“SPIRITUAL INTELLIGENCE”, AGAMA DAN PENGETAHUAN PASKA GOOGLE-SEARCH DAN CHAT-GPT

Jurnal Suficademic | Artikel No. 40 | Maret 2023

“SPIRITUAL INTELLIGENCE”, AGAMA DAN PENGETAHUAN PASKA GOOGLE-SEARCH DAN CHAT-GPT
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Ada ustadz yang galau, karena jumlah peserta pengajian kitab kuning mulai sepi. Ada pesantren yang tutup karena kesusahan mendapatkan santri. Ada pengurus masjid yang gerah, karena jamaah warung kopi lebih banyak daripada yang hadir ke masjid. Tak usah di bahas gereja dan sebagainya yang di Eropa sana, rata-rata sudah kosong.

Apakah agama mulai ditinggalkan?

Tidak bisa kita simpulkan demikian. Walau angka ateisme juga meningkat. Sebenarnya mereka tidak ateis murni. Tapi tingkat apatisme terhadap agama sangat tinggi. Sama seperti mereka, kami lebih suka melihat agama dari sisi ilmiahnya, melampaui doktrin-doktrin yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Sejumlah artikel sufisme ilmiah yang pernah kami tulis, sebenarnya sangat cocok untuk didiskusikan dengan mereka.

Agama itu Dua Lapis: “Konsep” dan “Realitas

Agama itu hakikatnya tentang Tuhan. Agama lahir beranjak dari kepercayaan kepada adanya Tuhan.

Oleh sebab itu, kalau disederhanakan, agama itu ada dua lapis. Lapis pertama adalah “konsep” (dalil/teori). Lapis kedua adalah “wujud” (realitas hakiki). Agama, pada level dasar, itu membahas konsep. Tuhan itu ada, melihat, berbicara, dan sebagainya. Itu level dasar, konsep. Sedangkan level kedua, level tinggi atau level puncak, adalah: Tuhannya mana?

Para agamawan, ulama, ustadz, biksu, rahib, rabi, pendeta; semua sangat ahli berbicara Tuhan pada level pertama. Tapi sangat sedikit, bahkan hampir tidak ada yang mampu memperlihatkan Tuhan kepada jamaahnya. Yang paling dicari manusia, itu adalah Tuhan. Bukan Tuhan dalam berbagai konsep. Tapi Tuhan yang asli. Yang dibutuhkan manusia juga bukan kitab Zabur, Taurat, Injil dan Quran. Tapi si Pemilik kitab itu. Pada akhirnya kita akan meninggalkan semuanya itu untuk bertemu Dia. Iya, kita butuh teks suci. Tapi itu menjadi muqaddimah untuk menjangkau yang lebih tinggi.

Manusia adalah makhluk adikodrati, yang secara fitrah ingin bersua dengan Tuhan. Ada unsur dan rasa kegaiban dalam diri manusia untuk menemukan jati dirinya yang asli. Puncak dari rasa itu adalah ingin kembali kepada unsurnya yang paling hakiki. Agama itu sejatinya menjadi alat, cara atau metode (tariq) yang dapat membawa manusia kepada Wujud yang azali, usul dari manusia itu sendiri.

Tapi, manusia kemudian menjadi “ahli kitab”; yang ‘tersesat’ dalam konsep, dalil dan teori yang tersebar dalam berbagai kitab, agama dan mazhab. Sampai tua kita masih juga belum bertemu Allah. Padahal shalat tidak pernah tinggal. Selama belum bertemu, kita pasti resah, was-was dan galau. Artinya, memang menjadi kebutuhan manusia untuk merasakan kehadiran Allah secara haqq (pasti). Tuhan sejatinya kita butuhkan sejak dini, sejak masih di dunia ini. Tidak harus menunggu mati.

Inilah penyebab orang-orang ‘cerdas’, lama-lama bosan dengan agama. Sebab, agama itu melulu berisi “cerita” tentang Allah, malaikat dan sebagainya. Tapi wujud empiriknya tidak ada. Meskipun konsepnya logis, keberadaannya tidak observatif. Akhirnya diputuskan, agama itu tahayul. Agama itu khurafat. Agama adalah bidang ilmu yang tidak faktual. Agama dengan segala rukun imannya adalah keyakinan yang tidak ilmiah dan irrasional.

Alhasil, ramai-ramai orang menjadi ateis. Mungkin masih ber-KTP Islam, Kristen, Hindu atau Budha. Tapi sudah fatalis, tidak begitu yakin dengan cerita-cerita kaum agamawan mereka. Disatu sisi mereka yakin kepada adanya Allah. Disisi lain, jiwanya “kosong”, karena tidak pernah terisi oleh rasa akan wujud kehadiran-Nya. Sebagian memilih tetap percaya, sebab, tidak ada pilihan lain. Karena takut dengan ancaman neraka. Masuk agama lain juga tidak jelas kemana ujungnya.

Berakhirnya Era Otak (Kognisi)

Dulu, orang percaya kepada agamawan karena dianggap sebagai orang yang paling banyak tau. Ilmu dan pengetahuan terpusat pada sosok ulama, rahib atau pendeta. Kitab masih begitu langka. Hanya mereka yang banyak mengoleksinya. Maka ramai-ramai mereka didengar dan dikunjungi, diisi ruang-ruang pengajiannya.

Kini, zaman sudah berubah. Google lebih banyak tau dari ustadz-ustadz kita. ChatGPT lebih cerdas dari ulama manapun di dunia. Youtube menyimpan lebih banyak pengetahuan daripada guru kita. Ada Hp yang bisa diisi semua kitab yang ada di dunia, sesuatu yang tidak dimiliki oleh pustaka pendidikan tempat dimana kita belajar agama. Lalu kenapa harus mencari guru, ketika semua informasi sudah tersedia?

Kita berada di era dimana “konsep” tentang segala sesuatu sudah berlimpah. Tinggal klik, semua ada. Pekerjaan guru yang bertugas mengisi otak kita dengan berbagai konsep, dalil, hukum, dan teori sudah runtuh. Semua sudah diambil alih oleh mesin-mesin artifisial. Era kognisi sudah selesai. Era kecerdasan otak sudah berakhir. Manusia tidak lagi butuh IQ. Cukup dengan punya Hp yang terhubung ke internet, seseorang serta merta menjadi super cerdas. Informasi apapun, dibelahan dunia manapun, bisa diakses seketika.

Maka, era agama dalam bentuk “konsep”, itu mirip-mirip sudah selesai. Ceramah agama, kalau tidak lucu, tidak menarik. Sebab, kalau sebatas dalil ayat dan hadis, atau informasi dan data-data sekunder, itu mudah di googling. Pengajian fikih taharah, shalat, puasa dan haji; juga seperti itu, seperti sudah kurang peminatnya. Kecuali kalau dipengajian itu ada kendurinya. Sebab, semua informasi tentang tata cara ibadah mudah sekali di lacak. Tinggal searching, semua fikih ibadah dari 1001 mazhab bisa didapat. Tinggal rajin-rajin saja membacanya.

Era kognisi, konsep, dalil, hukum, atau teori sudah tamat. Semua telah diambil alih oleh mesin. Anda bahkan bisa menciptakan imam shalat dari robot, jika mau. Tinggal diisi software Quran 30 juz ke dalam memorinya, suruh dia jadi imam tarawih. Mau qiraat apapun, seindah apapun, bisa dia. Anda mau punya penceramah rutin yang tidak perlu dibayar selama setahun? Tinggal buat robot lainnya, isi semua halaman buku dan kitab dalam chip otaknya. Suruh dia ceramah di masjid tiap hari.

Lalu Kecerdasan apa yang Kita Butuhkan Sekarang?

Kita sudah berada di era dimana harus berpikir ulang, pengetahuan apa yang harus kita up-grade. Kecerdasan otak (IQ) sudah berakhir. Pengetahuan kognitif sudah selesai. Segala bentuk data, bacaan, memori, hitungan dan hafalan sudah tergantikan oleh mesin. Intelektualitas manusia sudah bisa dipindahkan ke teknologi buatan. Tinggal kita bawa mesin (Hp) itu kemana-mana, sebagai penganti otak kita.

Setelah era kognisi, kita perlu berfokus kepada bentuk-bentuk kecerdasan lainnya. Misalnya; pertama, kecerdasan emosional (EQ). Kedua, kecerdasan bersosialisasi (AQ). Ketiga, kecerdasan spiritual (SQ). Saya tidak akan membahas tentang EQ dan AQ. Itu sama-sama sudah kita ketahui. Yang satu terkait dengan kemampuan mengelola emosi dalam diri (emotinal quotient). Satu lagi (adversity quotient) berhubungan dengan kemampuan menghadapi berbagai tantangan hidup. Kedua ini merupakan skill untuk sukses dalam pergaulan di tengah masyarakat. Meskipun IQ kita bagus, tanpa EQ dan AQ, kita cenderung gagal. Sebab, kita tidak hidup dalam ruang hampa. Setiap hari kita berinteraksi dengan manusia. Emosi dan benturan kepentingan pasti akan muncul. Kemampuan mengelola diri dan masalah yang dihadapi, itu sangat penting untuk kita punyai.

Sejauh ini, mesin dengan berbagai kecanggihan artifisialnya tidak bertugas untuk mentransfer kecerdasan EQ dan AQ, apalagi SQ. Mungkin dalam beberapa hal, mesin bisa mengelola dan menetralisir emosi Anda. Dalam banyak hal, teknologi metaverse justru membuat jiwa kita “kering”. Mesin telah membuat yang jauh menjadi dekat. Sekaligus membuat yang dekat semakin jauh.

Spiritual Intelligence (SI/SQ)

Agama mesti di upgrade, dari “konsep” ke “realitas”. Dari Tuhan dalam bentuk ide, ke Tuhan dalam wujud Wajah. Dari Tuhan teori ke Tuhan dzati. Jika tidak, agama akan kehilangan vitalitas. Di Eropa, sekularisme lahir seiring pertumbuhan rasionalisme. Orang-orang meninggalkan agama setelah mengalami “pencerahan” dimasa renaisans (aufklarung) sejak abad ke-17. Doktrin-doktrin gereja dianggap tidak lagi ilmiah. Agama diharamkan untuk dibawa ke ranah empirik. Tuhan tidak bisa diuji keberadaanya secara sensoris. Tuhan tidak bisa dijumpai. Christianity, setelah 1600 tahun berlalu dari masa Isa as, mulai dianggap sebagai mitos.

Islam sudah berusia lebih dari 1400 tahun. Apakah butuh sekitar 200 tahun lagi untuk ramai-ramai “hijrah” menjadi ateis? Sekarang pun mulai terlihat gejala itu. Riset WIN/Gallup International tahun 2012 menemukan bahwa 5 persen atau 1,4 juta warga Arab Saudi mengidentifikasi diri sebagai ateis. Hampir enam juta lainnya menganggap diri mereka bukan orang yang religius. Padahal itu negara yang sangat ketat dengan regulasi syariahnya. Surat kabar al-Sabah yang berbasis di Kairo juga mengklaim bahwa terdapat 3 juta penduduk Mesir yang ateis. Tahun 2015, pengadilan Mesir memperlihatkan data 6.500 wanita Mesir yang meminta cerai dari suaminya pada tahun itu, gara-gara suami mereka menjadi ateis (Kumparan, 2017). Anak-anak muda di negara-negara Islam, termasuk Indonesia, baik diam-diam ataupun terang-terangan juga semakin banyak mempromosikan ateisme di media sosial mereka.

Apa yang salah?

Apa yang sedang kita alami, adalah apa yang pernah dialami Kristen di abad 16. Agama dianggap sudah tidak lagi ilmiah. Agama hanya dalil, teks, teori, hukum, ayat dan hadis yang tidak dapat diverifikasi kebenarannya. Sementara, kita sudah masuk ke era saintifik. Cara berfikir ilmiah menuntut pembuktian atas semua hipotesa (keyakinan). Ketika dapat dibuktikan kembali, maka itu baru dikatakan benar secara universal. Jika tidak, itu palsu. Tuhan, ketika bisa diverifikasi wujudnya, maka itu benar ada. Jika tidak, maka Dia tidak ada. Atau dianggap sudah hilang, atau mati. Begitu cara kerja masyarakat ilmiah.

Pertanyaannya: “Apakah Islam itu ilmiah?” Apakah Allah itu bisa dibuktikan lagi keberadaanya, bisa diakses, bisa diajak berinteraksi atau berbicara? Jika iya, maka Ketuhanan dalam Islam itu bernilai ilmiah, rasional dan empirik. Tuhan masyarakat ilmiah adalah Tuhan yang bisa dijangkau, bisa di observe. Realitasnya dapat dibuktikan. Sesederhana itu. Buktinya, 25 nabi (atau bahkan ada 124.000 lainnya) seperti diriwayatkan, semuanya mampu menjangkau Tuhan. Semua mampu membuktikan Wujud Tuhan. Semua mampu berkomunikasi dengan-Nya. Itu bukti bahwa agama dan bertuhan adalah sebuah pengalaman empirik, ilmiah.

Tapi, kenapa sekarang kita tidak bisa lagi seperti itu? Dimana salahnya agama-agama sekarang? Kok bisa sebuta itu? Kenapa Islam bisa berubah dari agama yang empiris dan rasional, menjadi agama ‘total gaib’ (gelap). Mungkin inilah abad jahiliah atau kegelapan (dark ages) kita. Abad dimana Allah sudah tidak nampak lagi. Abad yang seharusnya Allah masih dapat diobserve, sebagaimana dibuktikan bisa oleh para spiritual researchers sejak Adam sampai Muhammad bin Abdillah, tetapi menjadi tidak terjangkau lagi.

Dalam dunia ilmiah, ketika eksistensi sebuah wujud (ontologi) pernah dibuktikan sebelumnya, maka itu bisa dibuktikan kembali. Itu hanya persoalan metodologi. Kalau metodologinya benar, paling tidak metodenya serupa; maka hal itu bisa diulangi. Perjalanan bertemu Allah itu bisa direplika, jika kita mewarisi metodologi yang sama dengan yang dimiliki para nabi. Jika tidak, berarti ada masalah dengan metodologi yang kita punya hari ini. Ada yang kurang lengkap, atau mungkin hilang, sehingga tidak mampu mengkonfirmasi keberadaan sebuah Wujud yang paling absolut.

Itulah yang sedang terjadi. Agama yang puncaknya itu adalah “wujud metafisika”, telah tereduksi menjadi daftar pustaka. Allah telah berubah menjadi nama yang dihafal-hafal, sifatnya begana dan begini. Wujudnya tidak pernah bisa dijangkau. Nama-Nya ada. Tapi barangnya tidak ada. Syariat begitu; lalai dengan kepercayaan, dalil, hukum, dan teori. Seharusnya semua hipotesa (keyakinan) bisa dibawa ke ranah pembuktian (metodologi). Sehingga diperoleh temuan atau pengalaman-pengalaman hakikat terbaru tentang ketuhanan. Dari inilah kemudian dapat disimpulkan kembali bahwa Allah itu ada, setelah berhasil diobservasi secara “iluminatif-empiris”.

Pada artikel terdahulu, kami pernah menyebutkan. Kita sekarang beragama hanya sampai di Bab 2, dari 5 bab yang seharusnya kita tempuh. Kalau Anda baca skripsi, thesis atau disertasi; Bab 1 berisi “Pendahuluan” (memaparkan fenomena wujud, atau melacak kesatuan/ketauhidan fenomena, antara sebab dan akibatnya), ini sebenarnya bab tentang “tauhid”. Bab 2 “Landasan Teori” (berisi dalil, definisi, aksioma, premis, proposisi, atau teori pendukung dan hipotesis/kepercayaan), ini dalam agama disebut “syariat”. Bab 3 “Metodologi” (berisi jalan, cara atau teknik pembuktian hipotesa), dalam agama disebut “tarikat”. Bab 4 “Temuan” (berisi data-data, hasil dan pengalaman), dalam agama disebut “hakikat”. Bab 5 “Kesimpulan” (berisi dalil-dalil baru yang diperoleh dari hasil pembuktian), dalam agama disebut “makrifat”.

BACA JUGA: “Syariat-Tarikat-Hakikat-Makrifat: Metode Ilmiah dalam Beragama”
BACA JUGA: Kitab Suci, “Karya Ilmiah” Para Nabi
BACA JUGA: “Ontologi Tauhid, Membangun Paradigma Sufistik dalam Riset Saintifik”

Kalau kita lihat kerangka metode ilmiah 5 bab tersebut (tauhid, syariat, tarikat, hakikat dan makrifat), kita bertuhan hanya sampai level syariat (level teori/dalil) di Bab 2. Kita sudah lumpuh dalam bab metodologi pembuktian (tarikat). Itulah kenapa, model beragama kita sekarang adalah model “tutup mata”. “Pokoknya percaya saja, bahwa Allah itu ada. Jangan tanya dimana, atau bagaimana cara berjumpa dengan-Nya di dunia ini. Itu hanya nabi yang bisa, kita tidak bisa”, begitu doktrin agama sekarang. Alhasil, anak-anak pindah agama, jadi ateis. Atau mungkin masih beragama, tapi memilih menjadi sekuler. Sains dan agama dianggap sebagai ranah berbeda. Padahal, metode ilmiah itu legacy untuk dunia moderen dari seorang muslim bernama Ibnu Haitsam atau di barat dikenal sebagai Alhazen (965-1040 M). Metode ilmiah 5 bab dalam dunia saintifik (fisik), diturunkan dari metode beragama untuk membuktikan alam metafisik.

Jadi, Islam harus diangkat kembali derajatnya untuk menjadi “agama ilmiah”. Jika tidak, kita akan mengalami gelombang sekularisasi sebagaimana diderita dunia kristen di abad ke 16. Islam harus di upgrade kembali dari ketertinggalannya di level syariat (dalil, hukum, teori, konsep dan kecerdasan kognitif) ke tarikat (berbagai metode pembuktian). Sehingga generasi sekarang dapat kembali merasakan pengalaman-pengalaman hakikat kenabian dalam perjumpaan dengan Allah dan para malaikat-Nya. Dari itu mereka akan simpulkan sendiri pengalaman beragama dalam bentuk-bentuk makrifat kontemporer. Dari itulah mereka akan tau bahwa Allah itu ada, bisa dijumpai dan diajak berkomunikasi. Sehingga tidak bodoh lagi, apalagi sampai harus menjadi ateis (mulhid). Biar mereka tau, bahwa Allah itu sebuah wujud nyata (dhahir/observed), bukan sekedar gaib (batin/fenomena). Huwalawwalu walākhiru waẓ-ẓāhiru wal-bāṭin, wa huwa bikulli syai`in ‘alīm (QS. Al-hadid: 3).

Inilah yang dimaksud sebagai “kecerdasan spiritual”, sebuah kecerdasan yang harus dimiliki pada post-cognitive era. Paska kecerdasan otak (mesin), kita harus meng-upgrade kecerdasan spiritual. Mesin tidak bisa membawa kita berjumpa Allah. Mesin hanya mampu berteori, memberi data dan referensi tentang sifat-sifat Allah. Untuk mampu merasakan dan ‘melihat’ Allah, kita harus menempuh metode (tarikat) tertentu, sebagaimana ditempuh para nabi.

Tentu Allah tidak bisa diobserve dengan mata telanjang, bisa “terbakar” atau digambarkan seperti “tersambar halilintar” (QS. Al-Baqarah: 55). Sebab, dia Maha dahsyat. Matahari saja tidak bisa dilihat dengan mata telanjang, apalagi Allah. Tapi dengan teknik dan teknologi tertentu; dengan ‘mata mikroskopis’ ruhaniah, Dia bisa di syahadahi secara eksperimentatif-iluminatif.

“Spiritual” adalah sesuatu yang diperoleh ketika seseorang mampu mengakses dunia metafisika. Selama belum tembus ke alam itu, kita belum dapat dikatakan punya kecerdasan spiritual. Spiritual adalah “spirit” (Ruh). Kalau Ruh belum aktif, belum punya kemampuan metodologis untuk mengakses Wajah Allah di alam niskala, kita belum dapat dikatakan memiliki kecerdasan ini.

Jadi, “kecerdasan spiritual” (SQ) bukan kecerdasan yang diperoleh lewat mengaji dan membaca konsep-konsep (syariat/kognitif). Kecerdasan spiritual didapat setelah mampu mengolah potensi Ruh, sehingga ia dapat “bergerak”, “berjalan”, “terbang”, “naik” atau mikraj ke sisi Allah. Akan banyak pengalaman, rasa dan bentuk kecerdasan (pencerahan) yang diperoleh setelah Ruh bertemu/beririsan dengan wujud (realitas) yang lebih tinggi dari alam fisika (material). Itulah kecerdasan spiritual. Sesuatu yang tidak dapat diberikan oleh perangkat artificial intelligence (google, youtube, ChatGPT dan lainya). Inilah bentuk kecerdasan yang juga tidak dapat diberikan oleh guru-guru agama, ulama syariat, ustadz, rahib, rabi, resi, pendeta, penceramah dan motivator.

Untuk bisa sampai ke Tuhan, seseorang harus mencari pembimbing yang menguasai metodologi di bidang rekayasa Ruh, yang biasanya disebut “walimursyid” (spiritual master atau spiritual supervisor). Tapi harus yang betul-betul ahli. Ahli dalam mendidik ruhani. Bukan sekedar ahli dalam mendidik akal, atau dalam membaca dan menghafal (otak/kognisi). Muhammad SAW itu ahli, tapi ummi. Ia cerdas sekali, secara spiritual. Cerdas tanpa terikat teks, hafalan dan bacaan. Cerdasnya sudah naik, dari level membaca, ke spiritual. Dari IQ ke SQ. Dari cognitive era, ke spiritual era.

Penutup

Kita tidak bisa melarang anak-anak dan mahasiswa menggunakan mesin-mesin canggih untuk mengerjakan berbagai bentuk PR yang bersifat teoritis dan kalkulatif. Tapi kita perlu memback-up agar mereka tidak kehilangan unsur-unsur kemanusian, ketika otaknya diambil oleh mesin-mesin AI. Mereka perlu ditransfer bentuk-bentuk kecerdasan yang lebih tinggi dalam menghadapi dunia ini. Termasuk emotional intelligence dan adversity intelligence. Terkhusus spiritual intelligence. Ini jenis-jenis kecerdasan yang tidak diberikan oleh mesin. Ini bentuk-bentuk kecerdasan yang akan membuat mereka dekat dengan masyarakat sekaligus dengan Tuhannya. Kalau tidak, jadi zombie semua mereka dengan teknologi terkini.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

2 thoughts on ““SPIRITUAL INTELLIGENCE”, AGAMA DAN PENGETAHUAN PASKA GOOGLE-SEARCH DAN CHAT-GPT

  1. Saya sudah membagikan ke beberapa teman Akedimisi, para ahli multimedia.
    Komentar mereka, terlalu melebar dan redakasi sangat ribet. Syukran.

  2. Sangat menginspirasi, tapi gak gampang mencari dan mendapatkan wali mursid di era sekarang. Kalau wali salam tempel banyak kita temui. Gak semua walimursid dengan mudahnya menerima murid krn semua atas petunjukNya tidak ujug2 diterima jadi murid dan sosoknya tidak bisa dinilai dari penampilannya. Dan kalaupun di dalam tariqah tidak semua mencapai puncaknya. Karena urusan dunia masih melekat pada diri, sulit melepas dunia walau hanya dalam riyadhoh. Bahkan banyak pendapat harta dunia bisa mengantar ke sorga. Terima kasih tulisannya Ustadz sangat membantu memberi pencerahan pada pencarian selama kurang lebih 40 th. Bahasa jelas lugas.

Comments are closed.

Next Post

RELASI AGAMA DAN SAINS DALAM EMPAT LEVEL ONTOLOGI

Thu Mar 30 , 2023
Jurnal […]

Kajian Lainnya