“PANGGILAN ALLAH”: MELAMPAUI RUTINITAS IBADAH

Jurnal Suficademic | Artikel No. 35 | Maret 2023

“PANGGILAN ALLAH”: MELAMPAUI RUTINITAS IBADAH
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Suatu ketika, seorang profesor dipanggil oleh Tuhan. Kata Tuhan, “Hei profesor, ngopi yuk?”. Pak prof ini menjawab pelan: “Maaf Tuhan, saya ada jam mengajar sekarang”. Alhasil, ia tidak memenuhi panggilan Tuhan. Karena harus mengajar.

Pada kesempatan lain, Tuhan memanggil seorang bupati: “Hei bupati, ngopi yuk!”. Si bupati menjawab sopan: “Maaf Tuhan, saya sekarang ada kegiatan pembagian modal untuk pengembangan ekonomi masyarakat fakir dan miskin”.

Lalu Tuhan menjumpai seorang ustadz: “Hei ustadz, ngopi yuk!”. Sang ustadz menjawab: “Maaf Tuhan, saya sudah ditunggu oleh para jamaah untuk memberi ceramah penting keagamaan”.

Begitulah seterusnya. Tuhan mondar-mandir mandir, kesana kemari, menjumpai semua orang. Keinginan Tuhan sederhana. Cuma ingin minum kopi ditemani oleh hamba-Nya.

Tapi, semua menolak dengan berbagai alasan cerdas mereka. Sebab, semua sudah ada agenda penting, yang disusun sejak setahun lalu. Sangat penting sekali. Agenda pemberdayaan umat. Agenda mendidik bangsa. Agenda mensejahterakan masyarakat. Agenda menyelamatkan negeri. Macam-macam. Hebat-hebat sekali agendanya. Penting semua. Sampai-sampai, ajakan Tuhan untuk minum kopi ditolaknya!

Kisah ini jangan dipahami secara literal. Mana ada Tuhan minum kopi dalam drama fisikal seperti ini. Ini analog. Kitab-kitab klasik dalam tradisi agama-agama samawi sering menganalogikan kisah-kisah ketuhanan dalam wujud Tuhan yang personal (personal God).

Keinginan Kita vs. Keinginan Tuhan

Saudara-saudara sekalian, itulah kita. Orang-orang penting semua. Begitu banyak kegiatan. Sampai lupa dengan Tuhan. Kita kira, hal baik yang kita kerjakan, itu perintah Tuhan semua. Padahal, sebagian besar adalah nafsu dan keinginan kita. Kebesaran kita. Dunia kita. Seringkali shalat kita, puasa kita, haji kita, sedekah kita, isinya setan semua. Riya’. Ego. Tidak ada Tuhan di dalamnya.

Kita anggap semua pekerjaan baik yang kita lakukan, itu perintah Tuhan. Padahal sudah jelas, Tuhan menginginkan kita meninggalkan semua itu, untuk menjumpai-Nya, di tempat dan pada kegiatan yang memang betul-betul Dia inginkan. Boleh jadi, kegiatan itu tidak terlihat penting. Misalnya, ngopi. Mirip sia-sia pekerjaannya. Tapi, kalai itu memang maunya Dia, bagaimana?

Begitulah. Karena berbagai hal yang kita anggap “baik” menurut persepsi dan dalil yang pernah kita baca, kita lupa mendengar apa kemauan aktual dari Tuhan. Terkadang Tuhan menginginkan kita meninggalkan semua hal-hal yang “terkesan” baik itu, untuk mengerjakan hal lain yang menurut Dia itulah yang sebenarnya baik. Sebab, yang sesungguhnya baik adalah apa yang baik menurut Allah. Bukan menurut pikiran dan perasaan kita.

Makan saat lapar, itu baik. Tapi terkadang Tuhan mengajak kita berpuasa. Maka makan menjadi haram hukumnya. Tidur malam, itu sehat. Tapi, ketika Tuhan memanggil kita untuk bangun; maka tidur menjadi haram hukumnya.

Membangun masjid itu baik. Tapi, kalau Tuhan memanggil kita untuk membangun warung kopi; maka membangun masjid menjadi haram hukumnya. Ini kasus, kalau Anda memang mampu mendengar Allah memanggil untuk membangun warung kopi, pada saat Anda sedang membangun masjid. Kalau tidak, maka jangan bercanda, seolah-olah Anda membangun warkop dan tidak membantu pembangunan masjid dengan alasan itu keinginan Allah.

Awal Agama adalah “Mengenal/Mendengar (Perintah) Allah”

Karena itu, awal dari agama adalah “kemampuan mendengar panggilan Allah”. Awal pertama Anda mampu mendengar panggilan Allah, itu adalah awal dari hidupnya qalbu (ruh). Qalbu adalah alat komunikasi (mendengar dan berbicara dengan Allah). Dalam tariqat yang masih “berpower” (bersanad ke Nabi/dipimpin seorang wali yang mumpuni), pengalaman ini biasanya akan dialami pada fase suluk 3, atau sekitar 30-40 hari setelah menempuh perjalanan Ruhani. Ini akan mengkonfirmasi pengalaman Musa as di Sinai (QS. Al-‘Araf: 142-143). Apa yang dialami nabi-nabi Bani Israil, itu masih bisa dialami oleh umat Nabi Muhammad SAW. Sejauh kita tau metodologi dan dibimbing seorang Wali.

Jadi, awal beragama adalah “mampu mendengar” apa kata Tuhan. Dalam tasawuf, ini disebut “Awaluddin Makrifatullah”. Awal agama adalah mengenal Allah. Makna mengenal, kita tau bahwa itu asli Allah; bukan setan. Karena tau itu adalah Allah, kita juga tau bahwa itu adalah pesan-pesan (firman/ilham laduniah) dari Allah.

Kalau sudah makrifat (terhubung dengan Allah), mustahil iblis bisa menipu. Sebab, kerjaan iblis, itu memang membuat segala yang sedang kita kerjakan terlihat “baik”. Jangan kira iblis itu menyuruh kita pada keburukan/kemungkaran. Tidak selalu seperti itu. Iblis seringkali mengarahkan kita kepada hal-hal baik, sejauh itu dapat menjauhkan kita dari apa maunya Allah.

Bayangkan. Menjaga dan memberi makan anak dan istri, itu pekerjaan baik. Tapi, terkadang Tuhan menginginkan kita untuk segera menghadap-Nya atau mengerjakan tugas-tugas yang diinginkan-Nya, dengan cara meninggalkan anak dan istri kita dalam keadaan haus dan lapar. Ibrahim as mengalami ini. Dia patuh. Dia ikuti panggilan Tuhan. Dia tinggalkan keluarganya. Berat memang. Tapi ia tau, itu perintah Allah.

Musa as, dia tinggalkan kaumnya yang sedang kebingungan. Ia naik ke Thursinai. Selama 40 malam ia tidak pulang. Padahal, meninggalkan bangsa yang sedang butuh pertolongan, itu wajib hukumnya. Tapi, Musa as tidak peduli. Ia lebih mendengar panggilan Allah. Banyak sekali kasus serupa, dan dialami semua nabi. Mereka harus meninggalkan banyak pekerjaan baik, karena panggilan Allah.

Perintah yang Aktual/Kontekstual Vs. Rutinitas Ibadah

Sesungguhnya; menjalankan perintah aktual dari Tuhan, itu lebih berat daripada melaksanakan rutinitas ibadah. Terkadang, ia memerintahkan kita meninggalkan segala rutinitas, untuk segera menemui-Nya. Itu berat sekali. Disatu sisi, yang kita kerjakan adalah “ibadah” (rutin). Disisi lain, memenuhi panggilan Tuhan juga ibadah (aktual). Yang aktual ini sifatnya kontekstual dan urgent, alias “panggilan khusus”.

Kitapun sebenarnya sudah diajarkan, kalau dipanggil orang tua, harus segera dijawab dengan baik; dan sesegera mungkin untuk memenuhinya. Harus kita tinggalkan semua pekerjaan lainnya, walau itu kita anggap baik. Apalagi kalau yang kita dengar adalah panggilan Allah. Tidak ada tugas yang lebih tinggi, selain memenuhi seruan-Nya.

Bertasawuf melalui metodologi (tarikah) tertentu, adalah upaya meng-update agama, dari rutinitas ibadah ke aktualnya perintah. Sebab, Allah masih berkata-kata. Allah masih memanggil hambanya. Kita saja yang “tuli, bisu, dan buta” (QS. Al-Baqarah: 18). Sehingga gagal memenuhi panggilan-Nya; sibuk dengan segala formalitas keshalehan kita.

Azan lima kali sehari, itu panggilan Allah. Tapi sudah dalam dibentuk formalitas syariah. Ada bentuk “Azan” lainnya diantara azan-azan lima waktu itu, yang seandainya bisa didengar, itu adalah hakikatnya panggilan (kalam) Allah. Bukan lagi muazzin, tapi Dia sendiri yang langsung memanggil.

Karena itu, seseorang menjadi nabi setelah memperoleh makrifat. Seseorang menjadi khalifatullah setelah mampu menaikkan level kemampuan observatifnya; dari ontologi sosial kebendaan (fisik), ke ontologi metafisis (ruhiyah). Sehingga mereka mampu mendengar keaslian panggilan Allah. Begitupun dengan seorang wali, syaratnya juga makrifat. Siapapun yang ingin hidup dalam “kepasrahan total” (taslim) sesuai apa maunya Allah, syaratnya adalah “makrifatullah”. Awal agama adalah mengenal Allah. Mampu berkomunikasi dengan alam Noumena, dan tau apa maunya Allah.

BACA: “Ontologi Tauhid: Membangun Paradigma Sufistik dalam Riset Saintifik”; “Syariat-Tarikat-Hakikat-Makrifat: Metode Ilmiah dalam Beragama”

Ketika memahami mekanisme ini, kita akan sadar bahwa Islam itu agama yang “dinamis”. Agama yang dibangun berdasarkan interaksi hubungan yang interaktif dengan Allah. Agama yang tidak hanya sekedar patuh kepada doktrin-doktrin tekstual (syariat) an sich. Tapi juga memahami dinamika perintah Allah. Sehingga kita sadar, doktrin yang tertinggi bukanlah “kembali kepada teks Quran dan hadis”. Melainkan “kembali kepada Allah”, Pemilik Quran dan hadis.

Syariat memang wajib dikerjakan, sebagai basis awal dalam beragama. Syariat itu hukum universal, kitab undang-undang yang berlaku merata. Tapi, adakalanya Allah hadir, bahkan sering sekali Dia hadir dalam hukum-hukum khusus (khawash). Ini terjadi kalau hubungan seseorang dengan Tuhannya sudah baik. Dia akan memilih kita menjadi “wakil” untuk menjalankan kepememimpinan Dia. Karenanya akan banyak sekali masuk telepon dan WA dari Dia untuk mengerjakan berbagai hal di luar standar biasa. Untuk konteks mereka ini akan berlaku hukum-hukum “otonomi khusus”.

Inilah yang diperlihatkan Khidir kepada Musa as. Musa as terbiasa hidup dengan hukum standar. Lalu melalui guru spiritualnya ini, dia menemukan, ternyata adalah mekanisme canggih lain yang bekerja dalam dunia ketuhanan, yang “lari” dari pakem-pakem normal. Tapi semua sesuai kehendak Allah.

Itulah yang dialami para nabi dan warisnya (wali-wali). Kerjanya sesuai arahan Pimpinan, selain menjalankan apa yang sudah umum menjadi kewajiban. Yang umum sekalipun bisa di bypass atas izin-Nya, kalau ada perintah khusus. Toh semuanya juga hukum Tuhan. Kira-kira begitu. Kalau sedang mengajar, tiba-tiba dipanggil Allah, para akan meninggalkan pengajarannya. Kalau sedang berdagang, tiba-tiba datang panggilan Allah, mereka akan meninggalkan dagangannya. Kalau sedang rapat dengan presiden, tiba-tiba masuk panggilan dari Allah, kita harusnya juga melakukan hal yang sama: tinggalkan presiden Anda, segera temui Allah. Kecuali Allah berkata, “tetap lanjutkan meeting dengan presiden”.

Membangun Toleransi/Kearifan

Karena itu, dalam dunia tasawuf atau kenabian, kita dilarang mengukur dan mengevaluasi tindak tanduk nabi. Sebab, tugas lower staf seperti kita, dengan tugas top manajer seperti nabi/imam/wali, itu beda. Beda fleksibilitas dan dinamikanya. Bagi para kekasih (khalifah Allah) ada hukum-hukum khusus dalam bekerja. Ada pola interaksi yang unik dengan Allah; yang berbeda dengan kaum awam. Kita yang awam, kalau bekerja itu masih sepenuhnya mengikuti buku panduan (teks/manual). Nabi atau para pewarisnya, itu sudah lebih banyak mengikuti arahan langsung dari Pimpinan (Allah).

Jangan mengganggap seorang yang shalih telah melanggar hukum Tuhan, ketika terlihat tidak mengikuti SOP yang umum. Jangan menyebut ia zindiq gegara meninggalkan anak dan istri dalam keadaan lapar. Boleh jadi, “keanehannya” (sifat majdub atau dinamika kehidupan mereka) itu bagian dari gerak lain yang sengaja diperintahkan Allah. Untuk itu, dunia tasawuf mengajarkan kita toleransi. Spiritual orang beda-beda. Masing-masing urus apa yang menjadi kewajibannya. Jangan suka mengintip kesalahan/keanehan orang, Allah lebih tau dari Anda. Anda jangan pula membuat anak istri kelaparan (seolah-olah ada izin Tuhan). Ikuti aturan/syariat umum, buat mereka kaya raya dan kenyang.

PENUTUP. Sesekali Anda perlu bertanya, “Sebenarnya apa maunya Tuhan terhadap diri saya, melampaui semua rutinitas yang sedang saya lakukan?”. Lalu cari metode untuk mendengar apa jawaban Tuhan. Momen pertama Anda mendengar apa kata Tuhan untuk diri Anda, sebenarnya itulah momen awal Anda bertuhan. Itulah makrifat, awal dari agama adalah dekat dan komunikatif dengan Allah.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

2 thoughts on ““PANGGILAN ALLAH”: MELAMPAUI RUTINITAS IBADAH

Comments are closed.

Next Post

KALAM ILAHI: MENCARI "API" KALIMAH YANG ASLI

Tue Mar 21 , 2023
Jurnal […]

Kajian Lainnya