kita? Dalam kesadaran material, kita memang terkesan berbeda dan terpisah. Padahal, asal ruhaniahnya satu. Dari Dia semua. Dan sesungguhnya, kita semua akan kembali bersatu dengan-Nya.

Kita bahkan tidak pernah terpisah dengan-Nya. Sebab, kita semua merupakan ilmu-Nya. Kita semua adalah kekuasaan-Nya. Kita semua adalah hembusan-Nya. Kita semua adalah pancaran cahaya-Nya. Tidak ada yang dapat memisahkan Allah dengan kita semua. Dia adalah satu, menyatu dengan semua yang ada. Allah satu dengan segala sifat dan perbuatan-Nya.

Karena itulah, paradigma tauhid menjadi penting. Agar terbangun kesadaran dalam diri. Bahwa kita semua berada dalam satu matrik energi, tidak terfragmentasi, satu, menyatu dalam wujud.

Komentar Anda

%d bloggers like this: