Articles

“PANGGILAN ALLAH”: MELAMPAUI RUTINITAS IBADAH

Perintah yang Aktual/Kontekstual Vs. Rutinitas Ibadah

Sesungguhnya; menjalankan perintah aktual dari Tuhan, itu lebih berat daripada melaksanakan rutinitas ibadah. Terkadang, ia memerintahkan kita meninggalkan segala rutinitas, untuk segera menemui-Nya. Itu berat sekali. Disatu sisi, yang kita kerjakan adalah “ibadah” (rutin). Disisi lain, memenuhi panggilan Tuhan juga ibadah (aktual). Yang aktual ini sifatnya kontekstual dan urgent, alias “panggilan khusus”.

Kitapun sebenarnya sudah diajarkan, kalau dipanggil orang tua, harus segera dijawab dengan baik; dan sesegera mungkin untuk memenuhinya. Harus kita tinggalkan semua pekerjaan lainnya, walau itu kita anggap baik. Apalagi kalau yang kita dengar adalah panggilan Allah. Tidak ada tugas yang lebih tinggi, selain memenuhi seruan-Nya.

Bertasawuf melalui metodologi (tarikah) tertentu, adalah upaya meng-update agama, dari rutinitas ibadah ke aktualnya perintah. Sebab, Allah masih berkata-kata. Allah masih memanggil hambanya. Kita saja yang “tuli, bisu, dan buta” (QS. Al-Baqarah: 18). Sehingga gagal memenuhi panggilan-Nya; sibuk dengan segala formalitas keshalehan kita.

Azan lima kali sehari, itu panggilan Allah. Tapi sudah dalam dibentuk formalitas syariah. Ada bentuk “Azan” lainnya diantara azan-azan lima waktu itu, yang seandainya bisa didengar, itu adalah hakikatnya panggilan (kalam) Allah. Bukan lagi muazzin, tapi Dia sendiri yang langsung memanggil.

Karena itu, seseorang menjadi nabi setelah memperoleh makrifat. Seseorang menjadi khalifatullah setelah mampu menaikkan level kemampuan observatifnya; dari ontologi sosial kebendaan (fisik), ke ontologi metafisis (ruhiyah). Sehingga mereka mampu mendengar keaslian panggilan Allah. Begitupun dengan seorang wali, syaratnya juga makrifat. Siapapun yang ingin hidup dalam “kepasrahan total” (taslim) sesuai apa maunya Allah, syaratnya adalah “makrifatullah”. Awal agama adalah mengenal Allah. Mampu berkomunikasi dengan alam Noumena, dan tau apa maunya Allah.

BACA: “Ontologi Tauhid: Membangun Paradigma Sufistik dalam Riset Saintifik”; “Syariat-Tarikat-Hakikat-Makrifat: Metode Ilmiah dalam Beragama”

Ketika memahami mekanisme ini, kita akan sadar bahwa Islam itu agama yang “dinamis”. Agama yang dibangun berdasarkan interaksi hubungan yang interaktif dengan Allah. Agama yang tidak hanya sekedar patuh kepada doktrin-doktrin tekstual (syariat) an sich. Tapi juga memahami dinamika perintah Allah. Sehingga kita sadar, doktrin yang tertinggi bukanlah “kembali kepada teks Quran dan hadis”. Melainkan “kembali kepada Allah”, Pemilik Quran dan hadis.

Syariat memang wajib dikerjakan, sebagai basis awal dalam beragama. Syariat itu hukum universal, kitab undang-undang yang berlaku merata. Tapi, adakalanya Allah hadir, bahkan sering sekali Dia hadir dalam hukum-hukum khusus (khawash). Ini terjadi kalau hubungan seseorang dengan Tuhannya sudah baik. Dia akan memilih kita menjadi “wakil” untuk menjalankan kepememimpinan Dia. Karenanya akan banyak sekali masuk telepon dan WA dari Dia untuk mengerjakan berbagai hal di luar standar biasa. Untuk konteks mereka ini akan berlaku hukum-hukum “otonomi khusus”.

Inilah yang diperlihatkan Khidir kepada Musa as. Musa as terbiasa hidup dengan hukum standar. Lalu melalui guru spiritualnya ini, dia menemukan, ternyata adalah mekanisme canggih lain yang bekerja dalam dunia ketuhanan, yang “lari” dari pakem-pakem normal. Tapi semua sesuai kehendak Allah.

Itulah yang dialami para nabi dan warisnya (wali-wali). Kerjanya sesuai arahan Pimpinan, selain menjalankan apa yang sudah umum menjadi kewajiban. Yang umum sekalipun bisa di bypass atas izin-Nya, kalau ada perintah khusus. Toh semuanya juga hukum Tuhan. Kira-kira begitu. Kalau sedang mengajar, tiba-tiba dipanggil Allah, para akan meninggalkan pengajarannya. Kalau sedang berdagang, tiba-tiba datang panggilan Allah, mereka akan meninggalkan dagangannya. Kalau sedang rapat dengan presiden, tiba-tiba masuk panggilan dari Allah, kita harusnya juga melakukan hal yang sama: tinggalkan presiden Anda, segera temui Allah. Kecuali Allah berkata, “tetap lanjutkan meeting dengan presiden”.

1 Comment

  1. Dani

    Terima kasih.

Komentar Anda

%d bloggers like this: