“MAKMEUGANG”, TRADISI SPIRITUAL SEPANJANG ZAMAN

Jurnal Suficademic | Artikel No. 38 | Maret 2023

“MAKMEUGANG”, TRADISI SPIRITUAL SEPANJANG ZAMAN
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Di Aceh ada sebuah tradisi makan daging bersama, yang dilakukan setahun 3 kali. Sehari sebelum Ramadhan, di penghujung Ramadhan, dan menjelang Idul Adha. Namanya meugang atau makmeugang. Orang-orang tidak tau bahwa ini kenduri yang sudah lama ada dalam kalender kaum sufi. Di Aceh, melalui Qanun Meukuta Alam Bab II pasal 47 (sebuah naskah hukum yang telah disusun sejak abad 16) ritual ini sempat dilembagakan menjadi tradisi.

Sekilas diriwayatkan. Bahwa ini hal yang sudah lama eksis dalam Kerajaan Aceh. Mungkin sudah ada sejak era sufisme Hamzah Fansuri di abad ke-16, atau mungkin lebih tua lagi. Tidak diketahui kapan awal mulanya. Iskandar Muda yang memerintah tahun 1607-1636 M juga melaksanakannya. Daging sapi dipotong di semua tempat oleh masing imum wilayah, lalu dibagi-bagi ke rakyat.

Acara ini dilaksanakan, katanya sebagai rasa syukur atas kemakmuran. Karena itu kata “makmeu”-gang ada yang mengartikannya sebagai makmur. Sedangkan “gang” dipahami sebagai lorong pasar. Makmeugang adalah pasar atau gang kemakmuran. Pengartian seperti ini sekilas terkesan spekulatif. Mungkin ada makna lainnya.

Paska Belanda berkuasa, tradisi yang mungkin awalnya ikut disponsori kerajaan, mulai meredup. Namun tidak hilang, karena sudah sangat mengakar. Sampai saat ini, makmeugang masih berlangsung. Setiap orang secara personal kekeluargaan masih terus menjalankan tradisi ini. Bahkan hukumnya seperti “wajib”. Walaupun mereka sendiri tidak paham, apa makna sebenarnya dari ini semua.

Sebenarnya, kalau Anda melihat momentum masyarakat melaksanakan makmeugang, itu tidak terlepas dari pengaruh “almanak spiritual”. Ada kaitan erat apa yang masyarakat Aceh lakukan dengan nilai-nilai spiritual.

Sekilas, sebenarnya tidak ada pengaruh apakah kita memulai Ramadhan dengan ataupun tidak makan daging. Begitu juga ketika menutup puasa, tidak harus makan atau tidak makan daging. Menjelang Idul Adha juga begitu, tidak mesti harus ada kenduri daging. Artinya, tidak ada dalil hadis yang mewajibkan potong sapi, kerbau ataupun kambing pada momen-momen tersebut.

Sekilas itu seperti “bid’ah”. Padahal, semua kegiatan ini hanya meniru tradisi spiritual yang sudah sangat kuno. Meugang itu “Sunnah” para nabi. Semua nabi melakukan ini. Para nabi punya tradisi “meugang” sebelum dan sesudah menempuh perjalanan spiritual. Mungkin waktu dan tempatnya beda-beda. Berikut akan kami jelaskan.

Puasa seperti Ramadhan, bagi orang awam, itu hanya tidak makan di siang hari. Tapi, saat sirine ditiup sebagai tanda berbuka, mereka akan makan semuanya. Sampai seisi meja rata. Tapi ini tidak terjadi dalam tradisi khawash (tradisi khas, puasa “khusus” kaum sufi).

Dalam tradisi sufi, Ramadhan itu menjadi salah satu momentum menahan diri dari semua bentuk makanan. Termasuk daging. Selama 30 hari berpuasa, mereka tidak sedikitpun makan asupan makanan yang mengandung unsur darah/hewani (i.e., daging, ikan, telur, susu dan sejenisnya). Mereka hanya mengkonsumsi unsur-unsur nabati.

Karena itu, satu atau dua hari menjelang puasa, kaum sufi akan makan daging bersama-sama. Itulah “meugang”, makan atau kenduri daging terakhir secara besar-besaran. Sambil membaca-baca doa. Setelah itu, mereka akan in complete absence from meat. Mereka baru makan daging kembali, alias buka pantang, menjelang Idul Fitri atau hari terakhir Ramadhan. Itulah yang disebut “meugang Idul Fitri”.

Kaum sufi punya kalender untuk melakukan sejumlah suluk dalam setahun. Jadwalnya relatif berbeda antara satu ordo sufi dengan lainnya. Selain juga memiliki kesamaan-kesamaan. Kesamaan umumnya adalah, mereka berpuasa selama Ramadhan (sebelum Idul Fitri). Karenanya ada meugang (makan daging) sebelum dan setelah selesai menempuh mujahadah spiritual ini.

Mereka juga ada yang berpuasa menjelang Idul Adha. Idul Adha menjadi hari raya besar bagi kaum sufi. Takbirnya bisa sampai 4 hari. Karena itulah, sebelum Idul Adha mereka menyambut itu dengan berpuasa secara khusus. Puncak puasa adalah menjelang Idul Adha. Bisa jadi mereka berpuasa total, bisa jadi hanya tidak makan daging (unsur hewani) saja. Menjelang Idul Adha, Setelah sekian lama menahan diri tidak makan daging dalam khalwat/suluk (bisa 7 hari, 10 hari, dsb), baru kemudian mereka buka pantang, makmeugang lagi.

Tradisi meugang ini sebenarnya bukan hanya ada di Aceh. Hanya saja, di Aceh sudah dibuat menjadi sebuah perayaan besar oleh raja-raja terdahulu. Apalagi ketika Aceh masih menjadi pusat spiritualitas Asia Tenggara, tradisi tarikat (khalwat/suluk) itu masih kuat sekali.

Ketika Belanda muncul sejak pertengahan abad 19, tradisi spiritual banyak dimusnahkan. Belanda meyakinkan masyarakat, bahwa untuk menjadi sufi, itu harus menunggu tua dulu. Kalau masih muda sebaiknya tidak usah. Khalwat/suluk, itu diidentikkan sebagai tradisi orang tua. Kalau masih muda, sebaiknya sekolah saja dulu. Kalau sudah banyak dosa, baru bertaubat.

Maka perlahan, tradisi spiritual meredup di tengah masyarakat. Konon lagi setelah Arab Saudi dikuasai Inggris (Yahudi). Dibantu oleh gerakan wahabismenya, semua pusat inkubasi spiritual dihancurkan. Ketika Mekkah dan Madinah mulai kosong dari pusat-pusat spiritualitas (pusat khalwat/suluk), energi umat Islam mulai redup. Kalau kita telusuri sejarah, para pejuang yang tangguh, itu umumnya kaum sufi (ahli tarikat). Sementara kaum abangan, itu rata-rata jadi pegawai Belanda. Kalau tidak ada Tuhan di hati, memang tidak mampu kita untuk membuat perlawanan.

Jadi, meugang itu tradisi orang shalih. Tradisi para nabi dan sufi menjelang Ramadhan dan momentum suluk lainnya. Nabi Muhammad SAW, itu terakhir makan daging dilakukan sesaat sebelum naik untuk mengasingkan diri ke gua Hirak. Baru makan daging kembali setelah selesai masa pertapaannya.

Nabi Musa as juga begitu. Selama di Thursinai berpuasa penuh. Tidak makan daging. Makan daging dilakukan bersama kaumnya sesaat sebelum beliau naik ke gunung untuk menerima perintah Tuhan. Nabi Isa as juga begitu, 40 hari katanya tidak makan sama sekali. Makan daging dilakukan sebelum dan setelah beliau menempuh jalan sunyi ini.

Artinya, Islam atau agama yang dibawa para nabi, itu bukan total agama vegetarian untuk seumur hidup; seperti dilakoni para rahib dalam agama tertentu. Selama puasa tertentu, memang para nabi hanya makan sayur (unsur nabati) atau bahkan tidak makan sama sekali (seperti Nabi Yunus dengan puasa tiga harinya di ‘perut ikan’). Tapi setelah itu kembali makan daging.

Kenapa tidak boleh makan daging selama masa inkubasi spiritual?

Sekilas agama mengatakan, “setan mudah masuk dalam aliran darah”. Unsur darah, itu pada kadar tertentu bisa mengandung ‘setan’. Penyakit dan berbagai emosi, itu banyak terbentuk dari unsur makanan, khususnya yang berdarah. Ketika Anda hendak menempuh perjalanan menuju Tuhan unsur-unsur ini mesti dikurangi.

Manusia itu makhluk multi dimensi. Ada dimensi hewan, ada dimensi tumbuhan. Pada dimensi hewani, manusia ini makhluk penuh nafsu. Penuh gerak dan liar sekali. Karenanya, makanan unsur hewani memompa manusia untuk memiliki karakter binatang. Kita butuh nafsu untuk berkembang biak. Tapi itu tidak kita perlukan saat sedang berpuasa secara khusus dalam upaya taqarrub kepada Allah.

Manusia juga makhluk nabati. Sifatnya tenang. Tidak bergerak. Tidak punya karakter liar penuh hawa nafsu seperti hewan. Karena itu, mengkonsumsi unsur-unsur tumbuhan saja, itu sangat dianjurkan selama suluk/khalwat. Badan pun bisa sehat karena unsur kolesterol dan lemak terkurangi.

Ketika unsur lemak ini menurun, ditambah lagi dengan kekuatan zikir, sel-sel saraf akan punya kemampuan dan sensitifitas tinggi menangkap gelombang-gelombang dari alam rabbani. Mukasyafah (enlightenment) diperoleh melalui proses puasa. God-spots mudah aktif jika kita mengurangi asupan yang mengandung unsur hewani.

Pada puncaknya, ketika unsur hewani dibatasi, bahkan unsur nabati juga dikurangi melalui berbagai jenis puasa; perlahan manusia hilang kesadaran materialnya. Disitulah awal muncul kesadaran “ruhiyah”. Disitulah awal ia berjumpa dengan Tuhan. Sebuah Wujud yang tidak makan dan tidak minum. Sebuah wujud yang juga bukan hewan, juga bukan tumbuhan. Allah itu bukan mineral, bukan material. Beda dengan yang lain. Laitsa kamislihi syai-un.

Itulah inti puasa, tidak makan daging, sekaligus mengurangi makan yang lain. Itu akan membuat Anda menjadi manusia yang juga “laitsa kamislihi syai-un”, beda dengan manusia lainnya. Itulah awal Anda segelombang dengan Dia yang juga “laitsa kamislihi syai-un”.

Makmeugang (meugang), itu awalnya adalah tradisi spiritual para nabi dan kaum sufi sebelum menempuh perjalanan spiritual (puasa/suluk/khalwat/iktikaf). Diawali dengan makan daging, setelah itu mereka akan berpantang total untuk tidak mengkonsumsi apapun, atau hanya makan unsur nabati saja.

Setelah selesai dari pengasingan diri, baru kemudian mereka mencicipi daging agar “nafsu”-nya hidup kembali. Sebab, selama bersama Allah, mereka fokus pada zikir dan ibadah, bukan pada nafsu. Selesai itu, baru mereka makan daging, dan fokus kembali pada pasangannya masing-masing. Itulah keseimbangan yang harus dijaga.

Banyak orang yang tidak tau prosedur riyadhah spiritual bernilai “istimewa” (khusus) ini. Sebab, guru yang mengajari suluk/khalwat itu langka. Sehingga, selama Ramadhan kita temui bagaimana orang-orang makan lebih banyak daging daripada hari-hari biasa. Mereka mengkonsumsi aneka rupa penganan, berlipat ganda dari bulan-bulan sebelumnya. Padahal, meugang itu sebuah kode, bahwa itulah hari terakhir kita pesta pora.

***

Uniknya, di Jawa (khususnya Jawa Tengah, Jogyakarta dan Jawa timur) juga ada tradisi yang sudah lama hidup di tengah masyarakat dengan nama hampir sama: megengan. Diartikan sebagai “menahan”. Mirip dengan meugang. Ada sajian terakhir yang mereka nikmati pada sore menjelang masuknya bulan puasa. Nama menunya ambengan. Ada opor ayam dan unsur daging/hewani lainnya. Setelah itu mereka akan menahan diri untuk tidak lagi makan, khususnya daging (bagi yang khusus mengambil safar, perjalanan batin menuju Allah). Mereka juga berhenti melakukan perbuatan tercela, menahan bicara dan sebagainya.

Acara ini dibarengi slametan atau doa-doa menyambut suluk/Ramadhan. Mirip tradisi para salik/mursyid, masyarakat juga berziarah ke makam leluhur untuk bersilaturahmi sebelum menempuh perjalanan spiritual. Meugang ataupun megengan, itu bagian dari tradisi sufistik yang hidup ditengah masyarakat kita. Mungkin banyak yang sudah kehilangan pesan dari semua tradisi itu, selain yang masih konsisten dengan jalan spiritual.

Selain disebut megengan (meugang), tradisi ini juga dinamakan punggahan (munggah, meugang). Menu munggahan juga ada rendang atau semur daging. Munggah dalam bahasa Jawa diartikan”naik”. Sejak awal menyambut Ramadhan, masyarakat sudah mempersiapkan diri untuk menaikkan derajatnya disisi Allah. Baik melalui mandi khusus untuk membersihkan hadas lahir dan batin, serta persiapan melakukan tirakat (zikir) dan ibadah-ibadah khusus lain.

Di Kalimantan Selatan, khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Selatan juga ditemukan tradisi sejenis. Namanya mamagang, hampir sama dengan makmeugang di Aceh. Menyambut ramadhan ditandai dengan makan daging. Disini dilakukan dengan memotong ayam atau itik.

Bagi para sufi, kenduri bersama dan saling berbagi daging dalam bentuk meugang, munggahan, megengan, atau mamagang juga menjadi bagian dari pengamalan hadis:

ﻣَﻦْ ﻓَﺮِﺡَ ﺑِﺪُﺧُﻮﻝِ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﺣَﺮَّﻡَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺟَﺴَﺪَﻩُ ﻋَﻠﻰَ ﺍﻟﻨِّﻴْﺮَﺍﻥِ

“Barang siapa yang bergembira akan hadirnya bulan Ramadan, jasadnya tidak akan tersentuh sedikit pun oleh api neraka” (Hadis, diriwayatkan dalam kitab Durrat an-Nasihin).

Menarik untuk ditelusuri kembali, dari mana asal kata makmeugang atau meugang (Aceh), munggahan atau megengan (Jawa), atau mamagang (Kalimantan). Apakah dari Aceh (sebagai pusat awal keislaman) yang menyebar ke berbagai tempat di Nusantara? Atau semuanya mengambil dari akar kata dan tradisi tertentu di belahan dunia lainnya?

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

One thought on ““MAKMEUGANG”, TRADISI SPIRITUAL SEPANJANG ZAMAN

Comments are closed.

Next Post

KOMPILASI KAJIAN TENTANG PUASA

Fri Mar 24 , 2023
KOMPILASI […]

Kajian Lainnya