“ONTOLOGI TAUHID”: MEMBANGUN PARADIGMA SUFISTIK DALAM RISET SAINTIFIK

Jurnal Suficademic | Artikel No. 34 | Maret 2023

“ONTOLOGI TAUHID”: MEMBANGUN PARADIGMA SUFISTIK DALAM RISET SAINTIFIK
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Apa arti tauhid?

Ontologi Tauhid

Tauhid adalah masdar dari kata kerja (fi’il) wahhada: wahhada-yuwahhidu-tauhiidan. Akar katanya wahhada, yang artinya: “menjadikan sesuatu satu saja”. Selanjutnya, ketika dibawa dalam konteks ketuhanan, tauhid adalah meyakini bahwa Allah, dengan berbagai atributnya, itu esa.

TAUHID adalah meyakini bahwa Allah, dengan berbagai atributnya, itu esa.

SAID MUNIRUDDIN, “THE SUFICADEMIC”

Tauhid itu artinya Esa. Tunggal. Manunggal. Menyatu. Dijadikan satu. Semuanya satu. Hakikatnya satu.

Paradigma tauhid menginginkan kita punya cara berfikir seperti itu. Segalanya adalah satu (oneness). Semua yang banyak ini, sebenarnya tunggal. Aneka partikularitas yang mencuat kepermukaan, itu hakikatnya satu. Pluralitas dari cahaya matahari yang menyinari berbagai titik di bumi, itu satu pada sumbernya.

Semua sisi; dhahir dan batin, tidak terpisah. Mind and body, itu satu. Yin dan Yang, is one. Dunia materi dan immateri, itu tidak berjarak. Alam makro dan mikro, itu integral. Dunia dan akhirat, tidak ada ruang pemisah. Semuanya tersambung. Satu.

Semua warna yang terlihat beragam pada prisma, itu sesungguhnya tunggal. Segala penampakan yang terlihat begitu banyak di alam semesta, itu sebenarnya satu. Ribuan gelombang yang muncul dipermukaan laut, kalau diteliti, itu menyatu dalam satu samudera.

Coba perhatikan diri Anda. Ada mata, hidung, telinga, tangan, kaki, kulit, sel, darah, tulang dan milyaran substansi lainnya. Bahkan juga ada elemen-elemen tidak kasat seperti pikiran, perasaan dan jiwa. Semuanya beragam dan beda. Tapi sebenarnya itu satu, dalam wujud manusia. Bahkan lebih tinggi lagi, semua manusia, laki dan perempuan, walau warna kulit berbeda, itu semuanya tercipta dari cahaya, atau “jiwa yang satu” (min nafs wahidah, QS. An-Nisa: 1).

BACA: “Ahsani Taqwim, Asfala Safilin: Manusia dalam Dua Wujud Ekstrim”

Coba perhatikan seismograf (alat sensor pencatat getaran gempa). Atau juga alat elektrokardiogram (EKG), yang merekam gelombang listrik dari jantung. Di layar terlihat banyak sekali muncul garis tinggi ataupun rendah. Seolah-olah banyak dan beragam. Padahal, itu hanya satu garis gelombang saja, yang aktual dalam berbagai bentuk.

Begitu pula dengan keseluruhan alam semesta. Semua satu wujud garis gelombang, yang maujud dalam aneka bentuk. Begitulah alam fisika dan metafisika. Satu dalam keragamannya. Dari hulu ke hilir, itu satu kesatuan. Itu cara pandang tauhid.

Konsekuensi Tauhid

Tauhid, pada hakikatnya, ingin membawa kesadaran kita kepada “kesatuan wujud”. Memang, disisi lahiriah, kita memiliki persepsi bahwa semuanya berbilang dan terpisah. Begitulah cara kesadaran perseptif inderawi bekerja. Melihat segala sesuatu sebagai berbeda dan terpisah. Tauhid bertugas merangkai kembali ini semua. Semuanya terkait, satu. Islam hadir untuk meminimalisir dikotomi pengetahuan, sehingga terangkai menjadi satu kesatuan.

TAUHID, pada hakikatnya, ingin membawa kesadaran kita kepada sebuah bentuk kausalitas hubungan, atau “kesatuan wujud”.

SAID MUNIRUDDIN, “THE SUFICADEMIC”

Pun ketika Allah dibagi dalam konsep Dzat, Asma, Af’al dan Sifat; sulit bagi kita untuk menyatukannya. Sebab, secara konsepsi, sudah terbagi. Tugas kesadaran tauhid berusaha menyatukan kembali semua ini. Realitas hakikinya, itu memang satu.

Lebih jauh lagi, tugas tauhid adalah menyatukan kembali antara khalik dan makhluk. Allah harus dihadirkan dalam diri. Bagaimana bisa dikatakan bertauhid, kalau Dia tidak menyatu dengan qalbu kita? Dalam kesadaran material, kita memang terkesan berbeda dan terpisah. Padahal, asal ruhaniahnya satu. Dari Dia semua. Dan sesungguhnya, kita semua akan kembali bersatu dengan-Nya.

Kita bahkan tidak pernah terpisah dengan-Nya. Sebab, kita semua merupakan ilmu-Nya. Kita semua adalah kekuasaan-Nya. Kita semua adalah hembusan-Nya. Kita semua adalah pancaran cahaya-Nya. Tidak ada yang dapat memisahkan Allah dengan kita semua. Dia adalah satu, menyatu dengan semua yang ada. Allah satu dengan segala sifat dan perbuatan-Nya.

Karena itulah, paradigma tauhid menjadi penting. Agar terbangun kesadaran dalam diri. Bahwa kita semua berada dalam satu matrik energi, tidak terfragmentasi, satu, menyatu dalam wujud.

Paradigma Tauhid dalam Riset

Paradigma tauhid membangun kesadaran, bahwa semuanya saling terkait. Sebuah fenomena luaran yang sekilas terlihat berdiri sendiri, sebenarnya adalah satu kesatuan dari sebab-sebab yang mungkin belum diketahui. Sesuatu tidak berdiri sendiri. Sesuatu selalu ada yang mempengaruhi. Sesuatu terjadi karena ada sebab. Semua fenomena yang terlihat adalah akibat, oleh sebab-sebab tertentu. Itu saling terkait. Menyatu. Satu.

Dunia ilmiah, pada awalnya dibangun dengan kesadaran tauhid. Bab 1 dalam penelitian ilmiah (skripsi, tesis atau disertasi) itu isinya “paradigma tauhid” atas sebuah fenomena. Tujuan Bab 1, sebagaimana umumnya dirumuskan dalam tujuan penelitian, ingin melacak kesatuan atau bentuk-bentuk hubungan antara fenomena dengan penyebabnya. Kita dilatih berfikir, bahwa ada satu kesatuan antara fenomena yang terlihat dari sebuah objek, dengan sesuatu yang membuat itu terjadi. Sesuatu tidak berdiri sendiri. Ada yang menyebabkan itu.

Penelitian ilmiah dimulai dari kemampuan menangkap sebuah fenomena (kejadian, gejala, tanda-tanda, akibat, petunjuk, hal ihwal atau “ayat”). Lalu dibangun cara berfikir “tauhid”. Bahwa, tidak ada yang terpisah. Semua yang terlihat, itu akibat dari sesuatu yang belum diketahui. Semua ada hubungan. Saling mempengaruhi. Antara akibat dan sebab, itu satu, menyatu.

Mungkin paradigma tauhid yang terbangun dalam penelitian moderen memiliki kesadaran tauhid yang parsial. Seolah-olah, kesatuan yang terbangun hanya antara beberapa variabel X (independen) dan Y (dependen) saja. Padahal, variabel Y itu juga dipengaruhi oleh variabel unknown X lainnya.

Variabel X itupun tidaklah independen. Ia menjadi begitu juga karena dipengaruhi oleh unknown variabel X lainnya. Begitulah seterusnya. Pada akhirnya kita akan paham, bahwa segala sesuatu di alam semesta; baik alam sosial maupun fisika, itu saling terkait, satu, menyatu. Semua berada dalam satu wadah yang terikat. Semuanya tunggal. Satu.

Lebih jauh lagi, semua fenomena di alam sosial dan fisika, itu juga dipengaruhi oleh berbagai variabel dari alam di atasnya (metafisika). Semua yang dhahir, itu pancaran (emanasi) dari gelombang cahaya dari alam batin (ruh).

Sampai pada akhirnya kita akan sadar, alam fisika maujud karena adanya alam metafisika. Semuanya memperoleh wujud karena adanya pertalian hubungan dengan keberadaan Allah SWT. Artinya, semua heterogenitas pada dimensi Wahidiyah, itu berada dalam satu garis gradasi emanasi dari dimensi Ahadiyah. Semua alam, itu sesungguhnya satu kesatuan, tanpa ruang kosong yang memisahkan.

BACA: “Tauhid, dari Ahadiyah ke Wahidiyah”

Ternyata, wujud itu satu. Tunggal. Ahad. Itulah tauhid.

Ketika Anda mampu mencapai kesadaran yang manunggal seperti ini, Anda akan menemukan Allah sebagai Realitas Tunggal. Sebab, kemana lagi Anda harus mencarinya, sementara Dia ada dalam semua ini. Kenapa harus melihat ke luar, sementara Dia ada dalam diri. Dia ada dimana-mana. Maha meliputi. Ahad.

Metodologi dan kesadaran ketauhidan yang tinggi ini belum dimiliki oleh umumnya sistem riset dan edukasi di kampus kita. Kampus sudah terlalu “secular”. Sudah terlalu lama memisahkan diri dari Tuhannya. Kampus tidak mampu lagi membangun kesadaran observatif-iluminatif, bahwa segala fenomena alam fisika dan sosial kemasyarakatan, pada puncaknya dipengaruhi oleh variabel The Ultimate “X”. Yaitu Allah.

Simbol X untuk the unknown factor ini berasal dari translasi Eropa atas teks pengetahuan dunia muslim klasik. Dalam teks asli disebut “al-syai’un” (something unknown, sesuatu, faktor, variabel). Oleh penerjamah Spanyol dirubah menjadi X, diambil dari simbol latin untuk bunyi syin, syai-un atau syai’k (Why is ‘X’ The Unknown? Terry Moore, TED2012).

Ketidakmampuan melihat adanya The Ultimate X sebagai faktor tunggal yang mempengaruhi semuanya, membuat kita berjarak dengan Tuhan. Itu mungkin salah satu sebab, lulusan kita kurang berakhlak. Termasuk juga kita, mungkin. Sebab, kita tidak pernah menemukan pengaruh Tuhan dalam semua fenomena yang kita teliti.

Positivisme pendidikan telah memblokir kesadaran kita dari kehadiran Tuhan. Padahal, Dia menyatu, hadir, satu kesatuan dalam semua fenomena. Apa yang kita sebut fenomena, itu adalah “ayat” (tanda-tanda empiris dari kehadiran Tuhan, The Noumena). Kita memang tidak mengabaikan hukum-hukum Tuhan yang berlaku di alam. Jangan pula menyimpulkan hasil sebuah riset, langsung ke Tuhan, tanpa melihat mata rantai akibat secara empirik.

Masalahnya adalah, agama seolah-olah sengaja dipisah dari dunia empirik. Tuhan seolah-olah menjadi wujud yang tidak dapat di observe. Seperti terjadi dualisme antara agama dan sains. Pada saat para nabi justru menemukan Allah dalam riset saintifik, kita justru tidak pernah menemukan Dia dalam riset-riset kita.

METODOLOGI TAUHID adalah sebuah metode riset abrahamic, yang dapat menyatukan alam fisika dan metafisika.

said Muniruddin, “the Suficademic”

Lihat kisah Ibrahim as yang mengobservasi keberadaan Tuhan secara empirik (QS. Al-An’am: 75-79). Setelah serangkaian proses observasi terhadap fenomena objek (“berhala-berhala”) di alam fisika (i.e., matahari, bintang, bulan), akhirnya ia berhasil menemukan Wajah Allah. Mungkin kita perlu melacak, apa metode riset yang digunakan Ibrahim as untuk bisa membawanya sampai ke puncak mata rantai ontologis dari Wujud. Apa metode riset yang ia terapkan, sehingga membawanya menjadi monoteis sejati; bisa menyatu dan berkomunikasi dengan Allah.

۞ وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهِيْمُ لِاَبِيْهِ اٰزَرَ اَتَتَّخِذُ اَصْنَامًا اٰلِهَةً ۚاِنِّيْٓ اَرٰىكَ وَقَوْمَكَ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ (74) وَكَذٰلِكَ نُرِيْٓ اِبْرٰهِيْمَ مَلَكُوْتَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَلِيَكُوْنَ مِنَ الْمُوْقِنِيْنَ (75) فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ الَّيْلُ رَاٰ كَوْكَبًا ۗقَالَ هٰذَا رَبِّيْۚ فَلَمَّآ اَفَلَ قَالَ لَآ اُحِبُّ الْاٰفِلِيْنَ (76) فَلَمَّا رَاَ الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هٰذَا رَبِّيْ ۚفَلَمَّآ اَفَلَ قَالَ لَىِٕنْ لَّمْ يَهْدِنِيْ رَبِّيْ لَاَكُوْنَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّاۤلِّيْنَ (77) فَلَمَّا رَاَ الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هٰذَا رَبِّيْ هٰذَآ اَكْبَرُۚ فَلَمَّآ اَفَلَتْ قَالَ يٰقَوْمِ اِنِّيْ بَرِيْۤءٌ مِّمَّا تُشْرِكُوْنَ (78) اِنِّيْ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ حَنِيْفًا وَّمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَۚ (79)

“(Ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya,250) Azar, “Apakah (pantas) engkau menjadikan berhala-berhala itu (objek-objek fisika) sebagai tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaummu dalam kesesatan yang nyata”; (75) Demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kekuasaan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan agar dia termasuk orang-orang yang yakin; (76) Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Maka, ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam”; (77) Kemudian, ketika dia melihat bulan terbit dia berkata (kepada kaumnya), “Inilah Tuhanku.” Akan tetapi, ketika bulan itu terbenam dia berkata, “Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk kaum yang sesat”; (78) Kemudian, ketika dia melihat matahari terbit dia berkata (lagi kepada kaumnya), “Inilah Tuhanku. Ini lebih besar.” Akan tetapi, ketika matahari terbenam dia berkata, “Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari yang kamu persekutukan”; (79) Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku (hanya) kepada Yang menciptakan langit dan bumi dengan (mengikuti) agama yang lurus dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik” (QS. Al-An‘ām: 74-79)

Menurut Ibrahim as, kemusyrikan terjadi pada saat riset-riset dan observasi kita hanya mampu menjangkau alam fenomena (objek sosial dan fisika). Sementara, untuk membebaskan diri dari kesyirikan, seseorang harus mampu menembusi berbagai objek bumi sehingga sampai ke alam Noumena (metafisika). Bagaimana tidak musyrik, seseorang lebih banyak menemukan uang daripada menemukan Tuhan, dalam riset-riset mereka.

BACA: “Syariat-Tarikat-Hakikat Makrifat: Metode Ilmiah dalam Beragama”; dan “Kitab Suci, Karya Ilmiah para Nabi”

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Next Post

"PANGGILAN ALLAH": MELAMPAUI RUTINITAS IBADAH

Thu Mar 16 , 2023
Jurnal […]

Kajian Lainnya