SUFI, BERAGAMA DENGAN SENI

Jurnal Suficademic | Artikel No. 37 | Maret 2023

SUFI, BERAGAMA DENGAN SENI
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Agama ada tiga macam: agama ortodoks, agama liberal dan agama sufi.

Pertama, “agama ortodoks”. Agama ini sangat konservatif, hanya terfokus pada fikih ibadah dan pemujaan Tuhan melalui ritus-ritus yang sangat kaku. Kehidupan hanya seputaran shalat, puasa, dan mengaji. Tidak boleh ada tarian dan menyanyi. Tertawa terlalu keras pun bisa dilarang. Mereka cenderung menolak perubahan. Inginnya selalu kembali ke masa lalu.

Kaum salafi memilih beragama dalam metode ini. Musik haram. Menari haram. Apalagi perempuan, jangankan menyanyi, mengaji pun tidak boleh besar suara. Keras dan rigid sekali. Agama didasari pada penafsiran teks secara kaku. Agama adalah gambaran sisi tertentu dari masa lalu nabi yang dianggap tidak pernah menghibur diri dan benci seni. Kalau terlalu adaptif dengan konteks lokal dan zaman, Anda bisa dihakimi bid’ah.

Tanpa sentuhan gerak dan irama, jiwa kita bisa menjadi kasar dan intoleran. Bisa sakit. Bisa jadi ekstrimis, bahkan teroris. Hidup tanpa nada, bisa gila kita. Sebab, gelombang otak dan kesadaran kita, selain dapat distimulasi oleh keheningan, juga banyak sekali dipengaruhi oleh instrumen dan irama. Daerah-daerah yang banyak orang gila, itu tradisi seni musik, menari dan menyanyi biasanya sangat rendah. Kalaupun ada, mungkin terlalu dikontrol oleh otoritas penguasa dan agama.

Arab Saudi dulu sangat ketat dengan tradisi ortodoks dan sangat konservatif. Kini sudah disadari, bahwa itu keliru. Perkembangan terakhir, negara ini sudah mulai mengarah ke liberalisasi seni. Konser musik dan lainnya, sudah menjadi agenda tahunan. Mereka mulai lompat-lompat dan buka-bukaan. Perubahan ini disambut meriah masyarakatnya yang sudah lama hidup terkekang dengan hukum-hukum tradisional.

Kedua, “agama liberal”. Agama ini tidak punya ritus ibadah formal. Kerjanya hanya menari dan menyanyi. Sambil sesekali meneguk bir atau brandy. Masjid mereka adalah diskotik, cafee dan pub. Disitu mereka beribadah, sambil menggerakkan badan dan menggelengkan kepala. Nada musik lebih banyak mengundang setan, daripada keberkahan.

Hedonistik sekali. Tidak ada hadap yang mengatur. Pergaulannya bebas. Basisnya adalah individual freedom. Mereka bisa menikmati kebahagiaan sesaat dalam kelap kelip remang. Tapi, bahagia sejati, sesuatu yang dapat mengisi relung jiwa, itu susah didapatkan. Vibrasi Ilahiahnya tidak ada. Sebab, Tuhan tidak hadir dalam even yang dibuat untuk memuaskan manusia pada level nafsu yang tidak Dia rahmati.

Ketiga, “agama sufi”. Ini agama hybrid. Agama yang menjembatani antara ortodoksi agama dengan liberalisasi seni. Sufi itu ketat sekali dalam beragama. Zikirnya sangat serius. Ada kaifiyat, adab dan aturan spiritual yang keras. Puasanya juga begitu, beraneka ragam bentuk dan khusus sekali. Ibadah malamnya seolah-olah wajib. Badan bisa kurus (langsing), kalau kita serius menekuninya.

Tapi, karena basis ibadahnya adalah zikir, jiwa mereka menjadi halus. Karenanya, banyak dari mereka yang menggandrungi seni. Pada kondisi seperti ini, kemampuan menangkap gelombang dan ritme alam menjadi kuat. Sehingga, bagi mereka, segala bentuk kidung, syair, musik dan tarian; itu bagian dari gerak ruh dalam semesta ritmik.

Seni, bagi sufi, adalah bagian dari memuja Tuhan yang maha indah. Tuhan hadir dalam berbagai vibrasi dan gelombang. Dalam nada, dalam rasa, dalam berbagai tanda di alam. Bagi sufi, ayat Tuhan tidak hanya tertulis di kertas. Tapi juga terukir dalam setiap gelombang energi yang menguasai alam, dalam jiwa manusia, dalam semua ufuk semesta.

Karenanya, musik yang dipetik dengan berbagai instrumen; itu “ayat suci”. Tarian semacam Darwish, itu semacam “tawaf” di rumah-Nya. Nyanyian yang penuh pujian kepada Kekasihnya, itu “shalawat dan tasbih”. Sebab, tak ada apapun yang mereka rasakan dalam semua karya mereka; selain Allah itu sendiri.

Mereka punya adab dalam bernyanyi dan menari, dalam memukul rapai, dalam memetik gitar dan biola, dalam meniup suling dan sebagainya. Mereka tidak akan menari dan bernyanyi, sebelum Tuhan hadir ke tengah mereka. Bagi mereka, Tuhan yang ditemukan dalam shalat dan zikir, itu juga Tuhan yang sama, yang hadir ke tengah mereka dalam berbagai even seni.

Bagi mereka, Tuhan bukan sosok yang selalu kaku. Tuhan juga sosok yang dapat diajak santai dan bersenang-senang. Tuhan itu Wujud yang sangat mereka takuti. Sekaligus Dzat yang dapat mereka ajak bercanda. Mereka akrab dengan Tuhannya.

Karena itu, agama terbaik, menurut kami, bukanlah agama yang terjebak kaku dengan teks masa lalu yang penuh debat dan tafsir. Ataupun yang terlalu bebas mengekspresikan diri sehingga justru merendahkan nilai-nilai kemanusiaan.

Agama yang baik adalah kombinasi dari keduanya. Agama yang punya hadap ketat dalam beribadah. Sekaligus punya ruang berekspresi sesuai warna zaman. Karena itu, sufisme paling adaptif dengan zaman. Ia tidak antipati dengan kemoderenan. Ia tidak melarang orang berkarya dalam berbagai bentuk seni yang terus berkembang. Ia menerima kemajuan. Ia justru menjadikan itu sebagai bagian dari wadah untuk menangkap kehadiran Tuhan.

Namun ada yang harus diingat. Menjadi sufi bukanlah menjadi seniman. Menjadi seniman bukan otomatis menjadi sufi. Banyak sekali seniman yang jiwanya penuh ego dan kesombongan. Rata-rata memang begitu, bersetan.

Menjadi sufi adalah menjadi orang-orang yang mampu mendengar suara Tuhan. Dari basis itu ia kemudian membangun karya seni. Yang tentunya sesuai kehendak Tuhan. Bukan menuruti nafsu rendahan.

Sufi adalah orang-orang yang memetik gitar dengan izin Tuhan. Menggesek biola dengan kehendak Tuhan. Memukul drum dengan maunya Tuhan. Bermain piano dengan arahan Tuhan. Bernyanyi dan menari dalam gelombang Tuhan. Kalau belum sampai pada level itu, Anda belum menjadi sufi. Anda masih liberal.

Sufi adalah orang yang mampu menghadirkan Allah pagi dan petang, siang dan malam. Sufi adalah orang yang mampu mengingat Allah sambil berdiri, rukuk, duduk ataupun berbaring. Sufi adalah orang yang dapat merasakan eksistensi Allah sambil berjalan ataupun berlari. Sufi adalah orang yang mampu mendekati Allah dalam ramai maupun sunyi. Sufi adalah orang yang menemukan Allah dalam shalat dan mengaji, dalam menari ataupun bernyanyi. Sufi adalah mereka yang mampu menghadirkan Allah dalam segala waktu dan bentuk aktifitas.

***

Foto-foto berikut merupakan bagian dari perayaan “Hari Auliya”, pada Ahad 19 Maret 2023 di Dayah Sufimuda Aceh. Hari Auliya adalah hari untuk mengapresiasi kehadiran para Auliya dari seluruh ordo sufi di dunia. Kehadiran mereka merupakan rahmat. Sebab, selain memperkenalkan zikir, juga mengusung ketinggian seni dan toleransi dalam beragama. Even tahunan ini diawali dengan kegiatan zikir tawajuh. Selanjutnya ada ceramah, kajian sains spiritual, kenduri, bazar makanan gratis, dan pentas seni. Dalam kegiatan yang dihadiri ribuan jamaah ini, kami dimintakan untuk menjadi MC sekaligus membawakan beberapa puisi sufi.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

2 thoughts on “SUFI, BERAGAMA DENGAN SENI

  1. Tulisan yang mencerahkan. Beragama dengan jalan sufi sungguh indah. Tuhan hadir dalam wujud yang indah walaupun dzat yang paling ditakuti.
    Terima kasih Bang.

Comments are closed.

Next Post

"MAKMEUGANG", TRADISI SPIRITUAL SEPANJANG ZAMAN

Wed Mar 22 , 2023
Jurnal […]

Kajian Lainnya