“TANAZZALUL MALAA-IKATU WAR RUH”, MENCARI BATIN QURAN

Jurnal Suficademic | Artikel No. 39 | Maret 2023

“TANAZZALUL MALAA-IKATU WAR RUH”, MENCARI BATIN QURAN
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Merujuk pada definisi yang diberikan Quran, “Lailatul Qadar” adalah malam turunnya Quran. “Sesungguhnya kami menurunkan Quran pada malam qadar”. Inna anzalnahu fi lailatil Qadri (QS. Al-Qadar: 1).

Pertanyaannya, apakah malam qadar masih ada? Apakah Quran masih turun? Kalau ternyata malam qadar masih ada, dan Quran masih turun, bisakah kita menemukan atau mengalami “keindahan” malam itu? Masih bisakah kita menerima Quran kalau memang masih turun?

Atau, jangan-jangan, malam qadar sudah bersifat historis. Itu hanya cerita masa lalu. Tidak terjadi lagi. Sebab, Quran sudah selesai turun. Kalau memang demikian, mengapa kita harus sibuk-sibuk mencari malam qadar?

Untuk membahas ini, kita awali dengan pemahaman terhadap makna atau ragam bentuk dari “Quran”. Sehingga kita bisa paham, apa yang “diturunkan”? Quran apa yang “diturunkan” pada malam qadar? Apa buku teks/kitab 30 juz? Atau ada bentuk lainnya?

***

Kalau kita lihat sejarah, sebenarnya tidak ada Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW pada malam qadar. Kalau yang kita maksud sebagai “Quran” adalah “buku teks” (kitab tulisan 30 juz).

Nabi Muhammad SAW, sejak di gua Hirak sampai meninggal, itu tidak pernah menerima Quran dari langit dalam bentuk buku teks 30 juz, ataupun lembaran kertas bertulis ayat-ayat. Beliau pun seumur hidupnya tidak pernah menuliskan itu. Juga tidak pernah memerintahkan itu untuk dituliskan dalam bentuk buku teks 30 juz.

BACA JUGA: “Beragama Dengan dan Tanpa Teks”

Sehingga, saat Beliau wafat, tidak ada buku 30 juz yang “berstempelkan” Rasulullah, yang ia serah terimakan kepada penerusnya. Maka ketika ada hadis menyebutkan bahwa Beliau meninggalkan Quran kepada kita, pertanyaannya: “Quran dalam bentuk apa yang ditinggalkan itu?” Sebab, tidak ada “buku” Quran yang Beliau tinggalkan untuk umat saat Beliau wafat. Quran dalam bentuk buku (mushaf), itu baru dibuat/disusun kemudian.

Khususnya masa Usman bin Affan, semua fragmen sastrawi yang diidentifikasi sebagai ayat, dikumpulkan kembali. Dikumpulkan dari mana-mana. Ada panitia yang ditugaskan untuk ini. Mereka merumuskan kembali letak ayat, susunan dan penamaan surahnya.

Sejumlah fragmen otentik hasil pencatatan pertama oleh generasi terdahulu justru dibakar semua, tak tersisa sampai hari ini, karena dianggap ada yang ‘bermasalah’. Lalu dibuat kompilasi baru, yang disebut sebagai bentuk penyeragaman. Baru kemudian lahir mushaf, Maha Karya, kitab atau buku 30 juz itu.

Artinya, Quran yang kita kenal hari ini sebagai sebuah buku lengkap 30 juz, itu baru lahir pada era khalifah ke tiga. Sehingga menarik untuk kita dalami, Quran apa yang sebelumnya diturunkan kepada Muhammad pada malam qadar? Apakah Quran 30 juz?

Sementara, tidak ada buku lengkap 30 juz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sejak di Gua Hirak. Pun tidak ada bacaan 30 juz yang dihafalkan kepada Muhammad SAW saat di Gua Hirak. Cuma 5 potong ayat saja. Selebihnya yang berjuz-juz itu tidak turun pada malam-malam setelah itu. Tapi turun berangsur-angsur selama 22 tahun, sesuai kondisi dan kejadian. Bisa turunnya siang, bisa turunnya malam. Sesuai konteks peristiwa.

Jadi, Quran apa yang katanya juga diturunkan secara utuh (“anzalnahu”) kepada Rasulullah pada malam qadar?

Dua Jenis Quran: “Yang Berhuruf dan Bersuara”, dan “Yang Tidak Berhuruf dan Tidak Bersuara

Untuk memahami ini, para ulama dan mistikus Islam memperkenalkan kepada kita dua jenis Quran: “Quran yang berhuruf dan bersuara”; dan “Quran yang tidak berhuruf dan tidak bersuara”.

Pertama, “Quran yang berhuruf dan bersuara”. Adalah Quran setelah dibahasakan dalam wujud suara manusia, ataupun ditulis dalam bahasa manusia penerimanya, bahasa Arab tentunya. Quran ini sudah bersifat Baharu. Sudah menjadi “makhluk”. Bisa lapuk dimakan usia. Bisa musnah terbakar. Karena sudah menjadi kertas dan tulisan. Sudah mulai diproduksi. Sudah diberi baris dan tanda baca. Sudah menjadi realitas luaran. Sudah terpisah dari diri si penerima. Sudah jadi buku sejarah, hukum dan aneka teori.

Karena sudah berbentuk buku (kumpulan teori), maka harus dibaca dan dihafal. Itulah mushaf 30 Juz, 114 surah, 6000an ayat; yang ada ditangan kita semua. Atau mungkin tersimpan baik di lemari kita. Untuk memperoleh informasi tentang baik buruk sesuatu, kita harus membacanya. Itupun seringkali harus kita tafsir lagi sesuai konteks kehidupan disetiap masa.

Kedua, “Quran yang tidak berhuruf dan tidak bersuara”. Adalah keseluruhan perangkat spiritual non-teks (malaikat dan Ruh) yang “diturunkan” oleh Allah dalam diri Nabi pada malam qadar. “Tanazzalul malaa-ikatu war-Ruh” (QS Al-Qadar: 4). Malaikat dan Ruh adalah unsur “hidup” yang selalu berbicara secara laduniah dalam diri Nabi. Semua omongan/bisikan malaikat adalah Firman atau Kalam Ilahi. Yang dengan itu Nabi bisa mengetahui yang baik dan yang buruk tanpa harus membaca teks atau kitab mushaf apapun.

Allah tidak pernah menyerahkan buku teks 30 juz kepada Nabi untuk dibacakan atau disampaikan kepada umat. Makanya, Beliau disebut Nabi yang “ummi”. Tidak ada bahan bacaan yang diterima dari Allah, dan juga tidak pernah menuliskannya. Perintah “iqrak” sekalipun saat awal menerima wahyu bukanlah membaca yang tertulis. Itu lebih kepada perintah untuk berzikir atau membaca “Ismu Rabbik”. Jibril sejak awal sampai akhir masa kenabian tidak pernah membawa teks wahyu untuk dibaca Nabi. Nabi hanya membaca apa yang telah diturunkan (ter-install) dalam dadanya.

Pada malam qadar, Allah “menurunkan” (meng-install) satu perangkat sederhana ke qalbu Muhammad SAW. Dengan perangkat “divine artificial intelligence” ini, Nabi bisa tau kebenaran, bisa membedakan yang baik dan buruk tanpa membaca teks apapun. Yang sedikit inilah “api” asli dari Kalam Ilahi.

Itulah elemen “furqan”, bentuk Qur’an atau “api” (cahaya) asli dari Kalam Ilahi yang dibenam ke dada Nabi. Dengan itu Beliau mampu mensensor dan mendeteksi kebenaran secara akurat. Buktinya, selama 22 tahun Beliau terus dibimbing oleh kekuatan “malaikat dan Ruh” (Quran/Furqan) ini. Elemen Nurullah (Quran) yang sangat batiniah inilah yang selalu menunjukkan jalan yang benar, sehingga Nabi bisa maksum, terbebas dari segala dosa dan memiliki banyak mukjizat. Tidak mungkin Nabi berdosa, sementara malaikat dan Ruh ada dalam dirinya. Malaikat dan Ruh adalah makhluk suci. Mereka bersemayam dalam diri dan selalu berbicara kepada Nabi.

BACA JUGA: Kalam Ilahi, Mencari “Api” Kalimah yang Asli

Nabi tidak pernah membaca teks apapun, tapi mengetahui kebenaran secara absolut. Sebab, Quran yang qadim (gelombang malakut dan ruhiyah dari alam rabbani) sudah tertanam dalam jiwanya sejak malam qadar. Beliau selalu berbicara, melihat dan bertindak dengan gelombang ini; bukan dengan nafsu. Sehingga, tidak ada sesuatu apapun yang keluar dari diri Nabi melainkan “wahyu” (Kalam Ilahi). Wama yantiqu ‘anil hawa in huwa illa wahyu yuha (QS. An-Najm: 3).

Hanya saja, dikemudian hari, ada penggolongan setiap kalimat yang keluar dari lisan Nabi. Ada yang dikategorikan sebagai “ayat”, yang kemudian dikompilasi dalam mushaf yang disebut Quran. Sebuah ayat biasanya punya kandungan sastra yang tinggi. Kalimatnya sangat indah dengan komposisi pengetahuan yang berlapis. Ada yang muhkamat (terang maknanya), ada yang mutasyabihat (super mistis).

Ada juga kata-kata Nabi yang disebut “hadis qudsi”. Itu juga ucapan dari lisan Nabi, yang hakikatnya juga dari Allah (wahyu), namun redaksi sastranya standar saja. Namun pesannya juga tinggi. Sementara ada juga yang diklasifikasikan sebagai “hadis”. Ini rata-rata menggunakan bahasa percakapan sehari-hari. Ratusan tahun kemudian, ucapan-ucapan ini juga coba dikumpulkan (khususnya oleh Bukhari dan Muslim) untuk menjadi kitab hadis.

Pada hakikatnya, ketiga ini merupakan “wahyu”, bernilai suci. Menjadi sumber hukum utama dalam Islam. Sebab, semua perkataan Nabi diilhami oleh sesuatu Yang Maha Tinggi, tajalli dari Quran (Tuhan) yang ada dalam dirinya. Sesuatu yang sangat batiniah dalam diri Nabi (yaitu malaikat dan Ruh) ber-tajalli terus menerus dalam kalimat-kalimat suci sesuai masalah dan kondisi yang dihadapi Nabi. Inilah yang kemudian disebut teks ayat, hadis qudsi ataupun hadis. Karena sangat bernilai, ucapan atau kalimat-kalimat ini ada yang dicatat di pelepah kurma, di tulang dan sebagainya sejak masa Nabi. Ada juga yang dihafal. Baru dikemudian hari dikompilasi dan salah satunya menjadi mushaf Quran.

Bagi Nabi, Quran itu bukan teks luaran. Melainkan komponen “hidup” (malaikat dan Ruh, atau Nur Muhammad) yang aktif berbicara dalam dirinya. Karena entitas suci itu ada dalam dirinya, maka Quran yang sesungguhnya adalah diri Nabi itu sendiri. Bukan catatan yang terpisah dari dirinya. Nabi adalah wujud Quran yang hidup dan bergerak sesuai kehendak dan akhlak Allah. Sesuatu yang otentik dari Quran itu tertanam dan hidup dalam jiwanya. Jadi, Quran bukanlah kertas yang ada lemari atau di hp kita. Yang ada di kertas atau hp, itu juga Quran. Tapi sudah berubah menjadi “teks informasi” (realitas eksternal). Bukan lagi Ruh internal. Bukan lagi sesuatu yang hadir, menyatu dan bersemayam dalam diri kita (realitas internal).

BACA JUGA: “Quran itu Orang, Bukan Kertas”


Ilustrasi berikut menjelaskan lebih dalam perbedaan antara Quran yang berhuruf dan bersuara, dengan yang tidak berhuruf dan tidak bersuara.

Bayangkan, di tangan Anda ada buku setebal 30 bab. Isinya berbicara tentang kebenaran. Bicara halal haram. Bicara hal makruf dan munkar. Bicara hukum dan etika. Bicara berbagai informasi dan pengetahuan. Apakah Anda harus membaca dan menghafal semua itu untuk mengetahui kebenaran di dunia? Ya, silakan saja. Mungkin Anda butuh sebuah buku “teori pengetahuan” setebal itu untuk memahami dunia.

Tapi Anda punya problem mendasar, walaupun sudah tamat membacanya. Misalnya, tiba-tiba Anda disajikan segelas minuman atau sepiring makanan; ditambah setumpuk uang. Pertanyaannya, apakah isi gelas dan piring, serta uang tersebut, halal atau haram?

Apakah Anda harus kembali membuka kitab setebal 30 juz (atau kitab-kitab fikih lainnya) untuk memahami halal haram makanan dan minuman yang sedang lewat di depan Anda? Apakah Anda harus menelaah ayat dan hadis satu persatu untuk mendapat informasi bahwa makanan, minuman atau uang yang disodorkan itu halal atau haram?

Secara teoritis, setelah membaca semua kitab itu, anda sudah tau, bahwa sesuatu yang mengandung alkohol dan babi, itu haram untuk dikonsumsi. Cuma, anda bingung bahkan tidak tau apakah isi gelas dan piring itu betulan ada unsur tuak dan babi. Anda juga tidak sepenuhnya tau apakah pemberian itu termasuk kategori sogok, gratifikasi, sedekah, hibah atau hadiah.

Alhasil, bacaan-bacaan Anda menjadi tidak begitu praktis pada situasi tertentu. Bacaan Anda tidak memberitahukan Anda bahwa sesuatu yang disajikan di depan Anda itu bernilai baik ataupun buruk. Akal Anda sendiri yang harus memutuskan, apakah itu baik atau buruk.

Artinya, ada gap antara teks yang anda kuasai dengan realitas yang anda hadapi. Butuh waktu dan tenaga untuk mengetahui apakah sesuatu benar atau salah. Sebab, antara teks dengan kenyataan masih terpisah. Pengetahuan kita bersifat parsial. Teks sendiri, realitas sendiri. Harusnya menyatu (kesatuan wujud). Maksudnya, begitu lewat sesuatu di depan kita, otomatis ada pengetahuan dalam diri kita yang langsung berbicara bahwa itu benar atau salah, halal atau haram. Ada sesuatu yang membisiki kita, ada God’s Decision, bahwa itu boleh atau tidak boleh.

BACA JUGA: “Quran Teoritis dan Quran Praktis”

Ilustrasi “Quran Praktis” (Tidak Berhuruf dan Tidak Bersuara) dengan “Quran Teoritis” (Berhuruf dan Bersuara)

Sebagai contoh, perhatikan alat body scanner ataupun X-Ray di bandara. Begitu Anda melewati pintu masuk, otomatis terdeteksi apa yang melekat di tubuh Anda. Kalau ada metal akan segera diketahui. Atau, begitu Anda letakkan tas di mesin, secara otomatis akan terbaca apakah barang bawaan Anda halal atau haram untuk dibawa ke pesawat. Alat itu langsung mampu mendeteksi sekecil dan sehalus apapun barang yang Anda bawa. Mesinnya sangat kasyaf!

Alat itu tidak berteori sedikitpun. Tidak berbicara sama sekali. Tapi bekerja secara praktis. Dalam diamnya, ia mampu memberitahukan Anda, apakah sesuatu baik atau buruk. Alat itu tidak pernah pergi sekolah. Alat itu tidak pernah membaca buku. Tapi cerdas dan sangat tau. Ketika sebuah benda lewat, si mesin ini tidak perlu membuka Quran atau buku manual lainnya terlebih dahulu untuk mengetahui bahwa benda yang masuk itu berbahaya atau tidak. Mesin ini punya “kecerdasan otomatis” yang telah di-install oleh tuannya, untuk mengetahui apa yang patut diketahuinya.

Bayangkan, jika mesin (teknologi) itu ada dalam diri Anda. Itulah sebenarnya elemen Quran yang asli. Sebuah teknologi, software atau “kecerdasan spiritual” yang telah ter-install dalam diri, yang dengan itu seseorang dapat mengetahui baik buruk, benar salah, halal haram sesuatu secara aktual. Mesin itu ada dalam diri Anda dan selalu berkomunikasi dengan Anda; melalui kode, alarm atau bahasa-bahasa sangat batiniah yang tidak berhuruf dan bersuara.

Quran yang “otentik”, itu teknologi spiritual yang ditanam (tanazzul) dalam qalbu. Quran yang otentik adalah Tuhan yang senantiasa berbicara kepada kita, Nur yang senantiasa membimbing. Itulah unsur “hidup” (qadim) yang dititip Allah dalam dada. Inilah bentuk Kitab penuh mukjizat yang diturunkan kepada para Nabinya. Sebuah Kitab yang senantiasa berbicara (berkalam), tanpa huruf dan tanpa suara.

Kitab jenis ini mampu mendeteksi segala bentuk iblis dan tipu dayanya. Tanpa alat ini dalam diri, kita akan mudah sekali tersesat. Sensor dan detektor ini merupakan gelombang malaikat dan Ruh, alias “furqan” yang mampu mendeteksi/membedakan baik buruk atau benar salah secara langsung, absolut dan aktual.

Bisakah kita memperoleh batin (Ruh) dari Quran ini?

Surah Qadar menyebutkan dua kata tentang “turunnya” Quran. Dari kedua kata ini kita diberitau, bahwa Quran sudah turun seluruhnya (anzala), sekaligus masih turun terus menerus (tanazzul).

Di ayat pertama surah Al-Qadar digunakan kata “anzala” (turun), dalam bentuk past tense (fi’il madhi). Artinya, Quran itu sudah selesai turun. Quran sudah diturunkan Allah seluruhnya dari sisi-Nya ke langit dunia, ke dada (“langit”) para Nabi. Semua nabi yang menerima kitab dari sisi Tuhannya adalah wujud dari “anzala” ini. Artinya, kita tidak bisa lagi menjadi “nabi” untuk menerima wahyu. Sebab, sudah ditutup. Sudah terjadi dan tidak akan berulang (anzala).

Dalam level teks (mushaf) juga kita pahami demikian. Itu sudah selesai pembukuannya. Yang 30 juz itu sudah komplit. Sudah turun semua. Quran dalam dimensi lahiriah sebagai sebuah dokumen agama, itu sudah selesai. Sudah lengkap. Jangan dikurang atau ditambah. Juga jangan diubah. Kalau mau dibuat tafsir dan penjelasan lebih lanjut dari masing ayat, silakan.

Tapi, pada ayat ke 4 surah Al-Qadar, digunakan kata “tanazzul” (turun) dalam bentuk continuous tense (fi’il mudhari’). Artinya, Quran masih terus turun. Inilah jenis Quran yang tidak kita punya, yaitu batin (Ruh-Nya). Kita semua sudah memiliki buku teks Quran, tapi malaikat dan Ruh yang menjadi jiwa dari itu semua tidak kita punyai. Maka, ayat ke empat ini memberi kita peluang untuk memperolehnya, yaitu pada malam qadar di sepanjang zaman.

Jika ayat pertama menjelaskan bahwa Quran turun dari sisi Allah ke dada Nabi (dan itu hanya terjadi di masa lalu); maka di ayat ke empat menjelaskan bahwa apa yang ada pada dada Nabi ini masih bisa diturunkan lebih lanjut kepada umatnya.

Quran “yang tidak berhuruf dan bersuara” itu sudah turun, sudah tersedia di “langit dunia”, ada dalam jiwa para rasul dan pewarisnya, ada dalam dada para imam atau wali pembawanya. Quran yang sangat batiniah ini belum kita miliki. Quran ini diteruskan dari satu dada ke dada lainnya. Seperti kata Nabi, “Kutinggalkan kalian dua perkara, yang jika kalian berpegang teguh kepada keduanya, kalian tidak akan tersesat selamanya. Yaitu: Quran dan ahlul baitku” (HR. Muslim). Quran ini bersanad, diturunkan, ditimbang terima atau diwariskan dari satu imam ke imam lainnya, atau dari satu wali akbar (mursyid) ke wali akbar (mursyid) lainnya. Dari satu orang suci ke orang suci lainnya.

Kalau Quran lahiriah (mushaf); itu bisa disentuh, diwariskan, dibagi, atau diteruskan kepada siapapun. Kafirpun bisa memiliki Quran jenis ini. Bisa mereka buka dan baca siang malam. Makanya, banyak orientalis yang ahli dalam agama Islam dan mereka rajin juga baca Qur’an.

Tapi tidak demikian dengan Quran batiniah. Quran ini tidak bisa disentuh oleh sembarang orang. Karena kontennya sangat sakral (suci). Quran ini hanya bisa disentuh (diturunkan) kepada yang sudah menempuh jalan kesucian. “La yamassuhu illal muthahharun” (QS. Al-Waqiah: 79).

Artinya, teknologi Quran (elemen software batiniah) hanya bisa diwariskan kepada orang-orang yang wadahnya telah dipersiapkan. Teknologi yang sangat sensitif dan bisa berbicara secara khusus tanpa huruf dan suara ini, hanya bisa di-download oleh orang-orang yang sudah disucikan (telah kuat wadah ruhaniahnya). Itulah salah satu fungsi ramadhan, melalui metode dan amalan khusus, Anda bisa memperoleh Quran jenis ini.


Malam qadar, itu bukan malam pengalaman biasa. Itu malam pengalaman hakikat, malam pengalaman kenabian. Lailatul Qadar itu pengalaman spiritual nyata. Bukan kira-kira. Maksudnya, bukan karena telah beribadah semalaman pada malam-malam ganjil, atau bahkan sebulan penuh Anda melakukan qiyamul lail, lalu merasa sudah mendapat Lailatul Qadar. Malam qadar adalah pengalaman yang dialami secara pasti. Malam Anda berinteraksi atau berkomunikasi secara langsung dengan malaikat dan Ruh.

Siapapun yang ingin memperoleh lailatul qadar, ingin mendapat pengalaman batin (berinteraksi dengan elemen malaikat dan Ruh dari Quran); itu ada cara atau metodologinya. Kelihatannya tidak cukup dengan memperbanyak tarawih. Anda harus mencoba mengasingkan diri (beruzlah/beriktikaf) dari keramaian. Sudah sering kita tamat membaca Quran dan memenuhi masjid dengan tarawih, tapi Lailatul Qadar belum pernah kita temui/rasakan bukan?

Sebab, sebagaimana riwayat yang umum kita ketahui, Nabi sendiri selama Ramadhan tidak pernah terlihat di masjid, kecuali dua malam saja. Beliau juga tidak mau memimpin tarawih berjamaah. Tarawih itu inisiasi dari Umar bin Khatab. Nabi justru menyepi selama Ramadhan. Ada amalan khas dalam kesunyian malam Ramadhan yang beliau kerjakan setiap tahun untuk terus memperbesar gelombang ruhiyahnya (batin Quran).

Saat muda juga itu yang Beliau kerjakan, sering melakukan khalwat setiap bulan Ramadhan di Gua Hirak. Dari proses inilah “turun” Quran. Itulah malam qadar. Sebab, Lailatul Qadar tidak bisa diperoleh melalui ibadah malam biasa. Itu hanya diperoleh melalui metode tarikatullah. Yaitu metode khalwat (suluk/iktikaf intensif) yang dibimbing seorang walimursyid (“jibril”) yang dadanya telah mewarisi batin Quran dari wali-wali sebelumnya. Karenanya kita temukan, jamaah sufi cenderung memilih jalan berbeda selama Ramadhan, dengan cara menyepi ke masing pusat inkubasi spiritual.

BACA JUGA: Mencari “Lailatul Qadar”

Dalam dunia Islam, tarikat merupakan sebuah “jalan” (cara, teknik atau metodologi) untuk mengakses alam-alam yang lebih tinggi. Dalam struktur keimanan, ada sejumlah ontologi (wujud/alam/dimensi) yang diwajibkan kita untuk meyakininya. Seperti Allah, malaikat, kitab, nabi/rasul, hari akhir dan takdir. Semua ini wujud gaib. Tapi bisa ditemukan, dijumpai, dibuktikan keberadaan dan dirasakan kehadirannya melalui cara-cara tertentu. Jalan inilah yang ditempuh para nabi (dan para sufi) sehingga mampu mengkonfirmasi eksistensi semua itu, termasuk batin (alam malakut dan Ruh) dari Kitab/Quran.

Para sufi, melalui bimbingan Gurunya, dalam fase tertentu dari 30 atau 40 hari khalwatnya memang menunggu kehadiran atau “turunnya” malaikat dan Ruh (lailatul qadar). Peristiwa ini menjadi momen penting dalam perjalanan spiritual mereka selanjutnya. Malaikat-malaikat dan Ruh inilah (dalam terminologi sufistik lainnya disebut “muraqabah”) yang akan menjadi penentu segala amar (urusan, gerak, tindakan dan pembicaraan). Seolah-olah semuanya sudah diarahkan oleh Allah dari dalam diri (.. bi-izni Rabbihim min kulli amr, QS. Al-Qadar: 4). Perilaku mereka menjadi terjaga melalui kehadiran entitas-entitas suci ini. Akibatnya, keselamatan akan senantiasa menaungi mereka sepanjang usia. Salamun hiya hatta mathla’il fajr (QS. Al-Qadar: 5).

اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ (1) وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِۗ (2) لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ (3) تَنَزَّلُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِاِذْنِ رَبِّهِمْۚ مِنْ كُلِّ اَمْرٍۛ (4) سَلٰمٌ ۛهِيَ حَتّٰى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (5)

(1) “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada Lailatul Qadar; (2) Tahukah kamu apakah Lailatul Qadar itu? (3) Lailatul Qadar itu lebih baik daripada seribu bulan; (4) Pada malam itu turun para malaikat dan Rūḥ dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan; (5) Sejahteralah (malam) itu sampai terbit fajar” (QS. Al-Qadr [97]: 1-5)

BACA JUGA: “Syariat-Tarikat-Hakikat-Makrifat”: Metode Ilmiah dalam Beragama, “Kitab Suci, ‘Karya Ilmiah’ Para Nabi”

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

3 thoughts on ““TANAZZALUL MALAA-IKATU WAR RUH”, MENCARI BATIN QURAN

    1. Betapa sulitnya mencari Mursyid suci di zaman akhir ini Ustad, seringkali kami tertipu dengan pencarian murobbi yang sesungguhnya. Atau memang ditakdirkan menjadi awam ataukah kami yang kurang bersungguh sungguh mencari. Ruang gerak kami dibatasi rutinitas yang kami jalani sebagai bentuk sujud kami atas takdirNya. Semoga Allah memperjalankan kami untuk mendekat padaNya. Kami mengimpikan bisa bercengkrama denganNya. Semoga Allah meridhoi.

Comments are closed.

Next Post

"SPIRITUAL INTELLIGENCE", AGAMA DAN PENGETAHUAN PASKA GOOGLE-SEARCH DAN CHAT-GPT

Mon Mar 27 , 2023
Jurnal […]

Kajian Lainnya