Ternyata, wujud itu satu. Tunggal. Ahad. Itulah tauhid.
Ketika Anda mampu mencapai kesadaran yang manunggal seperti ini, Anda akan menemukan Allah sebagai Realitas Tunggal. Sebab, kemana lagi Anda harus mencarinya, sementara Dia ada dalam semua ini. Kenapa harus melihat ke luar, sementara Dia ada dalam diri. Dia ada dimana-mana. Maha meliputi. Ahad.
Metodologi dan kesadaran ketauhidan yang tinggi ini belum dimiliki oleh umumnya sistem riset dan edukasi di kampus kita. Kampus sudah terlalu “secular”. Sudah terlalu lama memisahkan diri dari Tuhannya. Kampus tidak mampu lagi membangun kesadaran observatif-iluminatif, bahwa segala fenomena alam fisika dan sosial kemasyarakatan, pada puncaknya dipengaruhi oleh variabel The Ultimate “X”. Yaitu Allah.
Simbol X untuk the unknown factor ini berasal dari translasi Eropa atas teks pengetahuan dunia muslim klasik. Dalam teks asli disebut “al-syai’un” (something unknown, sesuatu, faktor, variabel). Oleh penerjamah Spanyol dirubah menjadi X, diambil dari simbol latin untuk bunyi syin, syai-un atau syai’k (Why is ‘X’ The Unknown? Terry Moore, TED2012).
Ketidakmampuan melihat adanya The Ultimate X sebagai faktor tunggal yang mempengaruhi semuanya, membuat kita berjarak dengan Tuhan. Itu mungkin salah satu sebab, lulusan kita kurang berakhlak. Termasuk juga kita, mungkin. Sebab, kita tidak pernah menemukan pengaruh Tuhan dalam semua fenomena yang kita teliti.
Positivisme pendidikan telah memblokir kesadaran kita dari kehadiran Tuhan. Padahal, Dia menyatu, hadir, satu kesatuan dalam semua fenomena. Apa yang kita sebut fenomena, itu adalah “ayat” (tanda-tanda empiris dari kehadiran Tuhan, The Noumena). Kita memang tidak mengabaikan hukum-hukum Tuhan yang berlaku di alam. Jangan pula menyimpulkan hasil sebuah riset, langsung ke Tuhan, tanpa melihat mata rantai akibat secara empirik.
Masalahnya adalah, agama seolah-olah sengaja dipisah dari dunia empirik. Tuhan seolah-olah menjadi wujud yang tidak dapat di observe. Seperti terjadi dualisme antara agama dan sains. Pada saat para nabi justru menemukan Allah dalam riset saintifik, kita justru tidak pernah menemukan Dia dalam riset-riset kita.
Dani
Terima kasih.